web analytics
header

Kearifan Lokal (Siri’) Dan Pembangunan Martabat Bangsa

Oleh : Sholihin Bone 
(Dewan Pembina LPMH-UH & Mahasiswa Program Pascasarjana, Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Kearifan lokal merupakan miniatur agung dalam panggung kebudayaan, Ia merupakan konsep keadaban yang paripurna, bertindak sebagai rambu di setiap sendi kehidupan, olehnya itu, pada masing-masing Suku yang mendiami Indonesia, menjadikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya yang mesti terlestari, landasan dalam berpijak, serta “kebanggaan” bagi masyarakatnya.
Masyarakat Bugis dan Makassar yang mendiami Provinsi Sulawesi Selatan, juga memiliki konsep kearifan lokal sebagai instrumen keadaban, sebuah keadaban yang telah “mengakar” dalam “lautan” kehidupan masyarakatnya. Sehingga, dalam falsafah Bugis dan Makassar dikenal Budaya Siri’, Siri’ berarti rasa malu. Masyarakat Bugis dan Makassar menempatkan rasa malu sebagai “alas” menjalani kehidupan, yang termanifestasi dalam berbagai tindakan, malu jika mencuri (Korupsi), malu jika berbohong, malu jika bodoh, malu jika berbuat zalim, malu jika bertindak anarkis atau melakukan “kekerasan”, dan masih banyak lagi muatan malu yang tak dapat tersaji dalam tulisan sederhana ini.
Dalam literatur Bugis dan Makassar kita juga mengenal konsep Sipakatau, Sipakainga’ Sipakala’bi atau sipakala’biri dalam literatur Makassar, yang berarti saling menghormati, saling mengingatkan, dan saling harga-menghargai,  dua konsep kearifal lokal tersebut, telah menemani perjalanan panjang yang telah diwariskan oleh leluhur masyarakat Bugis dan Makassar. Dua konsep tersebut merupakan “pakaian” yang tidak boleh lepas dalam berperangai, “pusaka” yang mesti dijaga atau warisan yang wajib dilestarikan.
Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Bugis dan Makassar, juga menempatkan malu sebagian bagian integral dari keimanan, sehingga korelasi falsafah tersebut, menjadikan Suku Bugis dan Makassar kokoh menjaga nilai-nilai siri’ dalam lakon kehidupannya. Siri’ mesti “bersenyawa” dalam tiap-tiap individu, mesti dijalankan secara sadar, konsisten dan bertanggung jawab, karena citra dan jati diri manusia akan bernilai positif dan membawa banyak manfaat jika ia mampu menghadirkan moral yang santun, bertanggung jawab dalam balutan nilai-nilai siri’.
Memaknai siri’ sebagai pondasi pergaulan yang mesti teraktualkan dalam dialektika kemasyarakatan, akan memperkokoh dan menghasilkan keteraturan sosial dalam lingkup Sulawesi secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Membedah konsep kearifan lokal, Siri’ dan kekayaan budaya lainnya bukan lah sebuah kemunduran (kolot), siri’, sipakatau, sipakainga’ dan sipakala’bi atau sipakala’biri, mesti dibangkitkan, dihidupkan, agar kita memiliki nilai dan identitas, sebagai masyarakat yang berkeadaban, bermartabat, berwibawa dan berkarakter.
Penekanan akan substansi dari nilai-nilai siri’,mewajibkan kita untuk memanifestasikan dalam kehidupan kebangsaan, siri’ mesti menjadi jawaban dari maraknya fenomena yang sedang dihadapi, sedikit kita renungkan, bagaimana jika dalam suatu masyarakat budaya malu telah terkikis atau urat malu kita telah putus, maka dapat dipastikan, tatanan sebuah masyarakat akan “rusak”, prinsip-prinsip moral akan lenyap, yang bermuara pada hancurnya peradaban masyarakat.
Pada tataran ideal, memaknai siri’ berarti mejaga keadaban bangsa yang kokoh, yang terpenting adalah,  bagaimana memperluas makna siri’ dalam dialektika kehidupan berbangsa dan bernegara. Merupakan solusi bijak jika kita mampu “mendemonstrasikan” seluruh bidang kehidupan berbasis siri’, solusi tersebut dapat terjabar dalam  Penegakan hukum berbasis siri’, pengelolaan ekonomi berbasis siri’, dan membangun  komunikasi sosial terhadap ummat manusia besendikan siri’. Tiga perluasan siri’ tersebut mesti kita aplikasikan dalam kehidupan bangsa kita.
Penegakan hukum berbasis siri’ mensyaratkan, bahwa dalam penegakan hukum struktur hukum yang dilaksanakan oleh, Hakim, Jaksa, Kepolisian, dan  Komisi Pemberantasan Koruspi mesti konsisten, bertanggung jawab dan tidak tebang pilih. siapapun dia, anak, keluarga, anggota organisasi partai, jika terbukti bersalah mesti ditindak sesuai hukum yang berlaku, (Ius Constitutum), kiranya lebih santun, jika kita memaknai kehidupan Rasulullah Muahammad SAW. Dalam proses penegakan hukum,  sebuah kisah mesti dibangkitkan, Rasululullah Muhammad SAW mencontohkan dalam sebuah ucapan hikmah, “jika Fatimah yang mencuri, maka saya yang akan memotong tangannya”.
Dalam panggung sejarah Bugis Makassar pun, kita mengenal salah seorang tokoh besar yang gigih menegakkan hukum secara konsisten, adalah Nene’ Mallomo seorang hakim kerajaan Sidrap yang rela menghukum anaknya yang mengambil kayu dari kebun tetangga, untuk memperbaiki mata bajaknya yang rusak. Ketika masyarakat memprotes, Nene’Mallomo berucap ”Nennia adeq e, temmakeanaq temmakkeeppo” yang bermakna, hukum tidak mengenal anak dan cucu.
Baik Rasululullah Muhammad SAW, maupun Nene’ Mallomo, dalam penegakan hukum mencontohkan untuk tidak melakukan pembedaan, siapun dia, jika secara hukum terbukti bersalah, maka hukum mesti ditegakkan. Dalam sistem hukum yang dianut oleh Indonesia pun kita mengenal istilah (Equal Justice before the law), bahwa semua manusia berkedudukan sama dimata hukum, muara dari semua itu adalah, bagaimana menegakkan hukum tanpa diskriminasi.
Salah satu hal yang membuat penegakan hukum kita rapuh adalah, bahwa kita cenederung diskriminatif, tidak konsisten dan memudarkan budaya tanggung jawab untuk memperkuat bangunan hukum yang kuat. Hakim, Jaksa, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi mesti “malu” jika tidak dapat menegakkan hukum yang berkarakter dan berwibawa. Mereka telah mendapat kepercayaan rakyat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Begitupun dengan proses pengelolaan perekonomian, Perekonomian negara mesti dibangun diatas konsep siri’, dalam konsep ini, pemerintah mesti malu jika tidak memberikan kesejateraan terhadap rakyatnya, pemerintah mesti bertanggung jawab terhadap kekayaan yang melekat dalam bangsa kita, mengelolanya dengan konsep ekonomi kerakyatan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bapak Mohammad Hatta, wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
Kekayaan negara tidak boleh bertumpuk pada satu atau sebagian golongan tertentu, kekayaan mesti merata dan dinikmati oleh semua rakyat, Konstitusi pun telah menjaminnya, sehingga pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjamin kemakruran rakyat, baik kesehatan, pendidikan, jaminan air bersih, pupuk bagi para petani, dan bantuan lain untuk mendukung kesejahteraan rakyat.
Kita mesti mandiri dalam mengelola perekonomian, tidak menjadi “budak” dalam negeri sendiri, tidak keliru jika Soekarno menyusun gagasan Tri Sakti untuk membangun bangsa yang bermartabat. Berdaulat dalam politik, bedikari  dalam bidang ekonomi dan  berkeperibadian dalam budaya. Gagasan Tri Sakti mesti dibangkitan kembali untuk menata Indonesia yang telah rapuh. Seyogyanya intervensi asing terhadap  ekonomi nasional  harus diputus. Sekali lagi, bangsa kita adalah bangsa yang kaya, bangsa kita mesti mampu mengelola kekayaannya sendiri dan mengurangi intevensi pihak asing.
Kekeliruan terbesar, jika negara agraris harus mengimpor beras dan gula, negara kepulauan harus mengimpor ikan, negara peternak harus mengimpor daging, dimanakah letak kemandirian kita, kalau hal-hal seperti ini tidak cepat kita tuntaskan, saatnya bangsa ini berbenah, untuk memperkokoh bangunan negara, tanggung jawab tersebut mesti dipikul oleh Pemerintah dan Ahli ekonomi kita dalam merumuskan kebijakan perekonomian yang berbasis karakyatan.
Pemaknaan siri’ yang terakhir adalah, bagaimana membangun komunikasi kemasyarakatan bersendikan nilai-nilai siri’, dalam gagasan ini, nasehat bijak dalam falsafah Bugis dan Makassar dapat kita jadikan rujukan guna memperkuat bangunan sosial kemasyarakatan, Sipakatau, Sipakainga’ Sipakala’bi atau sipakala’biri, mesti mewujud dalam pentas sosial kebangsaan.  
Budaya anarkis, saling menzalimi, rapuhnya nilai tanggung jawab dan pupusnya rasa saling hormat meghormati, harga menghargai, memudarnya konsep musyawarah, pudarnya bangunan moral dan etika terus mereduksi budaya sipakatau, sipakainga dan sipakalaebbi’ atau sipakalebbiri’. Terkadang kita alpa menghayati tiga nilai tersebut.
Perkelahian antar siswa dan mahasiswa, pertikaian antar warga, suku, dan agama menampakkan bahwa, kita telah menciderai nilai-nilai budaya yang telah lama dianut oleh nenek moyang kita, belum lagi budaya bangsa kita terus dirasuki oleh budaya asing yang begitu gencar menembus pola kehidupan kita. Anehnya, kita “bangga” mengkonsumsi budaya asing, tanpa mampu memilah-milah mana yang layak dan mana yang tidak layak.
Pemberhalaan terhadap kebebasan tanpa sekat, penguatan nilai individualisme, dan pergaulan yang bebas tanpa sekat adalah corak budaya asing, dan sangat tidak cocok untuk dipraktekkan dalam negara yang menjunjung tinggi moral, akhlaq, dan budaya siri’ yang telah lama terbalut dalam perjalanan bangsa ini.
Beberapa hari terakhir, bangsa kita “dihujani” tentang pro dan kontra kedatangan Lady Gaga, satu hal yang mesti ditekankan, bahwa budaya kita adalah budaya Timur yang kental akan nilai moral, menjunjung tingi budaya Siri’, sehingga kedatangan Lady Gaga mesti disikapi dengan serius. Kita mesti jernih menimbang dampak kedatangannya apakah positif ataukah negatif terhadap penguatan dan pembangunan budaya kita sebagai bangsa yang beradab.   
Leluhur tidak ingin melihat generasinya rapuh, melupakan nilai agung dari kearifan lokal, menjadi bangsa yang terombang-ambing tanpa memilki visi berbangsa dan bernegara. Dalam benak kita, bangsa kita mesti maju, mandiri, cerdas, dan mapan dalam supremasi hukum, serta berdikari dalam bidang ekonomi, dengan menjadikan budaya sebagai acuan bernegara. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berbudaya.
Yang mesti kita tekankan adalah, kita adalah orang Sulawesi, orang  Indonesia bukan orang Eropa, bukan pula Amerika, yang dengan mudah “menuhankan” kebebasan tanpa sekat, pemujaan terhadap sifat individualistik, dan nilai-nilai lain yang tidak sejalan dengan kosep kearifan lokal. Kita dilahirkan dari rahim leluhur yang menjunjung tingi budaya santun, menjaga moral, dan melestarikan siri’sebagai falsafah kehidupan.
Sudah selayaknya, sipakatau, sipakainga’ dan sipalebbi’ atau sipakalebbiri’mesti mewujud dalam kehidupan sosial kebangsaan kita. Tentunya, untuk untuk mengaplikasikan ketiga nilai tersebut membutuhkan kesungguhan dan keseriusan, bukan hanya “pemanis bibir”, untuk menegaskan bahwa kita adalah bangsa berbudaya, lebih dari itu, tiga nilai tersebut mesti kita aktualkan dalam kehidupan bangsa ini.
Titik simpul dalam tulisan ini adalah, bagaimana kearifan lokal yang didalamnya memuat nilai agung, seperti siri, sipakatau, sipakainga dan sipakalebbi’ menjadi titik tolak dalam bersikap. Nilai tersebut merupakan nilai fundamental untuk membangun masyarakat dan bangsa yang beradab, bangsa ini telah lelah dengan rapuhnya bangunan hukum, ketimpangan ekonomi, maraknya kekerasan, pupusnya bangunan moral, etika, dan martabat bangsa, baik dimata rakyat maupun di mata internasional.
Penegakan hukum berbasis siri’ pegelolaan ekonomi berbasis siri’ dan membangun komunikasi sosial bersendikan siri’adalah jawaban bijak memperkuat bangunan individu, masyarakat, bangsa dan negara, kita berharap agar warisan leluhur berupa kearifan lokal terus dipertahankan untuk memperkokoh bangunan negara ini. Pendek kata, untuk mengkahiri tulisan ini, leluhur telah berpesan (Taro-taroi alemu siri’ Narekko de’ siri’mu inrekko siri’), pesan tersebut bermakna, perlengkapilah dirimu dengan siri’ kalau tidak ada siri’mu pinjamlah siri’.
 
    
 
       
 

Related posts: