web analytics
header

Runtuhnya Bangunan Atas

Oleh: Muhammad Ansar
Maksimalisasi ideologi bangsa
P
enanaman dan pendalaman terhadap makna ideologi bangsa merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan, melihat begitu banyak warga negara yang tidak paham terhadap ideologi bangsanya sendiri. Hal itu dapat menjadi penghambat jalannya misi bangsa itu sendiri.
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki cita-cita yang besar, karena itu penanaman karakter kebangsaan harus ditanamkan sejak usia dini. Sangat diharapkan semua warga negara bisa paham dengan tujuan kemerdekaan yang telah diperjuangkan selama berabad-abad lamanya. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh para founding fatherdalam memperjuangkan kemerdekaan itu tak sia-sia, hanya karena tidak pahamnya generasi penerus bangsa tentang ideologi. Kemerdekaan merupakan harga mati untuk kita jaga bersama. Untuk itu, harus ada instrumen yang bisa menunjang semangat tersebut, sehingga makna kemerdekaan tak hilang termakan waktu.
Realitas dewasa ini membuat hati terasa sakit. Betapa tidak,  hukum diperjualbelikan dan biaya sekolah begitu mahal. Terlebih lagi, industri asing bertebaran di seluruh pelosok bumi pertiwi, lalu mengambil semua sumber daya alam yang kita miliki. Kemiskinan menjadi sampul depan bangsa yang kita agungkan. Bangsa yang memiliki sumber daya alam berlimpah, tetapi memiliki banyak warga negara yang hidup dalam garis kemiskinan. 
Sungguh aneh bangsa ini…
Tertutupnya pintu pendidikan formal
Melangitnya biaya pendidikan menjadi masalah yang paling dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Padahal sangat jelas dalam konstitusi, pendidikan merupakan hal yang paling diprioritaskan dan merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus mengatur semua hal-hal yang berkaitan pendidikan, termasuk pembiayaan dan infrastruktur bagi sekolah-sekolah. Semua kebutuhan tersebut dibebankan pada negara. Namun, lagi-lagi kita tersentak dengan realita. Masih saja ada sekolah dengan sarana yang tidak memadai dalam menunjang proses belajar-mengajar. Olehnya itu, mari mempertanyakan, sudah sampai dimana pemerintah mejalankan amanah UUD NRI tahun 1945 dalam bidang pendidikan?
Menanamkan pemahaman terhadap makna dari kemerdekaan melalui pendidikan dalam artian yang formal begitu efektif. Bahkan, dalam salah satu ayat yang terdapat pada kitab suci menegaskan bahwa Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang memiliki ilmu dan orang yang berpendidikan. Namun realitasnya, masih tertutup pintu untuk sebagian warga negara dalam memperoleh derajat lebih itu, karena terkendala akses pendidikan formal. Penyebabnya adalah mahalnya biaya pendidikan formal. Walaupun saya menyadari bahwa kita tidak bisa melimitasi makna dari pendidikan, tapi bukan dari segi itu saya melihatnya.
Awal dari berbagai masalah yang terjadi pada bangsa ini menurut saya ada pada sistem pendidikannya. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem yang tidak memberikan kebebasan bagi setiap peserta didik. Dalam artian, peserta didik tersebut hanyalah didikte, bukan diajarkan bagaimana peserta didik tersebut memiliki kemandirian dalam berfikir. Akibatnya akan tercipta penerus-penerus yang tidak memiliki karakter. Karakter yang seperti apa? Tentunya kerakter seperti yang diharapkan oleh Bung Karno dalam ungkapanya, ”Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan aku guncang dunia”. Makna dari ungkapan ini cukup filosofis dan cukup berkaitan erat dengan pendidikan. Pemuda seperti apa yang diharapkan Bung Karno tentu pemuda berkarakter tangguh. Dengan karakter tersebut, setiap pemuda akan menjadikan bangsa itu menjadi bangsa yang berwibawa, sehingga dihargai oleh bangsa yang lain.
Saya juga melihat pada kurikulum yang diterapkan oleh kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini terdapat begitu banyak kerancuan. Satu kerancuan itu ialah dikuranginya porsi mata pelajaran yang mengajarkan tentang makna dari kemerdekaan. Pada tahun 60-an, para pendahulu kita masih belajar tentang kepancasilaan, namun saat ini kita tidak temukan lagi. Artinya apa? Saya melihat ada usaha yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk menghilangkan ingatan kita terhadap makna ideologi bangsa dan makan kemerdekaan.
Dalam bukunya yang berjudul Neoliberalisme, Mansyur Fakhi  menulis tujuh misi dari neolibaralisme, diantaranya adalah pembongkaran paradigma. Melalui cara inilah mereka merasuki pemikiran kita dan ketika pemikiran kita telah dirasuki oleh mereka, maka segala yang dilakukan mereka akan kita anggap sebagai suatu yang wajar. Saya menilai, menghilangkan mata pelajaran tersebut sama dengan mengaminkan misi neoliberalisme. Jangan heran jika banyak dari kita yang telah melupakan dan tidak mengetahui makna dari ideologi kita sendiri. Pendidikan karekater merupakan basis utama yang perlu diperhitungkan, analogi sederhana, percuma membangun bangunan tinggi dengan pondasi rapuh. Jika pondasinya rapuh banguman tersebut tak akan bertahan lama, bahkan runtuh. Apa hubungannya dengan masalah hukum? Tak terlalu penting untuk mengajarkan hukum formal jika sebagian peserta didik kehilangan karakter. Hukum pun akan terlunta-lunta jika hukum tidak didukung oleh karakter kebangsaan dan pemahaman ideologi.
Berkaca dari kenyataan, bagi mereka yang selalu mengaku cinta terhadap negaranya (negarawan), sudah sepatutnya untuk merekonstruksi kembali sistem pendidikan yang sudah lama rapuh. Artinya sistem pendidikan telah keluar dari substansi dan tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia (humanisasi), bukan menjadikan manusia itu sebagai mesin siap pakai. Selain itu, pendidkan sudah tak mampu lagi menciptakan manusia menjadi manusia peneliti (ilmuwan).
Kenyataan di atas bertolokbelakang dengan ungkapan salah seorang tokoh pendidikan Suwardi Suryaninggrat bahwa pendidikan haruslah dapat menjadikan manusia sebagaimana manusia yang utuh. Ungkapan ini begitu luar biasa, karena manusia yang utuh menurut interpretasi saya adalah manusia yang bebas dari penindasan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat nonfisik. Singkatnya bahwa manusia tersebut tidak dikendalikan oleh orang lain. Jika keadaan tersebut tidak tercipta, maka hilanglah substansi kemanusiaan kita, hingga kita tak  dipandang sebagai manusia lagi.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dianggap paling sempurna. Lima silanya telah merangkum semua lini kehidupan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk merumuskan ideologi bangsa, tapi para pendiri bangsa kita telah berhasil merumuskannya. Dewasa ini kita sering menyaksikan begitu banyak organisasi masyarakat berteriak bahwa pancasila bukanlah konsep yang bisa kita pakai karena sangat berbau komunis. Namun kita juga haruslah memiliki pandangan yang bersandar pada realitas objektif, artinya bahwa ideologi apa lagi yang pantas untuk kita terapkan pada bangsa yang majemuk ini?
Dalam buku Jalaluddin Rahmat berjudul Revolusi atau Reformasi, ia mengatakan bahwa bukanlah sistem yang salah akan tetapi orang-orang yang menjalankan sistem tersebut. Salah seorang hakim Belanda juga pernah mengatakan bahwa, “Berikan aku hakim yang jujur, sekalipun hukum yang rusak maka, aku akan berusaha untuk memperbaikinya. Ini merupakan kesalahan berfikir (fallacy of gramtical thingking). Dari ungkapan tersebut, kita melihat bahwa begitu pentingnya orang-orang yang menjalankan sistem memiliki integritas, karena dengan integritaslah semua akan berjalan sesuai yang dikehendaki.
Pergeseran budaya telah menjadi realitas pada bangsa ini, terutama budaya individualis yang telah mendominasi kehidupan masyarakat. Harus dilakukan filterisasi budaya  secapat mungkin, terlebih budaya individualis merupakan salah satu konsep yang tidak relevan dengan budaya Indonesia. Penyebabnya adalah tidak pahamnya sebagian dari kita terhadap nilai-nilai perjuangan bangsa. Banyak dampak yang bisa kita rasakan jika telah melupakan nilai-nilai, termasuk paham indivdualis akan menghilangkan substansi kita sebagai makhluk sosial.
Sekarang bukan saatnya lagi untuk berdebat dan mengutuk. Sudah saatnya kita yang menginginkan kedamaian dan kesejahteraan untuk bertindak dengan akal, bukan dengan emosi. Tujuannya tentu melakukan perbaikan terhadap sesuatu yang kita anggap sudah keluar dari koridor yang sesungguhnya. Dari tulisan ini saya ingin menarik poin penting yang mesti kita lakukan untuk memperbaiki kembali bangunan bangsa yang telah diluluhlantakkan oleh negara-negara lain yang memiliki kepentingan terselubung pada bangsa ini.
Pertama, Kemendikbud harus memasukan kembali pendidikan kepancasilaan pada kurikulum, serta memperioritaskan kurikulum ini dibanding dengan mata pelajaran lain. Termasuk memberikan durasi waktu yang lebih lama dalam penyajian materi dibanding dengan mata pelajaran lain. Untuk menunjang efektifitasnya, maka pemerintah sebagai pemangku kewajiban penyelenggaraan pendidikan harus memaksimalkan sosialisai pancasila. Termasuk menjelaskan bagaimana pancasila dan makna kemerdekaan dengan sebenar-benarnya, bukan makna yang manipulatif.
Kedua, pemerintah harus segara meminimalisir biaya pendidikan dengan cara memaksimalkan sumber daya alam yang dimiliki. Kemudian hasil pendapatan diprioritaskan untuk biaya pendidikan guna membuka peluang bagi masyarakat yang lemah secara ekonomi mengenyam pendidikan formal, tidak diperiortaskan pada pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang tak bermakna. Harus disadari bahwa tolok ukur keberhasilan bangsa bukan pada pembangunan fisik, tetapi pada pembangunan paradigama masyarakatnya agar lebih cerdas.
Ketiga, pemerintah harus lebih berani mengambil langkah dengan menolak dan membatalkan perjanjian internasional jika terdapat poin-poin yang merugikan bangsa. Tentunya kita harus berani menerima konsekuensi dari langkah yangt kita lakukan. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah bangsa ini akan dikecam dalam tataran internasional, bahkan embargo. Dalam hal ini, kita bisa belajar pada negara-negara yang pernah melakukan langkah tersebut, seperti Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro. Embargo dalam segi apapun saya merasa tidak akan bermakna karena kita pada dasarnya bisa menjadi negara raksaksa dengan sumber daya alam yang kita miliki.
Keempat, memberikan peluang bagi warga Negara melalui pemberian beasiswa untuk menimba ilmu di luar negeri, berdasarkan potensi yang dimiliki peserta didik. Saya menilai hal ini merupakan langkah tepat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, demi menciptakan bangsa yang cerdas sebagaimana mandat UUD 1945. Kita harus mengakui bahwa pendidikan di negeri ini tidak lebih jauh berkualitas dibandingkan dengan kualitas pendidikan yang ada di luar negeri.
Kelima, yang paling penting adalah konstitensi bagi mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap kualitas pendidikan, karena teori tanpa aplikasi akan lumpuh, begitupun sebaliknya Inilah poin pentingnya, karena sebagian masalah bangsa disebabkan kita sekadar mengetahui konsep tanpa mengaktualisasikannya.
Keenam, peningkatan kualitas tenaga pendidikan diperlukan. Artinya berkualitas tidaknya peserta didik, sangat bergantung pada kualitas pendidik. Seorang pendidik haruslah menjadi panutan yang baik. Hal ini senada dengan nasehat salah seorang imam besar Imam Syafi’i ketika memberikan nasehat pada seorang guru,”Wahai abu somad, ajarilah dirimu sendiri sebelum engkau mengajarkan orang lain. Katakanlah apa yang benar karena apa yang engkau katakan akan dianggap baik oleh siswamu dan apa yang kau sembunyikan maka itulah yang akan dianggap tidak benar oleh siswamu”.
Jangan bicara tentang hukum, jika kita tidak pernah menelisik seperti apa sistem pendidikan yang diterapkan selama ini. Semua berangkat dari bangunan bawah, dan saya melihat hukum normatif sudah berada pada level tertinggi. Dampaknya, begitu cerdasnya orang dalam berkomentar, begitu banyak yang mengetahui tentang hukum, namun pada realitasnya terjadi tawar-menawar atas harga hukum.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),melihat kerja keras mereka dalam mengungkap kasus korupsi, patut untuk diapresiasi. Temuan praktik korupsi oleh lembaga KPK nyatanya semakin mejadi-jadi. Ironisnya, korupsi yang ditemukan oleh KPK tersebut lebih banyak dilakukan oleh pejabat tinggi yang tahu betul tentang hukum. Tapi sangat disayangkan, dari begitu banyak orang yang cerdas, sangat sedikit yang menawarkan konsep pendidikan yang ideal.
Salam demokrasi, salam perubahan. . .

Related posts:

AI Membunuh Berpikir Kritis

Oleh: Muhammad Thariq Zakwan (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Belakangan ini, sedang hangat diperbincangkan di media sosial mengenai tren “Gambar Ghibli”,