Oleh: Jupri, S.H
Pemerhati Tindak Pidana Korupsi,
Dosen Ilmu Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Tertangkap tanganya Akil Mochtar memberikan “pembenaran” atas opini Refly Harun berjudul “MK Masih Bersih?”, dimuat di harian nasional tiga tahun silam. Saat itu ia menegaskan tentang adanya makelar perkara di gedung Mahkamah Konstitusi. Walaupun hasil Tim Investigasi Internal Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Refly sendiri, tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkan
Seiring pemeriksaan tersangka korupsi Akil, lagi-lagi penyidik KPK menemukan barang haram jenis ganja saat melakukan penggeledahan di ruang ketua MK. Tentu melihat kondisi ini, kita sangat prihatin. Lembaga penjaga konstitusi sudah jauh keluar dari rel, menyimpang dari cita awal pembentukan. Ataukah mungkin sang pilar penegak konstitusi lupa akan sejarah lahir dan khitta Mahkamah Konstitusi?
Khitta MK
Berbicara mengenai kewenangan pengujian Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara “Marbury versus Madison”. Hakim Agung Jhon Marshall (1803) menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Kasus itu menjadi preseden yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara.
Hans Kelsen (1881-1973) seorang pakar konstitusi dan Guru Besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, pertama kali memperkenalkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga. Kelsen menegaskan bahwa pelaksaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitsional. Guna kepentingan tersebut maka perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court/MK.
Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi lahir dari rahim reformasi setelah amandemen ketiga UUD 1945. Selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003. MK didesain mengawal dan sekaligus menafsir Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Guna tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Pertama,menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga,memutus pembubaran partai politik. Keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Usia yang masih beliah, kiprah Mahkamah Konstitusi telah mampu “mengambil hati” masyarakat. Puncak kesuksesan diraih pada masa Mahfud MD menahkodai lembaga penjaga konstitusi jilid II. Dari segi semangat pemberantasan korupsi, setiap upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui jalur hukum (yudicial review) “mental” ditangan sosok negarawan sembilan pendekar konstitusi. Pemeriksaan pejabat negara harus melalui izin Presiden telah dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar inilah para penggiat antikorupsi menyematkan predikat “Mahkamah Konstitusi Antikorupsi”.
Ironisnya label lembaga negara antikorupsi harus ternodai, ditandai dengan ditetapkannya Ketua MK jilid III sebagai tersangka penerima suap. Padahal seyogianya puncak pimpinanlah yang harus menjadi suriteladan, menjaga nama baik institusi dan martabat hakim konstitusi. Selain itu praktik/laku korupsi tidak mungkin terjadi, seandainya Akil Mochtar paham akan sejarah dan khitta lembaga MK.
Upaya Solusi
Kondisi MK yang saat ini jatuh terjerembab, jangan sampai meruntuhkan mental pilar-pilar konsitusi. Penegakan hukum harus tetap berjalan dengan membuka ruang kepada KPK untuk mengungkap aktor-aktor dibalik mafia sengketa hasil Pemilu. Guna mengembalikan kewibawaan dan citra lembaga.
Hal urgen dilakukan, melihat “tumpukan” kasus sengketa hasil Pemilu. Persoalan hukum ini diharapkan tidak mengganggu kerja-kerja insitusi. Mengintrospeksi diri dengan lebih menanamkan prinsip kehati-hatian.
Selain itu, agar ke depan tidak terulang lagi praktik kotor semacam itu. Penulis menawarkan suatu solusi yang perlu segera kita ambil. Pertama, memperbaiki sistem rekrutmen hakim konstitusi. Bila sebelumnya hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputuan Presiden (vide: Pasal 18 UU Nomor 24 Tahun 2003), maka selanjutnya cukup diajukan oleh Mahkamah Agung saja.
Kedua,berani melawan tradisi hakim konstitusi dari partai politik atau pernah bergabung dengan partai politik. Rasionalisasi kedua point ini, melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi bersentuhan langsung dengan kepentingan partai politik. Kewenangan memutus sengketa perselisihan hasil Pemilu yang bersifat final. Kasus Pemilu yang sangat rentan terjadi peluang korupsi.
Sebab itu sudah menjadi “harga mati” merevisi UU Mahkamah Konstitusi, kembali ke khitta MK agar hakim konstitusi betul-betul sosok negarawan sejati, bersih dari anasir-anasir partai politik, memutus perkara secara merdeka dan menjaga tubuh konstitusi. Salam Antikorupsi***