Oleh: Raniansyah
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Angkatan 2013)
Memelesetkan sedikit puisi Aan Mansyur, Ada apa hari ini? Lihat Perppu itu, jurang antara perlindungan anak dan perlindungan hak asasi manusia.
Hari itu, Presiden berdiri
Mengumumkan hukum baru bernama kebiri
Disebabkan fenomena manusia yang kelewat berdiri
Hari ini orang-orang mengacungkan jari
Ada jempol memberi puji
Ada telunjuk menanti jawaban pertanyaan tersaji
Kebiri agar tak lagi kelewat berdiri
Perppu Nomor 1 Tahun 2016
Menjadi History dalam dinamika hukum Indonesia
Sekaligus menjadi misteri yang membuat orang orang berdiri
Ini tentang perihal perampok seksual atau yang mencuri
Dari manusia bernama anak yang masih seumuran jari
Ada yang panas selama beberapa hari,
Bukan panas matahari
Tapi pembahasan soal kebiri
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (Perppu No.1/2016) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002), pada intinya memuat ancaman pidana baru dan memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan sesksual terhadap anak. Salah satu yang paling menuai sorotan adalah perihal hukuman kebiri. Dalam kutipan pidato saat mengumumkan Perppu ini Presiden mengatakan “Bahwa kejahtan luar biasa harus ditangani dengan tindakan luar biasa pula.” Ungkapan yang sering kita dengar dengan istilah “extra ordinary crime and extra ordinary action”. Pertanyaan yang timbul dari kutipan tersebut, apakah kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa? Atau apakah kekerasan seksual telah dimasukkan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa? Ini masih seputar kalimat sederhana yang diucapkan di awal penyampaian Jokowi, belum menyoal isi Perppunya. Hebat! Kekerasan seksual terhadap anak oleh Jokowi telah setara dengan terorisme, penyalahgunaan dan peredaran narkoba, dan genosida.
Sekarang, mari menyoal mengenai Perppunya. Pertama, mengenai bentuk hukum, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Hal tersebut juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang patut digarisbawahi adalah kata “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa ini tentu menjadi subjektifitas Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ini memiliki peran menentukan pendapat Presiden tersebut. Apakah benar menimbulkan kegentingan yang memaksa atau akan menimbulkan. DPR memiliki wewenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut pada sidang DPR, jika disetujui maka Perppu disahkan menjadi undang-undang, jika tidak disetujui, maka Perppu harus dicabut, hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945.
Pertanyaan kedua yang muncul, apakah kekerasan seksual terhadap anak merupakan “hal ihwal kegentingan yang memaksa?”, menurut subjektifitas Penulis, kekerasan seksual terhadap anak bukanlah hal ihwal kegentingan yang memaksa, yang apabila tidak diselesaikan segera akan menimbulkan dampak yang besar bagi bangsa dan Negara, atau bukan merupakan hal yang membutuhkan penanganan darurat melalui Perppu. Kekerasan seksual merupakan masalah moral yang telah berpuluh tahun terjadi dan tidak dapat diselesaikan dengan berpikir parsial menetapkan aturan yang sifatnya menakuti. Mengapa baru sekarang Pemerintah begitu “goyangnya” menetapkan aturan sampai mengeluarkan Perppu padahal kekerasan seksual terhadap anak sudah berpuluh tahun terjadi? Bahkan sebelum undang-undang perlindungan terhadapnya ada. Tidakkah Pemerintah berpikir lebih jernih? Sungguh hebat program revolusi mental yang diajukan oleh sang Presiden, tapi nampaknya Presiden yang menetapkan hukuman kebiri telah mengebiri juga cita-cita mulianya yang bernama “Revolusi Mental” dengan hukuman ini. Kebiri bukan revolusi mental, ini mengebiri revolusi mental! Aduh Pak! Ini betul ingin menghukum kebiri atau hanya supaya terlihat berdiri? (Katanya) Kekerasan seksual terhadap anak telah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa karena mengancam dan membahayakan jiwa anak. Perampok juga mengancam dan membahayakan jiwa korban. Geng motor, pembunuh, koruptor, pengedar narkoba, bahkan semua kejahatan juga mengancam dan membahayakan jiwa. Kenapa semua tidak sekalian dibuatkan Perppu biar adil?
Sekarang, mari menilik isi Perppu No.1/2016. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal dua puluh tahun penjara dan minimal sepuluh tahun penjara. Selian itu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik bagi kekerasan seksual tertentu yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia (lihat Pasal 81 ayat (5) Perppu No.1/2016). Sanksi tambahan tidak berlaku bagi anak/dikecualikan bagi pelaku anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (9) Perppu tersebut. Terdapat penambahan pasal yakni Pasal 81A yang isinya mengatur mekanisme pemberian sanksi tambahan. Pelaksanaan sanksi tambahan diberikan maksimal dua tahun setelah menjalani pidana pokok. Untuk memperberat sanksi, secara subjektif dapat menilai bahwa hal tersebut wajar dilakukan. Melihat fenomena belakangan ini, apalagi dengan kasus miris Yuyun beberapa waktu lalu. Itupun sebenarnya jalannya tidak harus melalui Perppu tetapi bisa dimasukkan dalam Prolegnas tahun berikutnya untuk dibahas. Tapi untuk sanksi tambahan, aduh! Sepertinya tidak rasional.
Sekarang, mari menguji konstitusionalitas hukum kebiri, konstitusionalkah? Dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara Hukum”, pada pasal 28A menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya”, Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, Pasal 28G mengatur hak atas perlindungan kehormatan dan martabat serta bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat atau martabat, ditutup dengan Pasal 28I ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa hak hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak lainnya yang disebutkan dalam pasal ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Setelah melihat pasal-pasal tersebut, konstitusionalkah hukum kebiri? Sesuaikah dengan cita-cita revolusi mental yang sering diteriakkan oleh Jokowi? Sejalankah dengan semangat perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang dibangun selama ini? Penulis beranggapan tidak, pandangan selanjutnya diserahkan kepada pembaca untuk menilai.
Antara semangat penegakan HAM dan hukum kebiri, nampaknya kita harus membuka banyak instrumen perundang-undangan. Sejak 1998, Indonesia meratifikasi konvensi internasional menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional perlindungan dan penegakan HAM, tetapi hari itu melalui subjektifitas Presiden atas kewenangannya menetapkan Perppu, cita-cita dan penegakan HAM yang dibangun sejak lama, sejak reformasi bergulir kini dipertanyakan kembali. Perppu No.1/2016 menjadi tanda tanya pertanyaan itu.
Hukum kebiri, antara kebiri dan terlihat berdiri. Entahlah! Tiga tahun lalu Penulis juga adalah anak menurut UU, dan tiga tahun lalu Penulis menjadi bagian perlindungan UU No. 23/2002, tetapi Penulis tidak sependapat dengan kebijakan yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Semoga Perppu ini lahir atas keprihatinan Presiden pada masalah anak bukan karena alasan lain. Bukan karena ingin terlihat berdiri (pencitraan) sebagaimana opini yang terbangun di beberapa sosial media. Semua orang juga berdiri menentang kekerasan terhadap anak, tetapi tentu tidak dengan langkah parsial menghukum pelaku kekerasan seksual dengan ganjaran hukum kebiri. Semua orang menanti hasil revolusi mental bukan hasil kebiri. Apakah memilih perlindungan anak atau perlindungan HAM? Maka jawabannya keduanya harus dipilih, maka hukum kebiri bukanlah jalannya karena mencederai salah satu perlindungan yakni HAM. Semoga DPR bisa mempertimbangkan dengan matang Perppu ini untuk disetujui atau tidak disetujui.