Oleh: Ramli
(Divisi Litbang LPMH-UH Periode 2012-2013)
Pesan singkat masuk ke ponselnya sekitar jam 11 malam, saat waktunya ia harus tidur. Pesan itu aneh, meskipun Gusti sering mengajaknya bertemu, namun tidak pada waktu seperti ini. Di kamar berleha-leha menonton TV, ia bergegas mengganti pakaiannya.
“Ayah keluar dulu, ada kepentingan mendadak,” sambil mengancing kemejanya.
Masih berusaha terlelap, isterinya sontak terbangun dan berpaling padanya. “Ada kepentingan apa? Tidak biasanya ayah keluar selarut ini.”
“Hanya malam ini. Ada urusan perusahaan yang penting untuk segera diselesaikan,” mendekat dan membelai rambut isterinya yang kusut, menyangkutkan di daun telinga.
Ia lalu berjalan keluar, meninggalkan sang isteri yang kembali merebahkan badannya di kasur.“Fariz, jangan belajar terus. Tidurlah Nak,” setelah mengaitkan tas selempangannya di bahu kanan, ia melangkah menuju tempat tujuan.
Sesampainya di depan kamar hotel, ia langsung mengucapkan salam. Seketika juga gagang pintu bergerak menyingkap pintu, meski tak ada jawaban atas salamnya. Penampilan teman kerjanya di perusahaan itu tampak berbeda. Rambutnya tidak lagi rapi diratakan sisir. Matanya juga memerah, seperti marah, tak lagi tersenyum seperti hari yang lalu.
Meskipun dari Gusti belum ada kata persilahan, ia hanya mengikuti teman sekantornya itu melangkah menuju kedalam kamar. “Ada apa kau mengajakku kesini?” sambil duduk di sebuah kursi ukiran yang empuk.
“Radi, lima hari berlalu sejak Rahman meninggal. Aku merasa berat jika pengabdian kita memajukan perusahaan selama tiga tahun tidak terbalas seperti selayaknya, hanya karena wasiat itu,”sembari menyemburkan asap rokoknya, ia duduk di tepi kasur, dengan menumpukan kaki kanannya di atas lutut kaki kiri.
“Aku tahu maksudmu, tapi ini adalah amanah. Dan pantaslah, kalau Ali, putra Pak Rahman memimpin perusahaan, karena itu memang milik ayahnya. Sudah syukur kita hidup sejahtera karena dipekerjakan Pak Rahman dahulu,” membalas dengan suara yang merendah.
“Ini kan rahasia, hanya kau dan aku sebagai orang kepercayaannya yang tahu. Ini tak akan jadi masalah, kecuali kau membeberkannya,” mimiknya masih tak bisa dimaknai, mematung menatap tajam mata Alan, seperti memaksa untuk diiyakan maunya.
“Aku tak bisa. Kita seharusnya sadar, siapa kita sebelum bekerja di perusahaan pak Rahman? Kita berutang budi padanya. Seharusnya kita berterima kasih dengan melaksanakan amanahnya,” bantahnya, membuat suasana kembali menjadi beku.
Gusti sesekali merebahkan badannya di kasur empuk, tapi masih tetap membumbungkan asap rokoknya. Sedangkan Radi masih duduk di kursi, berhadapan dengan kasur tempat Gusti rebahan. Terkadang ia berdiri, memandangi kendaraan yang berlalu di jalan raya melalui jendela, lalu duduk kembali. Suasana memang tidak ramah, tapi sudah dua jam lebih perbincangan itu berberhenti dan berlanjut.
“Aku tetap pada pendirianku, sebagaimana janji kita kepada pak Rahman. Pesan itu harus disampaikan besok juga,” mencoba mengikrarkan bahwa dia tak akan merubah pendiriannya.
“Aku kira kau sepaham denganku tentang pilihan yang terbaik. Tapi kau lebih memikirkan pesan orang yang tak akan mampu mempertahankan pendapatnya. Seharusnya kau berfikir cerdas sepertiku!” Nadanya datar, seperti tidak menerima pernyataan Radi.
Masih belum ada kesepakatan, Radi merasa gundah dan meninggalkan perbincangan yang mengekang batin itu. Dia masih tak habis pikir atas kekukuhan Gusti merahasiakan wasiat itu. Dalam perjalanan pulang, di waktu tengah malam, ia memaksa diri tetap fokus menyetir mobil, demi menatap kembali orang terkasih yang pasti menunggunya di rumah.
Tapi, tiga kali letusan, seketika membuat gelap dunianya, mengantarkan ia terlelap selamanya. Lalau intas yang lengang membuatnya tidak pernah memperhatikan spion, padahal sejak dari tadi, sebuah mobil menguntitnya dari belakang. Sang penguntit mengarahkan lubang pistol, menarik pelatuk saat tepat mengarah di kepalanya, menariknya hingga tiga kali.
***
Kembali ke masa lalu, ketika hidup di masa kanak-kanak yang sungguh menyenangkan. Hanya berfikir tentang bermain, berusaha menjadi pemenang, dan menertawakan sang pecundang. Tega melukai satu sama lain, tapi lekas juga terhapus benci, meski tanpa kata maaf, hanya dengan bermain saja. Begitulah kedua anak kecil itu, bermain lalu berakhir karena marahan, hanya karena menumpahkan bumbu di wajan yang sesungguhnya miniatur saja.
Kebersamaan tanpa keinginan untuk saling memiliki itu berlangsung lama, sejak masuk SD sampai SMA. Semuanya berubah sejak pertengahan semester di kelas 3 SMA, ketika mereka sadar bahwa seharusnya ada batasan pergaulan antarlawan jenis. Saat mereka cemburu ketika salah satunya terlalu akrab dengan lawan jenis yang lain. Kebersamaan selama di waktu lalu telah menyatukan batin mereka, meski tanpa ikrar cinta. Tampakan, bunyi, dan aroma masa lalu telah membuat mereka terkenang dalam nostalgia yang indah. Tak mungkin melupakan semua itu, terekam di memori, dan akan teringat kembali suatu saat.
Jam 9 malam, waktunya belajar dan mengerjakan tugas matematika bagi Fariz. Tapi sulit untuk memahami huruf dan angka itu, sehingga halaman buku disorot matanya tanpa makna. Letih mamaksa diri, ia melentangkan badannya di pembaringan, melihat laron-laron di langit-langit kamarnya yang tak lelah mengelilingi bohlam. Pandangannya dalam kekaburan makna, terbatas pemaknaannya dengan mata hati saja. Hanya tentang teman kecilnya itu dalam pengelihatannya, pendengarannya, dan pembaunya. Ia kemudian memejamkan mata, berhayal tentang gadis manis itu dalam semua waktu yang berlalu.
“Tahukah kau apa yang tersirat di benaku?
Yang menjamah alam bawah sadarku. Teganya kau!
Mengambil sadarku, tak mampu lagi memaknai kenyataan
Bahwa ini tentang perasaan saja, tak perlu kau tahu
Karena sadarku, kebersamaan telah mengikat kita dengan perasaan
Tegakah aku memusnahkan perasaan itu, dengan menyatakan dengan sadarku?
Biarlah rasa abadi begitu saja, tak akan kupaksakan jadi nyata
To : Intan Gusti”
Kegalauan itu sudah tertulis pada secarik kertas, dilipatnya, lalu diselipkan di sela lembaran buku matematika. Berharap dengan itu kegelisahannya tercurahkan, menenangkan batinya, hingga dapat damai dalam lelap. Ternyata tak semudah itu, ia harus bergulat sendiri di kasurnya, berusaha menemukan posisi yang seketika dapat membuatnya terlelap. Dengan perjuangan keras, ia akhirnya terlelap saat waktu lewat tengah malam.
Masih berat kelopak mata untuk tersibak, tapi matahari telah menyusupkan sinarnya melalui jendela kamar, memaksa Fariz terbangun. Dengan cepat ia berdiri tergopoh, bergegas bersiap untuk barangkat sekolah, tak tega ia membiarkan Intan menunggu jemputannya terlalu lama. Tidak hanya mengantar ke sekolah, mereka pun saling menunggu untuk pulang bersama ke rumah selepas jam sekolah, meskipun mereka berbeda kelas.
Kebersamaan sejak kecil membuat mereka tak bisa terpisahkan, terlebih ayah mereka saling akrab karena bekerja di perusahaan yang sama. Meski tidak seperti dulu lagi, ketika rumah mereka saling berhadapan, hanya jalan yang membatasi, Fariz tetap setia menemaninya. Fariz sekeluarga kini telah pindah rumah, berjarak satu setengah kilometer dari rumah Intan.
“Riz, aku pinjam buku matematikamu ya? Aku punya tugas yang harus dikumpul besok,” pinta Intan sesampainya di depan rumah selepas sekolah.
Segera saja Fariz membuka resleting tasnya, menyerahkan buku yang memusingkannya semalam. “Ini. Dijaga ya.”
Malam telah menggelapkan bumi, menentramkan hati yang gusar dengan hidup hari ini, meskipun harus menghadapi hari esok lagi. Waktunya bagi Intan menyelesaikan tugas matematika, berharap aktivitasnya esok lancar seperti hari ini. Jarinya mulai menyingkap lembaran buku pinjaman itu, hingga ibu jari tangannya tertuntun menyingkap celah pada pertengahan buku, bercelah karena gancalan selipatan kertas. Ia pun mengambil, membuka secaraik kertas itu, membaca untaian kata yang menyertakan namanya di akhir bait. Konsentrasinya buram saat itu, sama seperti yang dialami Fariz tadi malam.
Sang surya telah membentangkan sorbannya, membuatnya semakin menyilaukan. Pagi bersambut, menuntun Fariz menjemput Intan lagi. Ia terlihat gugup sesampainya di depan rumah Intan, tak lagi lantang menyapa untuk menyatakan bahwa ia sudah ada di depan rumah. Itu karena lipatan kertas yang ia tidak tahu keberadaannya. Ia tetap memaksakan dugaannya, kertas itu besembunyi di kamarnya. Tetapi batinnya merasa, kertas itu terselip dalam buku matematikanya. Ia tak mampu belagak biasa, hanya duduk di sadel motor memandangi kendaraan yang melintas, padahal biasanya dia langsung masuk dan duduk di teras rumah Intan selagi belum siap untuk segera berangkat.
Raut wajah Intan dipandangainya di celah terali pagar. Cepat menundukkan pandangannya saat Intan balik menatapnya. Mereka tak mampu lagi menatap seperti biasa. Untuk tersenyum saja mereka sungkan, hanya bisa sekadar nyengir. Tak ada yang berani memulai guyonan seperti waktu sebelumnya. Walaupun mereka sadar ada yang berbeda di antara mereka, tapi mempertanyakan sebab itu tak ada yang kuasa. Keheningan menjadi nuansa keberangkatan mereka bersama pagi ini.
Masih jam jam pelajaran, tepatnya jam 11, ketika Fariz memohon izin untuk pulang lebih awal kepada guru. Ibunya mengirimkannya pesan yang tak lazim, memohon dia untuk segera pulang ke rumah. Setelah menyampaikan permohonan maaf dan alasannya pulang lebih awal kepada Intan, ia langsung kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, dia disambut dengan bendera warna putih yang berkibar di pagar rumahnya. Ia melongok kebingungan atas keramaian orang di depan rumahnya. Ibunya pun bersambut, memeluknya dengan erat, sambil meneteskan air mata.
“Nak, kau harus tabah, ayahmu telah tiada,” ucap ibunya.
Tidak ada tanggapan atas ucapan itu, kecuali turut meneteskan air mata. Kesedihan terasa amat dalam baginya, ditinggal sang ayah untuk selamanya.
Waktu tetap berjalan, membawa hidupnya dalam empat bulan kedepan, membuatnya belajar meneriman kenyataan itu. Terlebih ada Intan yang setia meneguhkan hidupnya. Meski tak tahu harus bagaimana memulai perbincangan di setiap pagi, dan ketika matahari tergelincir, namun Intan tetap memberanikan diri mendahului percakapan. Semua karena perasaan iba melihat Fariz yang masih sering termenung.
Lima hari berselang, Intan seperti biasanya, menunggu di teras rumahnya. Lama sudah ia menunggu, tapi Fariz tak kunjung datang menjemputnya. Karena sudah jam 8, ia pun memutuskan untuk tidak ke sekolah. Memasuki kembali rumah untuk beristirahat, berbaring dan menggonta-ganti siaran TV. Tapi hanya berita tentang penembakan yang nongol di setiap stasiun TV, memaksanaya menonton juga. Kata narator berita, sang pembunuh adalah Gusti Rahim, nama yang persis dengan nama ayahnya. Iya tak sampai berfikir buruk, sampai foto sang pembunuh terpampang jelas di layar TV, memperlihatkan wajah yang persis ayahnya. Sang pembunuh terbukti menembak Radi Abu, persis dengan ayah teman sohibnya, Fariz Radi.
Dia memaksakan bahwa saat ini ia hidup dalam mimpi. Sungguh berat menerima kenyataan itu. Tak ada lagi tumpuan peneguh hati, tak mungkin terhadap Fariz yang pasti lebih terpukul dengan kenyataan tersebut. Kenyataan pahit yang harus diterima, bahwa Fariz tak akan menemaninya lagi. Kini waktunya menghapus bait-bait dalam lipatan kertas itu dan meredam rasa untuk semua yang berlalu.
***
Empat bulan sudah Intan menjadi seorang mahasiswa, satu-satunya jenjang pendidikan yang dienyamnya tanpa sosok Fariz. Kesannya tentang lipatan kertas itu semakin hari semakin memudar, terhapus oleh nuansa baru yang mulai mengesankan hidupnya. Sudah satu bulan ia melalui harinya bersama seorang yang membuat waktunya berkesan. Dia adalah Ali Rahman, lebih senior satu angkatan darinya. Ia suka kepribadian lelaki kurus dan tinggi itu.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, tak lagi diantar-jembut mobil oleh ayahnya setelah dipenjara, ia tetap ceria pulang bersepeda seiring Ali. Dia tahu betul bahwa kebersamaanlah yang akan membuat perasaan saling terikat. Meskipun masih seperti dulu, hanya bersama, tanpa ikrar untuk terikat dalam kata cinta.
Intan yang dari dulu tertarik dengan dunia penulisan, memutuskan bergabung di lembaga penulisan kampus. Terlebih Ali mengharapkan agar seorganisasi dengannya, dan menjadi seorang penulis yang handal. Kini ada pengganti Fariz, teman menulisnya dahulu yang aktif mengisi tulisan mading.
Suda tujuh hari pengambilan formulir untuk menjadi anggota organisasi dibuka, tersisa tiga hari lagi pendaftaran akan ditutup. Namun Intan yang segan mampir sekretariat organisasi belum juga mengabil formulir. Akhirnya, hari ini ia dipaksa Ali untuk mampir ke sekretariat organisasi untuk mengambil formulir sehabis kuliah.
Jam satu kata Intan kuliahnya akan berakhir, Ali dengan setia menunggu di depan sekretariat, duduk di kursi dan berbincang-bincang dengan salah seorang yang baru saja mengumpulkan formulir. Sampai tibalah Intan, bersambut dengan senyum manisnya. Hanya menatap Ali, tanpa menghiraukan kerumunan mahasiswa baru yang berseragam hitam-putih dengan kepala pelontos, termasuk seorang lelaki yang berbincang dengan Ali.
“Tan, perkenalkan, ini Fariz. Dia juga akan bergabung dalam organisasi ini,” pinta Ali ketika Intan berdiri di depannya.
Bukan hanya nama itu yang lazim, sekilas memandangi raut wajah lelaki tersebut, ia langsung teringat dengan sosok yang lama menemaninya dahulu. Serpihan kenangan kembali tersusun di memorinya, tentang kebersamaan di masa lalu, juga tetang lipatan kertas itu.