Oleh : Rahmat (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Angkatan 2013)
Ki Hadjar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi dan pelopor pendidikan serta pendiri “Taman Siswa” yaitu tempat bagi pribumi jealata memperoleh pendidikan. Beliau adalah “bapak pendidikan nasional Indonesia”, kurang lebih begitu kata “Wikipedia”. Ya, beliau sadar bahwa masalah utama yang menyebabkan penjajahan di Indonesia adalah kebodohan. Bodoh yang beliau maksud agaknya kurang relevan dengan definisi bodoh manusia kekinian. Kata Ki Hadjar, pendidikan adalah proses pembudayaan, tentu budaya sarat akan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Jadi yang bodoh pada masa itu adalah yang tidak punya nilai pegangan hidup. Berbeda dengan bodoh yang kita sepakati, yaitu tentang angka-angka yang dalam berbagai kasus cenderung subjektif dan bersifat otoriter kalau boleh saya katakan demikian, saya pernah diperlakukan begitu.
Keberhasilan sistem pendidikan menjadi tolok ukur menilai suatu bentuk peradaban yang biasanya berbentuk negara. Bagaimana tidak, pendidikan dapat memberikan imbas yang tidak main-main terhadap hal-hal mendasar seperti masalah ekonomi. Sumber daya manusia yang dilahirkan pendidikan yang baik akan melakukan pengelolaan sumber daya alam yang baik pula, logika yang terlalu sederhana. Iya, itu terjadi kalau pendidikan yang diharapkan sesuai harapan.
Bukan bermaksud menyalahkan sistem pendidikan yang sudah ada, toh saya tidak punya solusi yang lebih baik, karena memang saya adalah hasil dari sistem pendidikan itu. Kami cenderung harus selalu sepakat dengan perkataan bapak/ibu guru, jadi jangan salahkan kami jika tidak terbiasa memberikan solusi karena sekarang kami sudah tidak bersama bapak/guru, sang pemberi solusi. Pendidikan yang cenderung membentuk generasi tukang bingung.
Kembali ke Ki Hadjar Dewantara yang memaknai tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, dan memerdekakan pikiran, batin dan tindakan. Hal-hal yang tidak saya rasakan. Bangku sekolah yang saya makan tidak senikmat kata Ki Hadjar, tak ubahnya robot, siswa dituntut mengetahui segala hal, tanpa tahu apa yang benar-benar ingin dia tahu. Memang pada tingkat sekolah menengah atas ada pembagian minat, kelas sosial dan kelas pengetahuan alam. Judulnya memang pembagian minat, tapi kebijakan itu tidak lebih dari pemisahan siswa yang bodoh (menurut pendidik) yang biasanya masuk kelas sosial dengan siswa yang pintar (dengan tolok ukur kepatuhan) yang pastinya masuk kelas pengetahuan alam. Memang kadang-kadang yang diinginkan pendidik adalah kepatuhan, ingin serupa Tuhan.
Rasa-rasanya pendidikan kita tidak lagi mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Seperti pada penentu usaha kita bertahun-tahun (berusaha patuh), Ujian Nasional (UN). UN hanya menciptakan ketakutan-ketakutan yang menurunkan generasi bermental penakut. Ketakutan itu muncul karena siswa merasa ada perasaan tertindas yang tidak bisa dijelaskan karena memang menjelaskan tujuannya sendiri saja memang tidak jelas. Ini yang saya maksud tidak memanusiakan manusia. Melupakan kata Ki Hadjar, pendidikan adalah pembudayaan nilai-nilai, dan hanya manusia yang mengerti akan budaya.
Menurut saya, tidak perlu muluk-muluk memaksa untuk menerapkan sistem pendidikan yang digadang-gadang sistem pendidikan terbaik, seperti di Finlandia. Sejarah bangsa kita dan mereka jauh berbeda, terlebih lagi masalah budaya. Sangat terkesan tidak percaya terhadap negara, takutnya jadi makar. Mungkin ada hal yang bisa dicoba, contohnya pendidik cukup dan harusnya menerapkan falsafah Ing Ngarso Sungtolodo (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan prakarsa), dan Tut Wuri Handayani (dari belakang memberi dorongan dan arahan). Singkatnya pendidik harusnya memberi teladan, bukan hanya memberi petuah. Falsafah itu adalah konsep yang dipegang oleh tokoh yang tanggal lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.