web analytics
header

Tuyul vs Inflasi

Oleh: Muhammad Farit Ode Kamaru
D
i kalangan masyarakat, Tuyul tentu merupakan hantu yang fenomenal, terlebih bagi orang-orang seperti saya yang berasal dari pedesaan, mitos itu sudah menghampiri fakta. Betapa tidak, sosok hantu yang suka mencuri harta, bertubuh kecil, dan paling hobi melakukan aksinya di malam hari itu telah menjadi cerminan keberadaanya.
Berbagai cara yang mungkin menjadi penangkalnya pun telah diupayakan masyarakat dari sikap bejatnya. Mulai dari membakar kemenyan di malam-malam tertentu, menyediakan properti-properti tertentu, bahkan yang tidak masuk akal pun diupayakan, seperti, menyediakan loyang berisi air dan kepting, hingga mainan anak-anak dilakukan. Tujuannya satu, agar tuyul tersebut tergiur dengan permainan yang disediakan dan kemudian bermain-main hinggah pagi hari lalu pulang tanpa membawa hasil. Tuyul tentunya bukan mahluk yang terlalu cerdas, dia bisa dikelabuhi dengan cara-cara sepele. Karena jika ia cerdas, kenapa tidak menjadikan pabrik pembuatan uang sebagai target operasainya? Apakah dia paham akan Inflasi?
Jawabnya, ya, tidak mungkin. Karena setelah menjalankan tugasnya tuyul hanya dibayar dengan minyak wangi atau mainan-mainan anak. Ketidaktahuan tuyul mengenai inflasi justru merupakan petaka bagi dia, tuyul kini tidak lagi menjadi bahan pembicaraan yang istimewa, karena telah tergeser dengan “setan” yang bernama Inflasi.
Inflasi adalah ketika produksi lebih besar ketimbang produsen. Batu bata misalnya. Jika kemampuan manusia untuk memproduksi batu bata sangat rendah sementara permintaan untuk menggunakan batu bata sangat tinggi, maka nilai jual batu bata sama halnya dengan emas, begitupun sebaliknya. Jika kemampuan memproduksi emas sangat sederhana dan mudah sedangkan permintaan sedikit –saking mudahnya memproduksi sendiri– maka harga emas akan sama dengan harga batu bata perkubiknya saat ini.
Mengacu pada topik di atas, dalam konstitusi kita, pada Pasal 23B UUD 1945, ditegaskan bahwa, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Maka jelas bahwa dengan ditegaskannya hal tersebut di atas di dalam muatan konstitusi (highest law), maka semakin menguatkan pula kemampuan inflasi. Ibaratnya, siluman inflasi telah mencapai evolusi tertinggi. Inflasi bisa mencuri kapan saja, beda dengan tuyul yang hanya mencuri di malam hari. Dan jika tuyul bisa melewati lubang jarum, maka inflasi bisa melewati lubang yang sebesar mikroba, dari jarak yang jauh, tinggal menekan digit-digit angka, pawang inflasi akan lebih santai di banding pawang tuyul yang harus bolak balik membakar lilin.
Para tim pengamat tingkah laku birokrat yang menamakan diri mereka Imam Semar, menyatakan bahwa, “Setiap kali anda belanja, setiap kali anda menerima gaji, setiap kali anda memarkir kendaraan, nilai tabungan anda turun karena inflasi buatan.”[1]
Setelah krisis melanda Asia pada kurun tahun 1997-1998, kata jutawan di Indonesia tidak punya konotasi kaya raya. Misalnya di tahun 2007, seorang supir taxi di Jakarta yang berpenghasilan Rp 1.100.000 Orba (terbilang: satu juta seratus ribu rupiah uang Orba) per bulan bisa disebut jutawan karena penghasilannya di atas Rp 1 juta per bulan. Kenyataannya bahwa hidupnya masih penuh dengan keluhan karena untuk makan seperti, Warteg (istilah untuk warung sederhana dipinggir jalan yang menjual makanan murah) saja Rp 10.000 sekali makan. Bayangkan kalau dia mempunyai istri dan 2 anak, berarti harus punya 2 x Rp 40.000 per hari untuk makan siang dan malam saja. Jutawan ini tidak mampu makan di warung Tegal sekeluarga 3 kali setiap hari. Di samping mereka harus mengeluarkan Rp 800.000 per bulan, mereka juga punya keperluan lain seperti bayar sekolah dan sewa rumah. Untuk sewa rumah sangat yang sederhana sekali sampai-sampai tengkurap saja sulit.
Ada ungkapan di jaman Sukarno yang sangat populer bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur. Pada akhir pemerintahannya, uang Rp 2000 tahun 1964 yang bisa untuk hidup 2 hari satu keluarga kemudian menjadi seharga 1 bungkus kwaci pada tahun 1966. Terjadi pemiskinan umum. Maksudnya, kaya secara nominal tetapi kere’ secara riil. [2]
Saya sudah bosan menjadi juri untuk kedua siluman (atau setan, atau entah apalah itu). Andalah yang menentukan siapa kira-kira yang menang, Tuyul vs Inflasi. Hidup tuyul!!
[1] Dikutip pada laman website: EWOI.blogspot.com
[2] Imam Semar. Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut zahara fonna. Hal: 434-435

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan