web analytics
header

Aktualisasi Tradisi Mappatettong Bola Wujudkan Taat Pajak di Tengah Corona 

IMG-20200629-WA0014

Oleh:

Fitriani

(Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Kehadiran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia telah membawa banyak perubahan di pola kehidupan masyarakat. Berbagai upaya dilakukan demi mengantisipasi penyebaran Covid-19 yang semakin meluas. Pemerintah di tingkat pusat maupun daerah telah mengambil langkah awal dengan menghimbau masyarakat untuk melakukan social distancing, physical distancing dan menyarankan agar masyarakat beraktivitas di rumah saja.

Tindakan pemerintah demi menangani pandemi Covid-19 telah mengubah wajah perekonomian Indonesia. Pekerja maupun badan usaha yang menjadi wajib pajak mengalami penurun penghasilan, akibatnya tidak sedikit perantau yang menganggur, badan usaha yang gulung tikar dan pekerja yang diberhentikan. Kondisi ini kemudian ditanggapi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan selaku instansi pajak telah mengeluarkan dua kebijakan di masa pandemi Covid-19. Pertama ialah memberikan dukungan pajak untuk penanganan dan pencegahan pandemi dan kedua yakni memberikan dukungan pajak untuk dunia usaha dengan memberikan berbagai relaksasi pajak.

Pengeluaran besar-besaran demi pencegahan Covid-19 serta pemberian insentif pajak berdampak terhadap keuangan negara.  Pajak yang menjadi sumber keuangan negara tentunya berkurang seiring banyaknya pengeluaran disertai sedikitnya pemasukan akibat penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pada Pasal 1 Ayat 1 menerangkan bahwa Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat.

Didalam ayat tersebut dijelaskan frasa kontribusi wajib dan untuk kemakmuran rakyat, dikedua frasa tersebut telah menjelaskan bahwa pajak sudah merupakan kewajiban semata-mata untuk kepentingan rakyat baik untuk pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas kesehatan, pelaksanaan Pendidikan, kepntingan transportasi umum dan lain sebagainya. Berdasarkan  postur APBN 2019, penerimaan perpajakan tercatat menyumbang 82,5 persen dari total pendapatan negara. Itu artinya bahwa segala ongkos yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan menyediakan akses layanan dasar bagi masyarakat, sangatlah bergantung pada penerimaan perpajakan.

Oleh karena itu jika merujuk landasan yuridis serta fakta di masyarakat, maka ditengah sulitnya perekonomian akibat pandemi, bukan berarti kewajiban pajak telah ditiadakan. Pemungutan pajak di tengah Pandemi memerlukan metode konkrit untuk membangun kesadaran wajib pajak sembari mengawasi pelaksaan pajak. 

Dengan memungut nilai dari tradisi budaya masyarakat, diharapkan pemungutan pajak dapat berjalan ideal dengan keterlibatan para pihak untuk bergotong royong membangun bangsa dan membebaskan Indonesia dari pandemi Covid-19. Salah satu tradisi budaya yang dapat dijadikan pedoman adalah tradisi mappatettong bola. Tradisi ini merupakan tradisi dari masyarakat bugis yang memiliki arti mendirikan rumah. Tradisi mappatettong bola telah menjadi tradisi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan, beban masing-masing pekerjaan. 

Dalam pelaksanaan tradisi tersebut terdapat tiga pihak yang berperan serta yakni punna bola atau panre bola (pemilik rumah/punggawa tukang) yang memberikan aba-aba ketika tiang-tiang rumah akan diangkat, pajjama bola (pekerja rumah) yang biasanya merupakan tetangga-tetangga pemilik rumah datang dengan sukarela untuk menyetor tenaganya dalam mengangkat tiang-tiang rumah, serta kehadiran indo-indo (ibu-ibu) yang ditengah hiruk pikuknya membantu menyiapkan makanan untuk pajjama bola. 

Kemudian selama proses tradisi ini para pihak baik punna bola/ panre bola, pajjama bola dan indo-indo yang menyiapkan makanan juga tengah memperhatikan sekaligus mengawasi pendirian rumah. Pelaksanaan tradisi ini menyimpan nilai-nilai kegotong royongan yang kuat, dengan menghadirkan generasi yang faham akan arti kesatuan.

Para pihak yang terlibat dalam tradisi mappatettong bola dapat dianalaogikan dengan para pihak dalam pemungutan pajak. Punna Bola/Panre Bola dapat diartikan sebagai pemerintah yang memberikan kebijakan sebagai instruksi pelaksanaan pemungutan pajak, pajjama bola diartikan sebagai wajib pajak dengan kesadarannya membantu negara dengan menyetor pajak, indo-indo selaku pegawai institusi pajak yang memberikan layanan pajak serta para pihak yang dapat diartikan sebagai masyarakat secara utuh bersama-sama mengawasi pemungutan pajak.
Rumah (bola) adalah suatu kebutuhan dasar, dimana setiap keluarga dituntut untuk memilikinya. Menurut Masyarakat Bugis, fungsi rumah tidak hanya sekedar hunian dan tempat perlindungan diri dari binatang buas atau naungan dari panas matahari dan hujan. Namun, rumah juga berfungsi sebagai simbol kehormatan dan sastra sosial pemilik rumah itu. Membangun rumah layaknya membangun negara, masyarakat tentunya ingin memliki rumah yang aman, nyaman, kokoh dan melambangkan kehormatan masyarakat. Maka untuk mencapainya para pihak didalamnya harus bekerja sama sesuai dengan peran masing-masing pihak didalamnya.

Nilai gotong royong yang kuat dalam tradisi mappenre bola perlu diserap oleh masyarakat demi memaksimalkan pelaksanaan pemungutan pajak. Gotong-royong menjadi bentuk solidaritas sosial yang terbentuk karena adanya kepentingan kelompok sehingga para pihak didalamnya membentuk kesatuan untuk saling menolong, saling berbagi dan saling memberi. 

Mayarakat perlu sadar bahwa di tengah pandemi saat ini pengeluaran untuk bebas dari Covid-19 amat besar maka demi menyeimbangkannya, pemasukan negara juga harus besar. Pemerintah bersama Direktorat Jenderal Keuangan telah memberikan berbagai kemudahan untuk wajib pajak yakni pemberian insentif pajak serta pelayanan pajak dan pembayaran pajak dengan sistem virtual. Jika dibarengi dengan kesadaran pajak wajib pajak maka sikap gotong royong antar para pihak telah terpenuhi.

Sesuai dengan semboyan negara bhineka tunggal ika yang artinya Berbeda-beda namun tetap satu, telah menegaskan bahwa segala perbedaan peran yang ada di masyarakat Indonesia dapat dipersatukan untuk berkolaborasi dengan bergotong royong mewujudkan negara yang mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. 

Sejatinya pajak bersumber dari rakyat dikumpul oleh rakyat dan disalurkan kembali kepada rakyat, maka tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak bergotong royong dalam pemungutan pajak, apapun peran kita dalamnya. 

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan