Oleh : Nurfaika Ishak
(Anggota Magang LPMH-UH Periode 2012-2013)
Kancah perpolitikan di Indonesia senantiasamenimbulkan opini pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah, mengingat Indonesia adalah negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyatdan cratein yang berarti pemerintahan, sehingga diartikan sebagai pemerintahan rakyat.
Suatu kaum memandang politik adalah “putih” di mana mereka dapat merasakan kenikmatan dan kesejahteraan dari kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang pro terhadap seluruh lapisan masyarakat. Namun kaum lainnya memandang politik adalah “hitam” karena menjadi jalan pintas bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang yang bertujuan memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya tanpa memperhatikan dan mempedulikan akibat dari perbuatannya yang menyengsarakan rakyat. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan melengkapi.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 1 Ayat (3) menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi apa yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut, karena ketentuan itu mempunyai kekuatan mengikat. Law is the body of rules, whether formally enacted or customary, which a state or community recognized as binding on its member or subject[1] (hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).
Berbagai aturan hukum yang dimuat dalam konstitusi menyatakan tentang kebebasan berpendapat dan berekspersi dalam negara demokrasi Indonesia. Semua itu tidak menentukan batas usia bagi siapa saja yang ingin mengemukakan argumennya. Di antaranya persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum dan pemerintahan[2]. Seluruh warga negara tidak mengenal perbedaan usia dan gender untuk terbebas dari rasa takut dalam berekspresi dan berpendapat. Sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi dan/atau mengganggu hak-hak orang lain.
Selain itu, negara demokrasi Indonesia ini juga menaruh penghormatan terhadap penegakan hak asasi manusia yang merupakan hak universal yang diakui di seluruh dunia. Masyarakat dunia sepakat bahwa terdapat suatu hak dalam setiap diri manusia yang harus dijunjung tinggi. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[3]. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[4]. Sehingga hak yang dimiliki oleh seluruh ummat manusia tanpa terkecuali ini, yang ada sejak lahir sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan untuk alasan apapun. Salah satu prinsip fundamental di dalam hak asasi manusia adalah kebebasan bagi seluruh individu untuk berpendapat mengenai apa saja termasuk politik sekali pun. Individu dalam artian ini tidak mengenal pembatasan usia, tua ataupun muda, keduanya memiliki hak yang sama.
Dewasa ini, politik tidak hanya menjadi konsumsi orang-orang tertentu, tetapi telah menjadi bahan pembicaraan yang tidak lagi tabu oleh khalayak. Berbeda pada zaman orde baru, di mana orang-orang yang berbicara politik hanya merekayang memiliki kekuasaan besar dan berpengaruh. Rakyat minoritas yang tidak memiliki kekuasaan merasa takut untuk masuk di ruang lingkup politik, apalagi berbicara tentang masalah politik. Mereka takut akan ancaman kekerasan seperti tindakan penculikan, pengasingan, hingga pembunuhan,serta tindakan-tindakan otoriter lainnya yang dilakukan penguasa karena merasa tersinggung atas pandangan politik minoritas yang tidak sepaham dan bertujuan untuk mengoreksi pemerintahannya. Namun setelah terjadi reformasi pada tahun 1998, perkembangan perpolitikan Indonesia menjadi lebih transparan dan rakyat mulai ambil bagian. Sadarnya rakyat terhadap kekangan penguasa ini diperkuat setelah dilakukannya amandemen kedua terhadap UUD1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Konstitusi sebagai hukum tertinggi memberikan hak atas kebebasan bagi semua orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat[5].
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) di dalam pasal 19 menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dengan adannya deklarasi ini, semakin mendukung bahwa semua orang khususnya para generasi muda pantas untuk menyuarakan aspirasinya. Generasi muda tidak perlu merasa khawatir akan gangguan yang akan menimpanya karena hal tesebut telah dijamin oleh deklarasi universal HAM dan juga dilindungi oleh konstitusi.
Selanjutnya, melirik Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sejatinya UU ini melegitimasi bahwa sesungguhnya kaum muda berhak untuk berbicara tentang politik. Hal itu juga menjadi perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku[6]. Diperkuat lagi dengan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik pada pasal 19 ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat. Hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya[7].
Kemajuan ataupun kemunduran suatu sistem pemerintahan dalam bernegara di masa depan ditentukan oleh apa yang dibuat oleh generasi muda saat ini. Oleh karena itu, kini sudah saatnya bagi generasi muda yang notabene-nyaadalah pelanjut dari pergerakan bangsa kedepannya mulai berkutat dengan politik, sehingga mereka tidak menjadi korban kebobrokan generasi pendahulunya. Generasi muda yang mengerti politik tidak akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok. Selain itu, urgensi dari keterlibatan generasi muda dalam dunia perpolitikan ialah mencegah mereka dari sikap apatis dan pragmatis terhadap keadaan bangsa ini. Karena ketika kaum muda mulai tidak peduli dengan apa yang terjadi, dipastikan kehancuran akan datang menghampiri. Oleh karena itu, memiliki generasi muda yang sadar akan politik sangat diperlukan sehingga eksistensi dari bangsa atau negara ini menjadi suatu keniscayaan. Mereka dapat menjadi penyeimbang dengan berfungsi sebagai pengawas, pengontrol, dan pelanjut kebijakan-kebijakan dari pemerintah.
[1] Lihat Oxford English Dictonary
[2] Lihat Pasal 27 Ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945
[3] Lihat Pasal 28J Ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945
[4] Lihat Pasal 1 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
[5] UUD NKRI Tahun 1945 pasal 28E ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
[6] Lihat UU No.9 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1)
[7] Lihat UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights