Oleh: Ramli
Pengurus LPMH-UH Periode 2014-2015
Belakangan kasus aborsi kembali menyeruak di media massa. Terakhir, dilansir radarmakassar.com aborsi dilakukan mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Nur Adhayati Bakhtiar (21). Alasannya ditengarai untuk menghilangkan hasil hubungan gelapnya dengan sang pacar. Kasus ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak aksi aborsi di Indonesia.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pernah melansir bahwa setiap tahun peristiwa aborsi meningkat 15 persen. Berdasarkan riset 2012, BKKBN memperkirakan, setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Sebanyak 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Tingginya tren aborsi seiring dengan peningkatan hubungan seks pranikah. Dilansir dari situs resmi BKKBN, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Julianto Witjaksono mengatakan, jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah meningkat. Dia menjelaskan, sebanyak 46 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51 persen perempuan hamil adalah remaja. (http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=2115)
Jika menyadari bahwa generasi penerus bangsa lahir dari rahim ibu yang sehat, serta berada dalam pemeliharaan lingkungan keluarga yang baik, maka pemerintah seharusnya melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mencegah tindakan aborsi. Namun apa mau dikata, tindakan aborsi malah dilongarkan melalui PP No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pada Pasal 31 PP itu, tindakan aborsi dikecualikan untuk alasan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Merujuk pada bagian konsiderannya PP 61/2014, konsep aborsi kehamilan akibat perkosaan tidak terlepas dari ketentuan dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Pasal 75 ayat (2) huruf a UU tersebut jelas mencantol kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan sebagai alasan pembolehan aborsi.
Alasan aborsi atas kehamilan akibat perkosaan belakangan menuai banyak penolakan. Bukan tanpa alasan. Jika dilegalkan, ditakutkan oleh sejumlah pihak, akan menciptakan suasana yang mendukung meningkatnya pergaulan bebas. Hal itu karena secara psikologis, pelaku pergaulan bebas tidak akan takut perbuatannya menimbulkan aib, karena jejaknya bisa diraibkan melalui aborsi.
Implikasi lanjutannya, aksi aborsi akan meningkat seiring maraknya pergaulan bebas. Jika berujung kehamilan, dengan berkedok diperkosa, buah dari pergaulan bebas suka sama suka dapat saja digugurkan. Meskipun dalam PP 61/2014 disyaratkan bahwa aborsi akibat kehamilan perkosaan harus berdasarkan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan, namun ini tentunya membutuhkan waktu yang lama dan rentan direkayasa oleh para pelaku. Di sisi lain, Pasal 31 ayat (2) PP 61/2014 mensyaratkan bahwa aborsi kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari, dihitung dari hari pertama haid terakhir. Dengan demikian, dapat terjadi aborsi terlanjur dilakukan atas alasan kehamilan akibat perkosaan, sedangkan belakangan diketahui bahwa kehamilan tersebut akibat pergaulan bebas.
Syarat pembolehan aborsi kehamilan kurang dari 40 hari tentu bertentangan dengan nalar dan hati nurani bahwasanya si cabang bayi punya potensi untuk menjadi manusia. Bahkan dalam konsep hukum perdata, seseorang yang masih berada dalam kandungan dapat dianggap sebagai orang, bahkan bisa dilekatkan hak keperdataan kepadanya, misalnya hak mendapat warisan jika saja ia lahir dengan selamat. Jika dirujuk pada Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, maka konklusinya adalah alasan aborsi kehamilan akibat pemerkosaan dengan usia kehamilan di bawah 40 hari tidak dapat dibenarkan.
Tidak Berdasar
Legalisasi aborsi kehamilan akibat perkosaan rentan menimbulkan dilema di tengah masyarakat. Terutama bagi pihak yang terlibat secara teknis pada penyelenggaraan aborsi. Itu karena sejumlah aturan terkait aborsi tidak sinkron. Akibatnya aborsi pada satu aturan dibolehkan, sedangkan aturan lain melarang. Ini akan menimbulkan anomali hukum dan dilematis bagi para dokter dan penegak hukum.
Dalam pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2012 dinyatakan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani. Selain itu, di bagian penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan menghormati dan melindungi kehidupan insani adalah menyadari bahwa manusia mulai saat pembuahan yang alamiah ataupun buatan, memiliki hak hidup yang akan berkembang pada saatnya secara alamiah menjadi hak asasi manusia, suatu hak dasar yang utuh, tak dapat dikurangi karena ia adalah semata-mata manusia. Pada bagian penjelasan pasal 11 juga dinyatakan bahwa menurut agama, peraturan perundang-undangan, dan etik, seorang seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin, atau mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (euthanasia). Dalam kode etik ini juga, sama sekali tidak mencantumkan pembolehan aborsi kehamilan akibat perkosaan.
Larangan lain terdapat dalam Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Di pasal selanjutnya juga dinyatakan bahwa setiap orang, dokter, bidan, atau juru obat diancam pidana jika terlibat dalam terjadinya tindakan aborsi.
Secara tersurat, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengakui hak seseorang sejak masih dalam kandungan. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Selanjutnya, Pasal 52 ayat (2) menyatakan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Ketentuan lebih tegas terdapat pada Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Konsep yang sama juga dianut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 angka 1 UU tersebut mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Merujuk pada beberapa aturan di atas, maka aborsi yang disengaja (abortus provokatus) bisa legal jika ada indikasi medis (abortus medisinalis) yaitu bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu. Sedangkan aborsi tanpa indikasi medis adalah kejahatan melawan hukum, atau distilahkan abortus kriminalis.
Tidakan Harus Dilakukan
Melihat sejumlah kejanggalan terhadap pelegalan aborsi kehamilan akibat perkosaan, patut dilakukan upaya penyelasaran aturan hukum terkait aborsi. Pengkajian dan pengujian terhadap legalitas UU No. 36/2009 tentang Kesehatan dan PP PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi pun perlu ditempuh. Jika tidak, maka besar kemungkinan jumlah aborsi akan semakin meningkat karena pihak pelaku merasa "ringan" melakukan aborsi dengan adanya “celah” hukum. Dampak lainnya tentu berakibat pada meningkatnya pergaulan bebas akibat dapat ditutupinya aib yang timbul berupa kehamilan. Keadaan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, juga Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945.
Dari sudaut pandang agama Islam, sejumlah ulama ada yang melarang aborsi, tapi ada pula yang membolehkan. Sejumlah ulama menyatakan bahwa aborsi dibolehkan sebelum ditiupkannya ruh pada bakal bayi dan diputuskan oleh tim dokter spesialis yang bisa dipercaya bahwa membiarkan janin tetap berada dalam perut sang ibu bisa menyebabkan kematian ibunya. Itupun setelah mempertimbangkan berbagai upaya untuk menyelamatkan hidup sang ibu. Sedangkan kehamilan akibat perkosaan tidak menjadi alasan mendasar dilakukannya aborsi.
Sejatinya, aborsi merupakan tindakan terlarang. Hitungan usia kehamilan seharusnya tidak menjadi dasar untuk menggugurkan kandungan. Meskipun kehamilan belum berumur 40 hari, namun potensinya berubah menjadi anak dan lahir ke dunia merupakan rahasia dan hak Tuhan. Sama sekali tidak manusiawi melegalkan aborsi kehamilan akibat perkosaan, apalagi tidak mempertimbangkan hak hidup si bakal bayi, tetapi hanya atas permintaan sang pengandung demi melindungi harga dirinya. Jika secara pribadi pengandung tidak menerima dan tidak sanggup memelihara anak hasil kehamilan akibat pemerkosaan, maka negara hadir untuk melindungi dan memelihara anak tersebut setelah lahir. Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada perempuan hamil akibat perkosaan, terutama menjaga kesehatan psikologisnya, serta membuat pemerkosa bertanggung jawab secara hukum maupun sosial.
Hukum pada dasarnya tercipta untuk melindungi hidup dan kehidupan manusia. Hukum seharusnya dibentuk berdasarkan pertimbangan hati nurani manusia. Jika aturan hukum malah melawan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk naluri manusia untuk mencintai dan mempertahankan hidup, maka tunggulah kehancuran peradaban manusia.