web analytics
header

Antisipasi Konsep PTNBH Pasca BHP

Oleh: Ramli

            Dinilai bersifat komersial, penolakan terhadap konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang lahir berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) gencar di tahun 2009. Dugaan otonomi BHP akan membuat penyelenggara pendidikan tinggi semena-mena dalam menentukan tanggungan biaya kuliah mahasiswa menjadi alasan penolakan.

          Andi Zurkarnain selaku Kordinator Divisi Data dan Kajian Gerakan Rakyat Makassar (GERAM) Anti-BHP tahun 2008-2009 menggambarkan bahwa tindakan penolakan dilakukan dengan berdemonstrasi serta berkoordinasi dengan tokoh-tokoh nasional dalam mengkaji dan mengawal proses judicial review UU BHP. “UU BHP kami tolak karena menyerahkan dunia pendidikan dalam mekanisme pasar,” tuturnya.

            Setelah dilakukan judicial review, akhirnya MK membatalkan UU BHP melalui Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010. Imbasnya sejumlah perguruan tinggi yang terlanjur menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN), memerlukan penguatan landasan hukum. Eksistensi PTN-BHMN tersebut dapat dilihat pada Pasal 220H PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang dibuat pasca putusan MK. PTN-BHMN tersebut adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadja Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga.

Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM
Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM

       Sebagai tindak lanjut pembatalan UU BHP, lahirlah UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU Dikti) yang mengusahakan pengubahan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), terutama untuk PTN-BHMN. “Sebetulnya, UU Dikti itu diciptakan untuk mengakomodasi tujuh PTN-BHMN yang akan dihapuskan dengan dibatalkannya UU BHP,” ungkap Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM, Mantan Kepala Biro Hukum dan Organisasi Setjen Kemendikbud tahun 2007-2012, yang juga mewakili pemerintah dalam perumusan UU Dikti.

            Secara umum, konsep PTNBH akan memberikan otonomi pada bidang akademik dan non-akademik yang luas kepada PTN. Pasal 65 ayat (3) UU Dikti menyatakan bahwa PTNBH memiliki: (a) kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; (b) tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; (c) unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; (d) hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; (e) wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; (f) wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan (g) wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.

            Menurut Andi Pangerang, otonomi patut diberikan kepada perguruan tinggi yang telah mampu mengembangkan dirinya secara mandiri. “Kalau dengan potensi yang dimiliki PTNBH mampu mengelola dirinya sendiri, output-nya nanti akan lebih bagus. Kalau terlalu banyak diintervensi oleh pusat padahal sudah mampu, itu nanti akan mempengaruhi prosesnya maupun output-nya sehingga tidak berkualitas,” jelas Guru Besar Fakultas Hukum Unhas tersebut.

Perbandingan PTNBH dengan BHP

            Lahirnya konsep PTNBH dalam UU Dikti ditengarai tidak jauh beda dengan ruh UU BHP, sebab sama-sama memberikan otonomi luas kepada PTN untuk mengelola urusan internalnya. “Setelah saya membaca, UU Dikti dan UU BHP sama ruhnya. Casing-nya saja yang diubah. Misalnya tentang Pasal 50 UU Dikti terkait kerjasama internasional. Selain itu, Pasal 63 tentang pengelolaan otonomi kampus yang menggunakan prinsip efisiensi dan efektivitas. Dua prinsip ini dapat menimbulkan multitafsir bahwa negara dapat bersifat kikir kepada rakyatnya sendiri, sang pembayar pajak. Nah, makanya segala hal yang bisa mencapai efisiensi dan efektivitas akan dilakukan, termasuk mencabut atau mengurangi subsidi,” jelas A. Zulkarnain yang juga Alumni Fakultas Ekonomi Unhas angkatan 2002.

            Persoalan pelemahan campur tangan pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi seiring dengan otonomi kampus dinilai wujud dari liberalisasi sektor pendidikan. Konsep tersebut dinilai Zulkarnain bertentangan dengan amanah pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu kewajiban negara untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. “Kami dulu menolak BHP karena ada indikasi kuat ini bentuk kapitalisasi pendidikan. Ini terbaca dari analisis kami bahwa pasca Indonesia masuk WTO tahun 1994, maka Indonesia  harus menyepakati aturan-aturan dalam WTO itu, termasuk GATS (General Agreement on Trade in Services). Di GATS itu ada 12 sektor jasa yang terbuka untuk diliberalisasikan, termasuk pendidikan yang halal diperdagangkan secara internasional,” jelasnya.

Prof. Dr. Abdul Rahman, S.H., M.H
Prof. Dr. Abdul Rahman, S.H., M.H
            Pandangan lain diungkapkan Pengamat Pendidikan Prof. Dr. Abdul Rahman, S.H., M.H yang menilai konsep pengelolaan pendidikan dalam UU Dikti dan UU BHP berbeda. UU BHP hanya menawarkan konsep tunggal pengelolaan pendidikan yang sangat otonom, yaitu BHP. Menurutnya, konsep BHP memungkinkan pihak kampus memungut biaya kuliah secara bebas kepada mahasiswa. Di sisi lain, UU Dikti  menawarkan tiga konsep pengelolaan yang dapat diterapkan oleh perguruan tinggi sesuai dengan kemampuannya, yaitu konsep Satuan Kerja (Satker), Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) dan PTNBH.

            “Kalau UU BHP memang sepenuhnya otonom. Kalau UU Dikti, PTN dibagi ke dalam tiga kriteria. Jadi ada PTN Satker yang masih di bawah kendali negeri. Ada juga PTN BLU yang baru setengah otonom. Sedangkan kalau PTNBH, punya otonomi sepenuhnya, dalam mengangkat dan memberhentikan dosen, mengelola keuangan sendiri, dan sebagainya,” jelasnya mantan Rektor Universitas 45 Makassar periode 2010-2014 tersebut.

            Lebih lanjut, Andi Pangerang menjelaskan bahwa tiga kriteria pengelolaan PTN memiliki perbedaan mencolok, termasuk dalam pengelolaan keuangan. Penerapan konsep pada sebuah PTN tergantung tingkat kemandirian dan hasil evaluasi Kemendikbud. “Kalau perguruan tinggi baru dengan sistem Satker, maka penerimaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) akan disetor ke kas negara, dan akan diberikan dana ketika memohon pendanaan ke negara. Kalau BLU, sebagian PNBP-nya leluasa  digunakan tanpa perlu menyetor ke kas negara lagi. Kalau PTNBH, itu lebih leluasa lagi karena tidak ada lagi penyetoran penerimaan ke pemerintah pusat, tetapi dikelola sendiri,” jelasnya.

            Terkait pembebanan biaya kepada mahasiswa, Pasal 85 ayat (2) UU Dikti menyatakan bahwa pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari pihak mahasiswa. Penetapan besaran tanggungan mahasiswa mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Pasal 88 UU Dikti, penetapan standar tersebut mempertimbangkan capaian standarisasi nasional perguruan tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. Standar tersebut akan menjadi dasar pengalokasian Bantuan Operasional PTN (BOPTN) dari APBN dan untuk menetapkan biaya tanggungan mahasiswa.

            BOPTN akan menutupi sebagian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada sebuah program studi di sebuah PTN. Sisanya akan ditutupi oleh pihak mahasiswa melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT). Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa anggaran BOPTN tahun 2014 mencapai Rp. 3,2 triliun, meningkat dari Rp. 2,7 triliun pada tahun 2013.

            Sistem UKT sendiri mulai diberlakukan bagi mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma sejak tahun akademik 2013-2014 berdasarkan Permendikbud No. 55 Tahun 2013. Melalui sistem UKT, mahasiswa tidak akan membayar uang pangkal lagi, tetapi BKT-nya akan dibagi rata ke dalam delapan semester untuk dilunasi per semester. Selain itu, tanggungan UKT mahasiswa akan berbeda-beda berdasarkan pengelompokan kriteria penghasilan penanggung biaya kuliahnya.

            Andi Pangerang mengungkapkan bahwa pendanaan PTNBH pada awalnya akan disokong oleh pemerintah melalui Bantuan Operasional PTN (BOPTN). Namun, alokasi dana dari pemerintah tersebut akan dikurangi seiring semakin mandirinya PTNBH dalam persoalan pendanaan.

PTNB; Bentuk Komersialisasi Pendidikan?

            Ketakutan terhadap lahirnya konsep PTNBH adalah pembebanan biaya kuliah yang memberatkan mahasiswa. Alasannya karena PTNBH otonom dalam pengelolaan keuangan. Tidak mengherankan jika ditaksir konsep PTNBH sama dengan BHP. Diungkapkan Zulkarnain, bahwa konsep PTNBH dan BHP memiliki kesamaan ruh dalam memuluskan agenda globalisasi, termasuk komersialisasi pendidikan. “Makanya, membaca UU Dikti ini atau BHP dulu, tidak dapat dipisahkan dari undang-undang pro asing yang lain. Misalnya Undang-Undang Perbankan yang memuluskan bank-bank asing untuk masuk ke Indonesia dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing,” tegasnya.

            Untuk mengatasi persoalan pembiayaan pendidikan tinggi, menurut Zulkarnain, kelembagaan atau unit kerja negara harus fokus melaksanakan fungsinya masing-masing. Ia menilai bahwa pendapatan negara yang sebagian besar dari pajak seharusnya dapat dikelola untuk mengembangkan pendidikan. Pada APBN tahun 2014 saja, dari Rp 1.667,1 triliun pendapatan negara, Rp 1.110,2 triliun berasal dari pajak. “Idealnya, semua divisi-divisi dalam negara ini harus berfungsi dengan baik. Misalnya, kalau Menko Perekonomian tidak melaksanakan fungsinya untuk menjaga pemasukan negara, saya kira itu yang bermasalah. Unit kerja pendidikan seharusnya fokus untuk mengkader, bukan fokus cari uang,” tegasnya.

            Sistem pendanaan pendidikan menurut Zulkarnain selayaknya tetap dalam kendali pemerintah, yaitu mengelola pendapatan negara dengan baik untuk pendidikan. Pemenuhan kewajiban masyarakat dalam membayar pajak seharusnya berdampak pada subsidi pendidikan. Pengentasan keterbatasan dana menurutnya dapat diwujudkan dengan memperbaiki tata kelola anggaran pendidikan. Ia menilai bahwa anggaran 20% dari APBN yang diamanahkan konstitusi untuk penyelenggaraan pendidikan mencukupi jika dikelola dengan baik, termasuk tidak dikorupsi. Pada tahun 2014 saja, besaran anggaran pendidikan dari APBN ditetapkan Rp. 368,9 triliun dari Rp. 1.842,5 triliun total belanja negara.

            Di sisi lain, keleluasaan PTNBH untuk mencari sumber dana dengan membentuk badan usaha, dinilai Abdul Rahman baik dalam menunjang penyelengggaraan pendidikan. Tetapi tidak berarti bahwa pemerintah lepas tangan terhadap pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah harus bertanggung jawab sesuai amanah konstitusi, termasuk memberikan subsidi.

            Bagi Andi Pangerang, konsep PTNBH akan melonggarkan akses PTN dalam mendapatkan sumber pendanaan selain dari pemerintah, termasuk dengan membuat unit usaha. Pendapatan dari usaha tersebut dapat digunakan langsung PTNBH tanpa menyetor terlebih dahulu ke kas negara. Ia mencontohkan Universitas Brawijaya dan Universitas Gajah Mada yang memiliki unit usaha perhotelan, juga IPB yang memiliki mall. “Untuk PTNBH, diharuskan membuat unit-unit bisnis sebanyak mungkin, supaya bisa mendapatkan dana untuk membiayai operasionalnya. Apakah itu hotel, mall, maupun bentuk kerjasama-kerjasama lainnya,” jelasnya.

            Penanggulangan dana melalui unit-unit bisnis PTNBH menurut Pangeran Moenta harus dikelola dengan baik. Ia pun mengakui kemungkinan terjadi keadaan di mana unit usaha tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan dana, sehingga pembebanan biaya dialihkan ke SPP mahasiswa. “Ini kan persoalan dana. Makanya unit-unit bisnis harus diperbanyak agar tidak berujung pada kenaikan SPP. Kedua, tata kelolanya harus bagus, sehingga akuntabel dan transparan dalam pengelolaan dana. Yang ketiga, manajemen pimpinan untuk mengelola semua potensi yang ada sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik,” harap Andi Pangerang.

Otonomi Butuh Transparansi

            Menanggapi mengenai otonomi, Abdul Rahman menegaskan pentingnya transparansi dalam pengelolaan kampus. Untuk itu, setiap aturan yang dibuat oleh pihak kampus harus melibatkan dan diberitahunkan kepada mahasiswa. Prinsip transparansi menurutnya telah ditegaskan UU Dikti dan UU Keterbukaan Informasi Publik. “Saya melihat bahwa setiap perguruan tinggi diberikan kebebasan dalam menentukan standar-standar umum, sehingga harus dilakukan pengawasan yang ketat. Misalnya dalam hal berkaitan biaya operasional. Ini kan ditentukan secara sepihak, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, sehingga tidak diketahui mahasiswa. Akibatnya, transparansi tidak berjalan, padalal UU Dikti mengharuskan adanya transparansi sehingga akuntabilitas terjadi,” tegasnya.

            Dalam hal penetapan pembebanan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa, ia mencontohkan bahwa dalam UU BHP yang lalu, biaya operasional ditentukan terlebih dahulu, lalu ½ dari itu ditanggung oleh pemerintah, 1/3 menjadi tanggungan mahasiswa, dan sisanya disubsidi. Ia menilai bahwa selama ini perguruan tinggi masih tertutup soal pengelolaan dana kampus, termasuk besaran biaya operasional. “Misalnya yang berkaitan dengan biaya operasional. Berapakah sebenarnya biaya untuk satu jenjang pendidikan, misalnya SI yang mahasiswa keluarkan untuk mencapai gelar itu? Jenis pembayaran apa saja yang ditanggung mahasiswa? Sumber pembiayaan dari mana saja? Ini kan tidak terbuka,” jelasnya.

            Terkait dengan besaran biaya operasional, ia menegaskan bahwa tiga kriteria dalam UU Dikti harus menjadi landasan. Tiga kriteria tersebut adalah capaian standar nasional perguruan tinggi, indeks kemahalan wilayah, dan jenis program studi. Persoalan lain menurutnya adalah belum ada peraturan rinci sebagai penjabaran tiga kriteria tersebut, sehingga tidak ada standar minimal dan maksimal biaya operasional yang ditanggung mahasiswa. Oleh karena itu, ia menilai bahwa aturan dalam UU Dikti harus dijabarkan melalui PP maupun Permendiknas. 

            Selain itu, Abdul Rahman menegaskan bahwa sistem transparansi keuangan harus diberlakukan secara ketat dan disertai dengan reward dan punishment. Untuk itu, ia menyarankan agar sistem online EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) pada Dirjen Dikti harus dapat diakses oleh semua pihak. Jika hal tersebut tidak tegakkan, maka akan timbul kecurigaan dan otonomi akan memberatkan mahasiswa. Selain itu, pengelolaan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan secara berkala. Selama ini, ia menilai bahwa audit keuangan hanya dilakukan oleh auditor internal. 

            Sejumlah ketentuan dalam UU Dikti diakui Abdul Rahman akan membantu mahasiswa jika dilaksanakan secara konsisten dan transparan. Ketentuan tersebut terkait kuota 20% mahasiswa miskin dan mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal yang harus diterima sebuah PTN. Selain itu, ada juga pemberian beasiswa, hingga pemberian pinjaman dana tanpa bunga kepada mahasiswa. “Jadi memang di satu sisi, otonomi tadi memungkinkan perguruan tinggi menetapkan pembayaran SPP yang berbeda, sehingga ada ketidakmampuan mahasiswa untuk membayar SPP. Terhadap mereka diberikan beasiswa dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Tapi itu kan presentasenya sangat sedikit. Sudah sangat sedikit, lalu kalau tidak berjalan kira-kira bagaimana?” ungkapnya.

            Menggapai persoalan transparansi, Andi Pangerang menyatakan bahwa transparansi sangat mungkin tercipta pada PTNBH karena adanya instrumen Majelis Wali Amanat (MWA). MWA akan mencakup unsur pemerintah, birokrasi kampus, masyarakat, dan mahasiswa. Dalam PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, WMA berwenang  menyusun rencana kerja dan anggaran, serta menerima laporan kinerja dan keuangan PTNBH yang disampaikan rektor per tahun.

            Luasnya otonomi PTNBH tak pelak memunculkan dugaan bahwa pengelolaan perguruan tinggi akan semakin tertutup. Mahasiswa Fakultas Peternakan Unhas angkatan 2010 Yunus Darto Susilo menilai otonomi perguruan tinggi tetap dibutuhkan pada batasan tertentu, tetapi tidak berarti secara penuh dan menghilangkan tanggung jawab pemerintah terhadap perguruan tinggi, termasuk dalam melakukan kontrol. “Yang jadi masalah ketika otonomi ini diberikan secara penuh kepada universitas. Akan sangat lucu jika sebuah universitas menjalankan konsep yang dia bentuk sendiri, kemudian dia evaluasi sendiri,” ungkapnya.

           Lebih lanjut, Yunus menilai bahwa pengelolaan pendidikan selama ini tidak transparan. Ia menyatakan bahwa pembuatan statuta dan kode etik kampus hanya dilakukan oleh pihak birokrasi, tanpa melibatkan mahasiswa. Mengenai anggaran pendidikan 20%, ia mengungkapkan, “Sesungguhnya anggaran itu cukup jika dialirkan dengan baik. Tapi persoalannya pengelolaan dana belum transparan. Saya mengharapkan kepada birokrasi untuk lebih trasparan persoalan keuangan maupun atauran. Pokoknya, semua hal yang berkaitan dengaan civitas akademik, harus melibatkan semua civitas akademik dalam perumusannya, jangan hanya sepihak,” tambah Yunus.

Related posts: