web analytics
header

Nasionalisme Ala Iwan Fals

Oleh: Andi Surya Nusantara Djabba
(Pengurus BEM Fakultas Hukum Unhas Periode 2012-2013)

Bukan dengan pisau, pistol ataupun tank ia berjuang. Tapi dengan bermodal gitar, harmonika dan  syair-syair ia menebar salam kepedulian antar sesama manusia”.
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Dijalanan kami sandarkan cita cita
Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Siapa yang tak mengenal pelantun tembang merakyat diatas? Sosok sederhana yang melihat Indonesia lewat kaca mata seni kemudian berkomentar menggunakan seni. Dialah Virgiawan Listanto, lahir dari rahim Ibu Pertiwi dan tak tega jika Ibu Pertiwi dianiaya oleh kekuasaan akibat ketamakan anak-anaknya yang durhaka. Di medan perang dalam melawan anak-anak durhaka tersebut, ia menggunakan nama Iwan Fals sebagai nama prajuritnya (baca : panggungnya).
Menggunakan gitar akustik, harmonika dan syair-syair sebagai senjata, ia menyerang musuhnya, alhasil ia pun dilarang konser akibat penyerangannya (penyerangan menurut Orba). Iwan Fals sangat cinta kepada Bangsa Indonesia, ketika ia melihat anomali dari tingkat “Orang Pedalaman” hingga “Negara” maka ia akan mengambarkanya dalam syair apa adanya kemudian tampil membuat ironi dan ketragisaan yang lucu kepada para penikmat aksinya.
Lagu-lagu Iwan Fals Dalam Melihat Kaum Miskin
“Siang Seberang Istana” merupakan lagu keironisan dimana di sekitar istana yang megah dan diisi oleh pejabat yang bertugas menyejahterakan masyarakat terdapat “Seorang anak kecil bertubuh dekil…” yang tak diperhatikan oleh istana. Kemudian saya bertanya, orang miskin yang dekat dengan istana yang megah saja tidak diperhatikan, terus bagaimana dengan yang dipelosok daerah? “Sore Tugu Pancoran” menggambarkan seorang anak yang mencari uang di usianya yang seharusnya hanya belajar dan bermain, “…Sanggupkah si budi diam di dua sisi”. Lihatlah disekitar lingkungan kita masih banyak pekerja anak yang terpaksa mencari uang untuk sesuap nasi, dibenak saya bertanya, apa guna UU perlindungan anak? Mungkin pertanyaan saya terlalu naif, namun dua contoh lagu Iwan Fals dalam melihat kaum miskin berhasil memancing kepedulian saya dan mungkin juga kepedulian kalian bila mendengarnya.
Syair-Syair Iwan Fals Dalam Meneropong Oknum dan Struktur Pemerintahan
Bang Iwan sapaan akrabnya, juga memiliki banyak lagu-lagu yang bernada kritik dan keironisan pada tatanan pemerintahan yang kacau balau. Lagu tersebut kemudia dilempar ke masyarakat tidak hanya sebagai ajang hiburan tapi penuh dengan pesan-pesan dan sarat akan makna, syair lagu-lagu itu berkembang menjadi wacana kritis di masyarakat, namun mungkin “Bongkar”, “Bento”, “Wakil Rakyat”, “Galang Rambu Anarki” dan “Tikus Kantor” yang paling membumi dan populer di masyarakat.
Dalam lagu “Bongkar” Bang Iwan seolah menelanjangi para penguasa yang hatinya tak tergerak oleh derita rakyat kecil dimana kepedihan dan kesedihan rakyat kecil hanya dijadikan tontonan serta komoditas di masa kampanye, kita juga bisa mendengar teriakan seorang Iwan Fals tentang buruknya tabiat penguasa “…yang diperbudak jabatan”. “Bento” memberikan kita sebuah pemahaman mengenai kediktatoran “…bos eksekutif…” yang selalu menindas dan tak memerdulikan kepentingan orang-orang kecil. Jika “Bongkar” dan “Bento” mengkritik pejabat eksekutif maka “Galang Rambu Anarki” melihat keganjilan dari segi kebijakan pejabat eksekutif, “…BBM naik tinggi(susu tak terbeli). Orang pintar tarik subsidi. Anak kami kurang gizi…” dan setelah memaparkan keganjilan kebijakan maka “Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku…” adalah syair perlawanan dari kebijakan itu. Kritik Bang Iwan dalam ranah legislatif tercermin dalam “Wakil Rakyat”, lagu ini menghimbau kepada anggota dewan untuk “…Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat…”, maksudnya anggota dewan penyambung lidah rakyat harus lebih peka dalam memerjuangkan hak-hak rakyat. Kemudian budaya korupsi birokrasi patronase terkandung dalam “Tikus Kantor”.
Lagu-lagu Yang Menyentuh Aspek Kemanusian Lain
Lagu-lagu Bang Iwan maupun lagu-lagu orang lain yang dipopulerkannya dalam rangka memberikan sajian yang atraktif untuk menyenangkan dan menumbuhkan kepedulian masyarakat, membuat Bang Iwan melihat segala kerumitan Indonesia secara komperhensif, hampir segala aspek kehidupan di Indonesia tak luput dari syair-syair kritis yang dibawakannya. Hal ini dapat dilihat dengan lagu-lagu bertema kepedulian yang dilakonkan Bang Iwan sebagai berikut : 
1.     Sarjana Muda tentang keprihatinannya terhadap menyempitnya lapangan kerja.
2.     Para Tentara tentang keprihatinannya melihat oknum pengaman yang melakukan tindak represif.
3.     Tak Biru Lagi Lautku tentang keprihatinannya terhadap pembangunan yang merusak lingkungan (laut).
4.     Lonteku tentang keprihatinannya melihat Pekerja Seks Komersial yang termarjinalkan.
5.     Bung Hatta tentang keprihatinannya melihat tokoh besar nasional meninggal dunia.
6.     Ibu tentang keprihatinannya melihat pengorbanan seorang ibu dalam membesarkan anaknya.
7.     Isi Rimba Tak Ada Lagi Tempat Berpijak tentang keprihatinannya melihat eksploitasi hutan.
8.     Besar dan Kecil tentang keprihatihatinan melihat rakyat kecil yang ditindas dan tak adanya tempat mengadu.
9.     Ethiopia tentang keprihatinannya melihat Negara Ethiopia yang dilanda bencana.
10.  Kuli jalanan tentang keprihatinannya melihat nasib buruh dengan gaji yang rendah.
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya bertanya, bagaimana mungkin seorang manusia punya kepedulian sebanyak itu?
           
Refleksi Pemahaman Jiwa Nasionalisme Iwan Fals
Rasa sayang yang teramat Iwan Fals kepada Ibu Pertiwi membuatnya tidak pernah diam dalam menanggapi berbagai macam persoalan yang terjadi di Indonesia lewat bidang estetik. Bukan hanya menghibur penonton dengan aksi panggungnya yang merakyat tapi juga dengan segala lirik-lirik bernada kritik dan ironis Iwan Fals berhasil memberikan suatu wacana untuk membangkitkan kesadaran tentang kepedulian terhadap sesama manusia. 
Kritik-kritik Iwan Fals benar-benar tulus dan entah itu sebuah keberanian atau kepolosan, mengingat di zaman yang otoriter dahulu Iwan Fals selalu membawakan lagu-lagu yang mengkritisi pemerintah dan segala hal yang ia anggap tak lagi sesuai dengan kemanusian, alhasil pecahnya kaca rumah karena dilempar oleh pihak yang tak dikenal merupakan suatu akibat, belum lagi tekanan-tekanan yang pernah di dapatnya, dilarang manggung dan dipenjara.
Berbeda dengan zaman sekarang, semua aktif mengkritisi karena memang sistem sudah memperbolehkan kita berbicara, tapi coba orang-orang yang sering nyeleneh-nyeleneh itu di bawa ke masa otoriter, bisahkah ia seperti Iwan Fals? Saya sangsikan bisa. Iwan Fals merupakan pahlawan sejati walaupun tak diberi gelar oleh pemerintah, jangan kalian pikir Iwan Fals hanya mampu mengkritik, sosok sederhana yang tak pernah mau disebut selebritas ini aktif dalam konser amal buat rakyat yang kesusahan dan memberdayakan manusia-manusia di Indonesia lewat OI-nya Organisasi Orang Indonesia.

Related posts:

Gadis Kecil Pekerja Keras

Makassar, Eksepsi Online – Siang itu, Kamis (5/10), kondisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) terlihat ramai. Para mahasiswa sedang duduk di