web analytics
header

Sampah yang Tak Kunjung Redah

Sumber: Solopos.com

Sumber: Solopos.com
Sumber: Solopos.com

Muh. Ikram

(Pengurus LPMH-UH Periode 2017-2018)

Sampah (seringkali juga disebut limbah padat) merupakan persoalan lingkungan yang tidak hanya terkait dengan kebijakan pemerintah, tetapi juga budaya dan gaya hidup masyarakat. Karena itu, persoalan lingkungan yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah bukannya hanya terjadi pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) saja, tetapi juga bahkan dimulai dari rumah kita masing-masing, dalam arti bagaimana masing-masing rumah tangga meminimalisir sampah, memilah sampah, sampai membuangnya di tempat dan waktu tertentu. Ringkasnya, persoalan lingkungan terkait pengelolaan sampah tidak hanya terkait kegagalan pemerintah untuk membuat hukum yang baik dan menegakkannya, tetapi juga bagaimana setiap warga negara menganggap pentingnya kebersihan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya pada khususnya, dan media lingkungan seperti sungai dan tanah pada umumnya.

Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah didefinisikan sebagai “Sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat”. Paradigma yang ada selama ini menganggap sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, dan bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Paradigma yang ada juga melihat pengelolaan sampah dengan bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), di mana sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Undang-Undang menganggap bahwa kedua paradigma ini perlu diubah karena beberapa alasan. Pertama, pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan end-of-pipe gagal memperhatikan bahwa tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metana (CH4), sebuah gas yang termasuk gas rumah kaca. Kedua, pendekatan end-of-pipe memerlukan waktu dan biaya yang besar, karena atar timbunan sampah dapat terurai, tapi perlu waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar.

Misalnya saja sampah yang berada di pasar tradisional Kota Makassar, terkhusus sampah sayuran yang dibiarkan berserakan di jalanan, tanpa adanya penangan khusus terkait hal tersebut,yang dapat menyebabkan bau tidak sedap, padahal kalau kita lihat dari segi pemanfaatannya, sampah sayuran dapat kita olah menjadi pupuk, dengan cacing sebagai pengurai terhadap sampah sayuran tersebut sehingga nantinya menghasilkan pupuk organik. Sedangkan solusi terkait sampah plastik dapat kita urai menjadi bahan baku industri seperti pembuatan tas, bunga, dll.

perubahan paradigma pengelolaan sampah dengan sebuah paradigma baru yang tidak hanya memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, tetapi juga meminta adanya pengelolaan dengan pendekatan komprehensif. Melalui pendekatan komprehensif ini, pengelolaan sampah terdiri atas dua bagian besar, yaitu pengurangan dan penanganan. Termasuk ke dalam kegiatan pengurangan adalah kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang. Sedangkan yang termasuk ke dalam kegiatan penanganan sampah adalah kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. (Hukum Lingkungan “Teori,legislasi dan studi kasus”. Laode M syarif dan Andri G Wibisana).

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan