Oleh : Indah Sari (Mahasiswa FH-UH)
Direktur jenderal (Dirjen) Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI, Djoko Sasono, pada sabtu (26/12) mengundurkan diri dari jabatannya. Ia mundur karena merasa gagal mengemban tugasnya. Hal tersebut terkait dengan kemacetan panjang saat libur akhir tahun ini. “Kejadian-kejadian kemarin (macet) tentu masyarakat merasa tidak nyaman. Saya merasa tidak bertanggung jawabatas hal itu,dan karena bagian dari tanggung jawab saya. Saya menyatakan berhenti sebagai Dirjen Perhubungan Darat,” tutur Djoko Sasono dikutip dari laman VIVA.co.id
Tindakan Djoko Sasono tersebut tentu menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Di beranda Facebook penulis sendiri ada beberapa tanggapan mengenai hal tersebut. Ada yang mengacungi jempol dan ada pula yang menganggapnya sebagai tindakan pengecut.
Ada yang salut dengan keputusan Djoko Sasono tersebut. “Saya salut dengan keputusan bapak ini, yang secara jantan mengakui ketidakmampuannya beginilah seharusnya pemimpin,” tulis salah satu teman.
Ada pula yang berpendapat lain, pilihan Djoko Sasono mengundurkan diri dianggap tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab. “Dirjen Perhubungan Darat mundur dengan alasan tidak mampu? Saya rasa itu tidak mencerminkan seorang pemimpin yang betanggung jawab. Mungkin lebih tepatnya pengecut, masa jabatan belum selesai sudah bilang gagal kalau memang merasa tidak mampu kenapa tidak dari awal saja mundurnya atau jangan-jangan sekarang jabatan hanyalah ajang coba-coba?”
Kurang lebih begitulah pendapat salah satu teman yang muncul di beranda Facebook penulis.
Berbeda pendapat tentu hal yang lumrah bukan? Dua pendapat tersebut tentu menarik. Bagi penulis sendiri, langkah yang diambil oleh Djoko Sasono patut diacungi jempol. Mengundurkan diri bukan berarti dia pengecut. Mengundurkan diri berarti ia tahu seberapa jauh kemampuannya untuk mengemban amanah yang diberikan. Tak ada yang bisa kita harapkan dari seseorang pemimpin yang bertahan tapi tidak menyelasaikan masalah. Dengan mengundurkan diri, ia memberikan kesempatan kepada orang lain yang kiranya bisa menyelesaikan apa yang tidak bisa diselesaikannya.
Djoko Sasono mengajarkan kita bagaimana seorang pemimpin harusnya bertindak. Ia bukan pengecut, bukan. Pejabat yang mengundurkan ketika merasa tidak mampu mengatasi masalah adalah ksatria. Pengecut jika di awal, ia sudah mundur padahal belum mencoba. Kita tidak akan tahu seberapa besar kemampuan kita, jika tidak berusaha terlebih dahulu. Pengecut pula, jika sudah tak mampu tapi masih bertahan. Dengan mengundurkan diri, Sasono mengajari kita jika jabatan bukan ajang coba-coba. Jika sudah mencoba dan gagal, baiknya mundur.
Penulis bersyukur masih ada pejabat seperti Djoko Sasono yang dengan legowo mundur karena merasa tidak mampu lagi. Pejabat seperti Djoko Sasono sangat langka di negeri kita. Banyak pejabat yang bikin gaduh, membuat skandal dan tindakan yang tak patut, tapi tetap dengan pongahnya bertahan. Kita tentu berharap tindakan Djoko Sasono tersebut menjadi contoh pejabat lain. Jika tak mampu, lebih baik mundur.