web analytics
header

Deforestasi di Indonesia Memprihatinkan

Nampak (dari kiri) pembicara Seminar Nasional Kertas 2014 Prof Irwansyah dan Bustar Maitar.

 

Nampak (dari kiri) pembicara Seminar Nasional Kertas 2014 Prof Irwansyah dan Bustar Maitar.
Nampak (dari kiri) pembicara Seminar Nasional Kertas 2014 Prof Irwansyah dan Bustar Maitar, serta Moderator Afif Mahfud.

Makassar, Eksepsi Online – Head of Forest Campaign Greenpeace Indonesia Bustar Maitar mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi hutan di Indonesia. Ia mengungkapkan, selama tahun 2006-2009, terjdi deforestasi 2 juta hektar hutan Indonesia. Setiap tahun, sebesar 8,4% hutan hilang akibat ulah manusia, termasuk pembalakan liar untuk industrialisasi lahan. Akibatnya, lapisan ozon menipis dan mengakibatkan perubahan iklim. Hal itu diungkapkan Bustar dalam acara Seminar Nasional sebagai rangkaian kegiatan Kertas (Kompetisi Esai dan Karya Tulis Mahasiswa Nasional) 2014 yang diselenggarakan UKM LP2KI (Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah) Fakultas Hukum  Unhas. Seminar yang berlangsung di Auditorium Amiruddin Unhas, Sabtu (20/9), mengangkat tema Telaah Kritis Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia ini.

Bustar menambahkan, sejak didirikan tahun 2005, Greenpeace Indonesia yang fokus pada isu perubahan iklim menguhutan tropis di Indonesia hanya tersisa 80 juta hektar. Bustar menilai hal itu memprihatinkan karena 50 juta penduduk menggantungkan hidupnya pada hutan. Deforestasi terjadi secara merata di wilayah Indonesia yang masih dalam proses perkembangan menuju industrialisasi lahan. Hanya hutan di pulau Papua yang menurut Bustar tidak mengalami deforestasi yang parah. Keadaan itu menyebabkan pemanasan global karena 30% efek rumah kaca secara global disebabkan oleh penghancuran hutan. “Penyebab deforestasi adalah tata pemerintahan yang lemah, termasuk banyaknya korupsi di sektor pengelolaan hutan serta proses perizinan pengelolaan yang tidak baik,” tuturnya.

Di sisi lain, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Unhas Prof Irwansyah menilai bahwa deforestasi di Indonesia akibat aparatur negara tidak melaksanakan hak mengusai negara secara benar. Menurutnya, pemberian hak pengelolaan sumber daya alam (SDA) kepada asing masih sangat longgar, tanpa mempedulikan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Proses perizinan pun masih sering dipermainkan. “Perlindungan hukum lingkungan hidup telah bergeser dari mekanisme hukum pidana ke hukum administrasi, yang mencakup perizinan, pengawasan, dan sanksi administratif. Namun pada proses perizinan saja sering dipermainkan,” ungkapnya.

Prof Irwansyah menambahkan bahwa UU terkait pengelolaan SDA masih sangat transaksional, sektoral, dan permisif pada kepentingan asing. Hak-hak lingkungan hidup pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang diakomodasi pada perubahan kedua  tahun 2000 seringkali diabaikan dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengamatannya, hanya UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Pengelolaan Sampah yang secara tegas merujuk dan mendasar pada Pasal tersebut.

Sistem kontrak karya yang dianut sebagian besar UU pada sektor pengelolaan SDA membuat kadaulatan negara setara dengan perusahaan asing. Menurut Prof Irwansyah, hak pengelolaan SDA seharusnya melalui proses administrasi yang baik, yaitu mekanisme perizinan. Ia menuturkan, hanya UU Minerba yang tegas menjabarkan mekanisme perizinan dalam pengelolaan SDA, bukan dalam bentuk kontrak karya. “Kebijakan dalam bentuk perundang-undangan harus memihak pada kedaulatan rakyat, bukan pada kedaulatan ekonomi asing. Namun ini perlu kesadaran DPR untuk melakukan revisi terhadap UU yang tidak prorakyat,” ungkapnya. (RTW)

Related posts: