Oleh: Rezki Alvionitasari
(Dewan Pers LPMH-UH)
Dalam sebuah kesempatan saya bersama seorang kawan bernama Dhana, menghadiri workshop jurnalistik yang diadakan oleh Dewan Pers Nasional, Jumat (9/3) bertempat di Hotel Sahid Makassar. Sayangnya kami datang terlambat, sehingga separuh kegiatan sudah berjalan saat kami tiba di ruangan yang dipenuhi aktivis pers mahasiswa sebagai pesertanya. Rata-rata mereka adalah kawan kami, yang bergelut di bidang pers kampus dari berbagai perguruan tinggi di Makassar.
Ada hal yang sangat menarik menurut saya dan patut diceritakan kepada para pegiat pers mahasiswa atau yang hanya sekadar mengaku insan persma. Mungkin hal ini bukanlah informasi yang baru didengar, juga kelihatannya sepele. Namun, pesan yang disampaikan pembicara bisa membuka cakrawala berpikir saya bagaimana persma itu sebenarnya. Saking luar biasanya, saya sempat merasa minder dan bertanya dalam hati; “layakkah saya disebut pers mahasiswa?” dan sepertinya jawabannya tidak, atau belum.
Yaitu pada sesi III dalam diskusi ini, Wina Armada Sukardi (salah seorang Dewan Pers Nasional) mengawalinya dengan cerita mengenai masanya sebagai tokoh pers kampus. Dari pengalamannya itu jugalah yang menghantarkan dia menjadi seperti sekarang.
Jiwa wartawan sebagaimana yang menjadi rutinitas persma, adalah jiwa yang penuh dengan idealisme. Idealis, itulah gambaran awal dari sosok pers mahasiswa. Namun, pernahkah kita berpikir, digunakan untuk apa dan dimana keberadaan idealisme itu? Apakah hanya sebatas dalam karya tulisan saja ataukah dalam keseharian kita mulai dari kita bangun hingga tidur?
Idealis adalah mereka yang menganggap bahwa dunia ini seharusnya ideal, dan bisa diusahakan untuk mencapai kondisi ideal tersebut. Dunia ini seharusnya aman, tentram, bersih, hijau…kemiskinan bisa diberantas, lingkungan bisa diselamatkan, dan perang bisa dihentikan. Orang-orang idealis biasanya berpikiran mendalam, gemar berdiskusi, dan berusaha untuk mencapai ke-ideal-an dalam melakukan sesuatu. Makanya, orang idealis selalu berusaha untuk melakukan perubahan. (http://umihabibah.com/antara-idealis-dan-realistis/)
Tentunya menjadi sesuatu yang sangat ideal jika kita mampu membawa perubahan untuk orang lain dan dari diri sendiri. Manifestasi/perwujudan dari idealisme yang kita miliki bukan hanya bisa tergambar dari karya-karya atau tulisan yang sejatinya bisa membawa perubahan, melainkan dari penampakan kita (diri kita).
Mengaku pers mahasiswa yang idealis namun perilaku kadang tidak berbeda dengan mereka yang tidak idealis. Ikut demonstrasi di jalan atas nama rakyat dan idealisme, tetapi menitip absen di kelas yang menandakan perbuatan curang.
Menurut Wina, pers kampus atau pers mahasiswa harus rajin, pekerja keras, berani, peka, dan punya keterampilan seperti menulis dan membuat karya lainnya termasuk keterampilan menggunakan teknologi informasi.
Rajin dan pekerja keras, menandakan dia sosok yang idealis. Berani, karena tanpa keberanian, pers mahasiswa tidak mampu menyuarakan aspirasinya dengan leluasa. “Kalau baik katakan baik, kalau buruk katakan buruk,” begitulah yang dikatakan Wina mengingatkan pentingnya kejujuran dalam berkarya.
Peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Persma bukanlah sosok yang acuh tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang sedang dialami lingkungannya. Hatinya selalu tidak tenang jika ada sesuatu yang bengkok menurutnya.
Supaya kita tidak cenderung ketinggalan zaman, maka sangat perlu memiliki keterampilan di bidang teknologi informasi. Karena pers erat kaitannya dengan penyaluran informasi secara sosial. Kita tahu bahwa teknologi sudah semakin canggih dan tidak ada salahnya memanfaatkannya untuk kebaikan.
Pers itu terkadang dimusuhi, dan kita harus memiliki senjata untuk menghadapi mereka. Bagaimana caranya? Yaitu kita harus punya wawasan yang luas, bukan hanya sekadar memiliki nilai yang tinggi (apalagi yang hanya didapat dari hasil-hasil kecurangan). Wina juga menambahkan bahwa persma tidak boleh tidak lulus.
Sebab sebagian tulisan kita mungkin mengkritik sesuatu yang menurut kita tidak baik. Mereka yang merasa diadili bisa jadi mempertanyakan kapasitas kita, apakah kita sebagai pribadi sudah lebih baik? Dosen kita mungkin suatu saat akan menguji kita karena dia tahu kita seorang aktivis, namun jika kita sudah membekali diri dengan segudang ilmu dari hasil membaca, niscaya tidak ada kekhawatiran di benaknya terhadap kita karena kemungkinan tulisan kita dipercaya apabila kita juga dapat mewujudkannya sendiri. Meskipun dalam istilah Islam mengatakan; “jangan melihat siapa yang berbicara, tetapi dengarlah apa yang dikatakannya.”