web analytics
header

Menuju Era Pengkaderan yang Lebih Baik

Oleh: Firman Nasrullah R
Pserta DJD-PCA LPMH-UH/Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas

Setiap tahun ajaran baru, berbagai kampus di negeri ini menerima mahasiswa baru (maba). Seketika itu pulalah senior-senior bersiap menyambut junior mereka dengan menyiapkan upacara penyambutan maba atau biasa disebut Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).

Ospek yang seharusnya menjadi sarana kedekatan dan keakraban junior terhadap para seniornya, justru menjadi sarana untuk menjahili junior.  Bahkan hampir seluruh ospek yang diadakan di kampus oleh para senior,  justru berujung kekerasan dan pembodohan terhadap junior. Terkadang ospek malah berujung kematian karena perbuatan senior yang terlalu berlebihan.

Masih teringat dengan jelas peristiwa tragis yang baru saja menimpa salah seorang mahasiswa baru Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, yang harus kehilangan nyawa saat mengikuti ospek. Banyak yang berpendapat bahwa terdapat unsur kekerasan dalam pengkaderan tersebut. Bahkan kabarnya, pihak keluarga tidak dapat menerima kematian sang anak. Pihak keluarga menganggap kalau kematian anaknya disebabkan karena adanya unsur kekerasan fisik yang dilakukan oleh para senior.

Bukan hanya kasus tersebut, masih banyak lagi kasus serupa yang terjadi di berbagai kegiatan ospek. Unsur kekerasan dan pembodohan sudah menjadi tradisi turun-menurun di setiap pengkaderan. Kekerasan menjadi bumbu penyedap pengkaderan yang seakan tanpa kekerasan pengkaderan tersebut terasa hambar.

Suasana Pembinaan Mahasiswa Hukum Unhas
Tak jarang pula di setiap pengkaderan terdapat ajang pembodohan para junior, misalnya saja permintaan macam-macam dari senior yang jika tidak diikuti, berujung hukuman atau sanksi berupa push-upbahkan kekerasan fisik. Junior menjadi sasaran pelampiasan amarah bahkan kekesalan para senior. Tak jarang senior mulai menampar bahkan melayangkan tendangan kearah junior jika sudah merasa jengkel.
Hal tersebut dapat membuat maba menjadi cedera bukan hanya fisik tapi bahkan mentalnya juga terkadang jatuh.

Pengkaderan saat ini seharusnya tidak perlu lagi mengikuti pola pengkaderan yang terdahulu, mungkin tujuannya baik tapi remaja zaman sekarang berbeda dengan remaja zaman dulu. Jadi mungkin dibutuhkan pula pola pengkaderan yang berbeda, mungkin pengkaderan yang lebih mendidik tanpa adanya unsur kekerasan. Terlebih lagi remaja zaman sekarang cenderung mudah depresi, jadi mungkin pola pengkaderan dapat dibuat menjadi lebih menyenangkan lagi.

Dapat dipastikan jika masih menggunakan metode pengkaderan yang lama,  maka akan semakin banyak lagi kasus serupa yang akan menimpa junior-junior kita selanjutnya. Sangat tragis memang, disaat para mahasiswa menuntut penegakan hak asasi manusia, tapi mereka tidak sadar kalau mereka juga telah merenggut hak asasi dari para juniornya.
Oleh karena itu, disetiap pengkaderan seharusnya senior lebih menekankan sikap-sikap yang patut diteladani oleh junior. Tidak perlu menunjukkan sikap jagoan, cukup membimbing para junior dengan memberikan contoh baik yang patut ditiru oleh junior. Jangan memakai kekerasan karena kekerasan tidak akan menyelesaikan  masalah.

Semakin kita mempertahankan pola pengkaderan yang mengandung unsur kekerasan, maka kemungkinan disaat junior kita sudah menjadi senior , mereka akan melakukan hal yang sama terhadap juniornya. Jadi sebaiknya hanya mengajarkan sesuatu hal yang berguna dan mendidik tanpa adanya sentuhan fisik, karena junior akan mudah memahami apa yang dimaksudkan ketika mereka merasa nyaman dan tidak dalam posisi tertekan.

Tentu saja para senior harus berfikir lebih dewasa. Tidak usah mementingkan kepuasan pribadi karena tidak akan ada yang berubah jika hal ini terus berlanjut. Ajarkanlah apa yang perlu diajarkan, anggaplah juniormu sebagai adik kandungmu, sayangilah mereka. Mereka datang bukan untuk dipukuli, bukan untuk dicaci, tapi merekalah yang nantinya meneruskan cita-cita kalian, cita-cita kita sebagai bangsa Indonesia. Akankah pola pengkaderan akan terus begini? Mungkin kesadaran para seniorlah yang bisa menjawabnya***

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan