web analytics
header

Anas dan Politik versus Hukum

                                                  Oleh: Ramli
Anas Urbaningrum/http://www.tribunnews.com/nasional

Sejak kasusnya mencuat, Anas Urbaningrum menjadi perhatian publik. Apalagi kedudukannya sebagai mantan ketua umum Partai Demokrat (PD) yang merupakan partai pemerintah. Belakangan ia ditahan karena diduga menerima gratifikasi mobil Toyota Harrier dari PT Adhi Karya terkait proyek Hambalang tahun 2009. Pada saat itu, ia menjabat anggota DPR. Anas juga disinyalir menerima dana dari proyek Hambalang sebesar Rp. 2,21 miliar. Dana itu mengalir ke kongres PD pada tahun 2010 untuk pemenangannya menjadi Ketua Umum PD. Keadaan itu memunculkan banyak spekulasi bahwa kasus korupsi menjalar di dalam tubuh partai demokrat. Ujung-ujungnya, spekulasi mencoba mengaitkannya kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bagaimanapun juga, spekulasi tidak memberikan apa-apa kecuali ketidakpastian. Kenyataannya, saat ini Anas sudah ditahan KPK untuk kasus Hambalang. Sedangkan tujuan spekulasi politik kubu Anas masih mengawang-awang. Tidak juga berhasil mengkonstruksi wacana publik bahwa status hukum Anas dipenuhi intrik politik.

Sejumlah pernyataan sikap dilontarkan loyalis Anas. Terutama oleh fungsionaris dari organisasi masyarakat yang didirikan Anas, Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Salah satu pernyataan dibeberkan Fungsionaris PPI Sri Mulyono. Ia menyatakan bahwa ada intervensi pihak SBY terhadap KPK dalam penetapan status hukum Anas. Pernyataan tersebut tersurat dalam tulisannya berjudul “Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap”. Tindakan itu disikapi pengacara keluarga SBY dengan somasi.

Selain itu, loyalis Anas di PPI, Ma’mun Murod dan Tri Dianto dilaporkan Wamenkumham Denny Indrayana ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik. Hal itu karena mereka menuding Wamenkumham Denny Indrayana dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pernah menyambangi kediaman SBY di Cikeas pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 14.00 WIB. Tujuannya untuk membahas status hukum Anas. Setelah tidak mampu membuktikan ucapannya dalam ultimatum Denny selama 1 x 24 jam, Mulyono akhirnya meminta maaf. Meski begitu ia tetap meyakini adanya pertemuan tersebut. Akhirnya proses hukum atas laporan denny tetap berlanjut. Di satu sisi, pernyataan Muliono masih dinilai sebatas spekulasi. 

Tindakan loyalis Anas di PPI membuktikan mereka masih yakin bahwa proses hukum Anas penuh dengan tekanan politik. Namun karena tidak didasari bukti, masyarakat akhirnya menilai bahwa itu hanya spekulasi. Pertanyaan besar akhirnya muncul di tengah publik, tentang siapakah yang melakukan spekulasi politik, apakah kubu Anas ataukah kubu Cikeas (SBY)? Yang jelas, terlihat bahwa antara kedua kubu yang dulunya satu tersebut kini sedang bersiteru. Muncul kesan bahwa spekulasi kubu Anas yang terlanjur “basah” ditujukan agar pihak lain yang mereka duga kuat “kotor” ikut “basah” juga.

 Kasus Anas dan Hambalang membuat PD dirundung masalah besar. PD seakan identik dengan kasus Hambalang. Akibatnya, sejumlah survei membuktikan bahwa elektabilitas partai berlambang marcy tersebut menurun drastis. Survei LSI pada 12 september-5 oktober 2013 menunjukkan elektabilitas PD turun hingga 9,8 persen. Diduga kuat penyebabnya adalah terungkapnya sejumlah kasus yang melibatkan petinggi PD. 

Taglineiklan PD, “Katakan tidak pada Korupsi” akhirnya menjadi bumerang. Tiga di antara tujuh petinggi PD pada iklan tersebut telah memiliki status hukum akibat perkara korupsi. Pertanyaan kembali muncul, apakah dua aktor lain yang “digoyang” kubu Anas juga akan terseret? Spekulasi yang bermunculan kuat pengaruhnya untuk menggiring opini publik kearah sana. Inilah dijadikan senjata ampuh kubu Anas. Sejumlah anggapan menganggap bahwa intrik tersebut memang sengaja dilakukan sebagai bentuk serangan kepada kubu SBY. 

Harus Tindakan Hukum

Spekulasi politik memang kejam dan seringkali digunakan sebagai cara untuk menjatuhkan lawan politik. Keadaan itu diperparah dengan penyelewengan arti dan tujuan politik. Politik tidak lagi diartikan sebagai cara mencapai kesepakatan secara bijaksana, serta menghindari sebesar mungkin perbedaan dan kesalahpahaman. Politik telah dipelintir menjadi cara memutar balikkan fakta, cara menjatuhkan lawan, ataupun cara untuk tujuan manipulatif lainnya. Spekulasi politik seperti ini menghiasi kasus Anas. Tujuannya tentu untuk mengelabuhi perpektif hukum tentang siapa yang salah. Pergerakan massa akhirnya muncul dan membela “penipu”. 

Pernyataan Fajroel Rachman pada acara talkshow di salah satu stasiun TV swasta patut menjadi acuan untuk menyikapi kasus Anas dan segala intriknya. Ia menyatakan bahwa kasus Anas selayaknya disikapi semua pihak dengan perlawanan hukum, bukan dengan perlawanan politik atau perlawanan massa. 

Hukum sejatinya mengatasi politik, bahkan politik diatur oleh hukum. Memang benar pendapat bahwa hukum merupakan produk politik. Namun ketika produk hukum telah dihasilkan, tindakan politik harus tunduk terhadap aturan hukum. Pertimbangannya lainnya, sifat politik potensial menghasilkan ketidakpastiaan dalam dinamika kehidupan. Olehnya itu, hukum dibentuk untuk memungkinkan kepastian muncul dari tindakan-tindakan politik. Demi kepastian itu, selayaknya hukum tidak direcoki lagi dengan spekulasi politik. Sebaiknya, untuk menentramkan iklim politik yang liar dalam kebebasan demokrasi, hukum harus ditegakkan. Hukum merupakan persetujuan politik-yang sejati mempertimbangkan semua aspirasi-maka hukum harus ditaati. Terlebih hukum dibuat sebagai instrumen pengaturan kehidupan bersama. 

Keputusan KPK sebagai lembaga penegak hukum merupakan keputusan hukum, buka keputusan politik. Tindakan mencerca penahanan Anas karena disinyalir sebagai pesanan kubu tertentu merupakan sikap yang penuh intrik politik. Selayaknya, keputusan hukum disikapi dengan tindakan hukum oleh pihak manapun untuk menemukan kepastian.

Sikap loyalis Anas bahwa surat pemanggilan KPK “cacat” karena menyatakan Anas dipanggil untuk dimintai keterangan dalam kasus hambalang dan “proyek-proyek lainnya” merupakan pernyataan sepihak. Loyalis Anas berdasar pada pasal 112 ayat (1) KUHAP yang menetapkan bahwa penyidik harus melakukan pemeriksaan dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas tentang apa yang disangkakan. Di sisi lain, KPK berdasarkan pada Pasal 51 huruf a KUHAP yang menetapkan bahwa  pemberitahuan kepada tersangka tentang apa yang disangkakan secara jelas dapat dilakukan pada waktu pemeriksaan dimulai.
 

Jika jujur mendukung penegakan hukum, maka perspektif hukum  progresif harus dianut. Harus diakui bahwa hukum secara tekstual dapat menimbulkan tafsir yang beragam. Harus dicatat-tanpa mengharapkan penegakan hukum dilakukan secara “membabi buta”-KPK sebagai penegak hukum mempunyai kapasitas untuk menafsirkan hukum, demi penegakan hukum. Kalaupun ada pihak yang tidak setuju, harus menempuh jalur hukum pula. Untuk itu, jangan sampai hukum ditafsirkan menyimpang untuk kepentingan tertentu, apalagi dipolitisasi.

Memang sulit menghindari perlawanan politik terhadap hukum dari pihak terlanjur “basah” maupun phobia “basah”. Mereka akan terus melakukan intrik politik untuk melindungi kepentingannya. Harus disadari oleh semua pihak, baik yang pro maupun kontra terhadap Anas, bahwa spekulasi politik bak bola panas yang dapat mengarah ke siapapun, bahkan kembali ke pemilik bola. Sebaiknya mengawal penegakan hukum, biar hukumlah yang menentukan kepada siapa bola panas tersebut patut ditimpakan.


Related posts:

Iblis Cabul Mulai Merangkak Keluar

Oleh: Muhammad Thariq Zakwan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) Saya ingin membuka tulisan ini dengan memaparkan sejumlah data mengenai kasus