Oleh : Abdul Aziz Dumpa
D
|
i Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah terdapat sekolah Qaryah Thayyibah. Sebuah komunitas belajar yang kini gaungnya telah terdengar di kancah dunia internasional. Banyak siswanya telah menelurkan banyak karya diusianya yang masih tergolong belia itu. Mulai dari menulis buku hingga membuat film. Bahkan diantaranya telah mendapatkan berbagai penghargaan. Yang membanggakan lagi, beberapa siswanya sudah biasa diminta berbicara di depan para pejabat publik. Sungguh sekolah alternatif yang luar biasa. Sekolah alternatif yang benar-benar mampu menerapkan prinsip pendidikan yang membebaskan. (Republika Online,05/10/2011).
Pendirian sekolah ini didasari atas mahalnya biaya pendidikan di tanah air, sehingga kaum miskin yang tidak memiliki kemampuan secara finansial untuk masuk dalam sekolah formal dapat juga mengenyam pendidikan. Murid di sekolah itu bisa menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari. Tidak ada jadwal pelajaran, tidak punya gedung sekolah, dan tidak ada laboratorium. Para siswa bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Bahkan ada yang belajar sambil mengangkat kaki di kursi. Pakaian yang dikenakan pun dibebaskan, alias tanpa seragam formal. Belajar pun serasa di rumah sendiri. Tidak terkekang atau terbelenggu dengan kurikulum dan segala peraturan yang ada seperti pada sekolah-sekolah formal. Para siswa setiap harinya diberikan kebebasan atas apa yang ingin mereka pelajari saat itu. Lalu para siswa disuruh untuk mencari sendiri sumbernya, termasuk melalui diskusi-diskusi (forum). Para siswa juga diarahkan untuk fokus menekuni minatnya hingga menjadi sebuah karya cipta.
Uniknya para siswa disuruh tinggal di rumah-rumah penduduk. Berbeda dengan sekolah formal, lingkungan sekitar dan masyarakatnya justru menjadi “sekolah” tempat menggali berbagai ilmu. Dengan kata lain sekolah tersebut merupakan sekolah kehidupan yang “membebaskan” siswanya. Model sekolah tersebut selaras dengan teori konsientisasi pendidikan Paulo Freire (aksi-refleksi) bahwa pendidikan itu adalah aksi aktif dalam menyelesaikan masalah aktual bukan sekadar tumpukan teori.
Mencari Alternatif Pendidikan
Dalam beberapa tahun terakhir sekolah formal yang berjenjang dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi telah memperlihatkan kemandulannya dalam mencetak manusia yang cerdas, kritis dan bermoral serta pendidikan yang berkeadilan social. Kondisi tersebut telah memaksa kita, terutama orang miskin untuk mencari pendidikan alternatif dan salah satunya adalah dengan Home Schooling.
Home schooling (Sekolah rumahan) telah bermunculan dimana-mana sebagai kritik atas sekolah pendidikan formal. Kehadirannya diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengatasi masalah pendidikan nasional yang terjebak dalam kubangan formalitas dengan biaya tinggi. Di sekolah itu, pendidikan bisa diselengarakan dimana saja dan kapan saja seperti di rumah, di bale-bale [1]dan tempat-tempat yang lain serta tidak mesti di ruang kelas yang memiliki bangku, meja juga fasilitas yang mewah. Sekolah ini juga diselengarakan oleh siapa saja, misalnya keluarga. Namanya saja sekolah rumahan.
Kurikulum formal pun sama sekali tidak berlaku. Tidak ada jadwal yang baku dan mengikat yang menuntut setiap siswa untuk mengikutinya, misalnya masuk jam 07:30 pagi dan pulang jam 13:00 siang. Tidak memiliki seragam sekolah, tidak ada gelar S1, S2, S3 apalagi Profesor, pokoknya belajar diselenggarakan dimana saja dan kapan saja. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Pendidik dan peserta didik berposisi sebagai mitra belajar, pendidik tidak merasa lebih pintar dari peserta didik, tapi hanya bertindak sebagai fasilatator.
Aspek penghargaan lebih diutamakan dari segalanya karena secara psikologis, manusia yang dihargai eksistensinya akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sehingga akan menumbuhkan individu yang memiliki daya kreativitas tinggi dan mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi.
Hal ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan sekolah formal, dimana keberhasilan pendidikan diukur dari banyaknya uang dan kemewahan fasilitas. Yang paling penting dalam Home schooling adalah terciptanya keterlibatan aktif para pembelajar dengan dunianya dalam suasana dialogis yang saling memberi dan menerima serta menghadapi dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Dikala pendidikan formal kita didera berbagai masalah seperti biaya pendidikan yang mahal, fasilitas pendidikan yang minim, bangunan sekolah yang tidak layak, tenaga pengajar yang tidak merata, dan meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah, ujungnya akan berimplikasi terhadap rusaknya sistem sosial kita. Sehingga seharusnya pendidikan alternatif tidak dipandang sebelah mata atau bahkan diabaikan.
Pendidikan adalah hak asasi manusia sebagaimana telah diamanahkan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia pasal 28C ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” . Sehingga pemerintah sebagai penyelengara Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pendidikan yang berkeadilan sosial tanpa memandang status sosial dan ekonominya.
Oleh karena itu, pemerintah harus memandang pendirian sekolah alternatif sebagai instrument penting dalam mengatasi masalah pendidikan yang holistik. Hal ini tentu saja mengharapkan adanya kesetaraan perlakuan antara lulusan sekolah formal dan sekolah alternatif terutama kesempatan dalam sistem sosial dan ekonomi.
Sistem pendidikan alternatif juga menyentuh wilayah filosofis yakni memanusiakan manusia (humanisasi). Bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam mengenyam pendidikan, yang kaya dan miskin, anak pemodal dan pekerja, semua sama saja.
Kecerdasan tidak dinilai dari materi, uang dan relasi kekuasaan. Tapi, kecerdasan dinilai dari seberapa besar kontribusi manusia dalam menemukan pemecahan masalah hidupnya dan memberikan manfaat bagi manusia yang lain. Yang dibutuhkan adalah solusi bukan sekadar formalitas. Output pendidikan tidak lagi dicetak seragam dengan hanya memiliki kecerdasan akademik tetapi memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spritual yang termanifestasikan dalam relasi sosial.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan misalnya filsuf terkenal seperti Plato dan Aristoteles tidak menempuh pendidikan formal dan memiliki ijazah apalagi gelar professor, tetapi teori yang mereka temukan dan ajarkan dalam proses pendidikan memberikan sumbangsih yang sangat berharga terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pemikiran mereka masih terus digunakan bahkan oleh Professor yang secara formalitas memiliki pengetahuan yang paling tinggi.
Melihat realitas yang ada saat ini, seiring dengan bertambahnya manusia, pendidikan formal telah memproduksi manusia dengan seabrek gelar. Tetapi, justru berbanding lurus dengan meningkatnya korupsi yang semakin beringas, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam serta berbagai permasalahan bangsa yang lain. Pejabat yang menjarah uang rakyat adalah mereka yang sekolah dan memiliki gelar pendidikan yang tinggi. Tentunya ini adalah masalah kronis yang harus diatasi dengan secepatnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran, kepedulian serta kecerdasan pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan, sehingga sekolah alternatif akan menjadi pilihan jangka panjang yang diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan untuk memperbaiki tatanan sosial yang semakin mengalami keruntuhan, Karena orang yang baik dan mulia bukanlah orang kaya, terkenal, ataupun banyak prestasinya. Namun ini adalah orang yang mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan sekitarnya.
[1]Bale-Bale adalah sejenis tempat duduk yang terbuat dari bambu