Makassar, Eksepsi Online – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH UH) kembali menggelar Diskusi Publik (Diksi) merespon permasalahan yang timbul terkait munculnya undang-undang Cipta Kerja.
Kegiatan Diksi yang telah memasuki volume 4 ini masih dilangsungkan secara daring melalui platfrom media Zoom. Diksi Vol. 4 mengusung tema “Telaah Panjang UU Cipta Kerja; Dari Proses Pembentukan Hingga Prospek Uji Formil”.
Mengundang Prof. Dr. Farida Patittingi, S. H., M. Hum. Selaku Dekan FH UH sebagai Keynote Speaker, yang kemudian diwakilkan oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama, Dr. Muh. Hasrul, S. H., M. H. Kegiatan ini juga dihadiri Narasumber yang ahli di bidangnya yakni Prof. Dr. Irwansyah, S. H., M. H. (Guru Besar FH UH), juga ada Feri Amsari, S. H., M. H., LLM. (Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas) dan Fajlurrahman Jurdi, S. H., M. H. (Pengajar Hukum Tata Negara FH UH). Kemudian dipandu dengan Andi Dara Melda, S. H. (Ketua Bidang Organisasi LeDHaK Unhas Periode 2018/2019) sebagai moderator.
Terbuka untuk umum, kegiatan ini berlangsung dihadiri sekitar 290 peserta yang tersebar dari berbagai daerah dan kalangan di Indonesia.
Prof. Irwansyah selaku Narasumber menjelaskan dalam kesempatannya bahwa ada beberapa problem seperti ketidakterlibatan masyarakat dan ketergesah-gesahan.
“Hal paling bersoal yang pertama adalah metode, sistem ini tidak ada problem tapi sistem ini sistem baru, sedangkan kita melihat 11 tahun terakhir belum sekalipun DPR membuat UU melebihi 50% yang ditargetkan, bahkan dibawah 50%. Atas dasar itu kinerja DPR dapat dikatakan tidak bagus sedangkan sekarang tiba-tiba DPR muncul ingin mengesahkan 80 lebih UU, terlalu tergesa gesa, terlalu dipaksakan, tertutup, apalagi di tengah pandemi covid,” Jelas Prof. Irwansyah.
Dalam kesempatannya juga Feri Amsari menyampaikan hal senada dengan menjelaskan jenis UU yang represif tanpa melibatkan publik dan UU yang responsif dengan melibatkan publik.
“Asas pembentukan perundang-undangan jika dilihat salah satu yang penting itu adalah asas kejelasan tujuan, yang pada UU ini yg dimaksud UMKM serta masyarakat luas. Juga ada asas keterbukaan yang jika memang taat asas keterbukaan, mengapa dari awal draftnya ditutup-tutupi, naskah akademiknya tidak ada, bahkan sampai akhir draftnya tidak diketahui yang benar yang mana.” Kata Feri
Tidak sampai disitu Feri Amsari juga menjelaskan terkait problematika prosedural yang bermasalah dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terlebih lagi dengan munculnya draft-draft baru setelah disahkannya UU Cipta Kerja tersebut. “Dari hulu hingga hilir perundang-undangan ini sudah bermasalah. Logika hukumnya sederhana, hukum selalu ada prosedur dan substansinya. Jika prosedurnya cacat, sebagus apapun substansinya tetap salah juga apalagi jika prosedur dan substansinya salah.”
Dengan menjelaskan jenis-jenis oligarki, Fajlurrahman Jurdi menautkan Oligarki dengan eksistensi Omnibus Law. “Pertahanan kekayaan menjadi kunci di UU Omnibus Law,” katanya.
Juga dijelaskan bahwa di Asia Tenggara tidak ada pure Kapitalis namun yang ada ialah Kapitalis Pinggiran. Maksudnya, mereka membutuhkan kekuasan untuk mempertahankan kekayaan mereka seperti, untuk memudahkan meminjam, mengutang, atau mempermudah ijin, mereka menekan pemerintah dengan cara masuk ke pemerintahan.
Di akhir Fajlur menjelaskan benang merah dari jenis-jenis Oligarki di awal ke dalam konteks Indonesia menghadapi Omnibus Law.
“Melihat keterkaitan konsep Oligarki dengan eksistensi Ombibus Law. 65 rapat dengan ketebalan naskah yang seperti itu, luar biasa cepat, seperti membaca kilat, karena memeriksa titik-koma dan kata penghubung saja harus menghadirkan ahli bahasa kemudian diperhatikan seperti apa akibat hukumnya, dan seperti apa bahasa indonesianya.” Jelas Fajlur.
Setelah pemaparan dari Narasumber, kegiatan dilanjutkan ke sesi tanya jawab yang kemudian dilanjutkan dengan sesi penutupan. (hsb)