web analytics
header

Koruptor dan Sanksinya

Oleh: Ahmad Fauzi

A
khir-akhir ini kita sering mendengar kata korupsi. Korupsi sering tertulis dan terdengar di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Kata korupsi ibarat sudah menjadi trending topic di kalangan masyarakat. Kata korupsi terdengar mulai dari ibukota hingga ke desa-desa. Masyarakat sekarang sudah gerah dan alergi mendengar kata itu.
Korupsi sudah menjadi penyakit bagi kalangan masyarakat atas dan menengah. Pelaku korupsi disebut sebagai koruptor. Koruptor sekarang ibarat artis yang sangat fenomenal dan tidak mempunyai rasa malu. Koruptor sudah menjadi profesi sampingan bagi para pejabat, anggota dewan, pegawai negeri, dan sebagainya.
Menjadi koruptor merupakan sebuah pekerjaan yang mempunyai hasil “nikmat” bagi yang menjalaninya, tapi hasil yang nikmat hanya bisa dinikmati hanya sementara saja karena sepintar-pintarnya orang menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan ketahuan juga bau busuknya.
Akhir-akhir ini, koruptor seolah merasa bangga dengan perbuatannya, ia seolah kehilangan rasa malu, dan harga dirinya. Ia bahkan masih sempat tersenyum, bahkan tertawa dengan perbuatannya sendiri. Mungkin sanksi hukum yang berlaku di negeri amatlah ringan bagi mereka. Bahkan sanksinya terkadang lebih ringan dari pada seorang maling sandal, ayam, dan lain-lain.
Ini memiriskan sekali bagi penegakan hukum di negeri ini karena sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang telah dirampas haknya.
Tapi setelah saya melihat UU No 20 Tahun 2001, saya melihat sanksinya yang hanya maksimal 20 tahun penjara. Tapi dalam penerapan saya melihat belum ada koruptor yang hukuman penjara 20 tahun. Saya hanya melihat vonis hakim untuk kasus korupsi hanya berkisar 5 tahun penjara, itupun masih bisa dipotong diskon remisi yang didapat setiap tahunnya. Ini tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor yang mendapatkan hukuman tersebut.
Di kalangan masyarakat, ada yang mengusulkan hukuman koruptor berupa hukuman mati atau seumur hidup. Karena masyarakat sudah merasa muak dengan praktik korupsi yang sudah merajalela di kalangan masyarakat, dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Tapi menurut saya sanksi yang paling efektif bagi para koruptor yakni sanksi moral yang berupa pengucilan dan sanksi sosial lainnya. Karena hukuman penjara tidak menimbulkan efek jera bagi mereka para koruptor. Hukuman penjara bisa menimbulkan ladang korupsi baru bagi para penegak hukum. Seperti pada kasus Gayus Tambunan yang sudah menyogok petugas sipir hanya untuk terbang ke Bali dalam rangka menikmati pertandingan tennis. Dan pada kasus Artalyta yang penjaranya seperti kamar hotel berkelas.
Dari beberapa kasus di atas, sanksi penjara tidak menimbulkan efek jera, bahkan memicu timbulnya koruptor-koruptor baru karena melihat sanksi dan penegakan hukum yang sangat lemah. Sehingga hanya sanksi moral dan hukuman mati yang pantas bagi para koruptor.

Related posts:

Kiamat!! Kita Semua (Harus) Mati!

Resensi Film Silent Night (2021) Oleh: Muhammad Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Bayangkan, suatu hari pemerintah mengumumkan