Andi Asti Sari (Pengurus LPMH-UH)
Daun-daun mulai berguguran lagi, musim semi keempat dengan penantian yang sama. Come on Yos, balik. Selesaikan yang sudah kamu mulai.
Menjalani rutinitas seperti biasa, aku semakin menyibukkan diri. Aku seperti kalang kabut. Menerima pekerjaan sana-sini dan menggantikan siapa saja yang sedang berhalangan dalam pekerjaannya. Menjalani rutinitas tanpa beban, tak diberatkan oleh seseorang yang menjelma manis dan mengatasnamakannya menjadi kamu, dulu. Sekarang kamu itu kemudian diselimuti oleh kabut yang orang-orang menamakannya dengan harapan, sungguh menyakitkan Yos. Aku harus mematikanmu disetiap detak-detikku. Kamu seperti bayangan yang menghilang disaat gelap, menghitam lalu lenyap. Kamu alasanku masih sendiri walau harapan ini telah kubunuh dan coba aku kuatkan dengan menganggapnya sebagai kenangan, nyatanya penantian terus saja melanglang buana tanpa bisa kucegah sedikitpun.
Kamu tahu aku penikmat kopi, kamu juga tahu aku dan kopi adalah dua hal yang begitu sulit terpisah dalam alasan apapun. Dengan pandainya kamu menitipkan rindu dan harapan disetiap seduhan kopiku. Kamu adalah orang pertama yang ingin aku musnahkan di muka bumi, memaksaku masuk ke dalam alur cerita yang kamu bangun lalu pergi tanpa berucap. Aku begitu benci mengingatmu, begitu benci mendapati diriku kembali membaca blogmu yang mulai usang. Tulisanmu yang terakhir kali pada tahun 2011 tepat empat tahun setelah perjumpaan kita. Aku benci alur cerita dalam sinetron yang begitu mudah ditebak, bertemu tanpa sengaja, saling menyakiti, menghilang, kembali datang dan menyembuhkan luka kemudian kembali mengulang kisah lama. Klise, namun begitu kudamba. Begitu banyak hal yang tidak kusukai, tetapi semuanya ingin kualami agar bertemu denganmu. Rindu dan harapan yang menyatu, namun menyiksa. Sungguh.
Aku seperti pecandu, yang tidak bisa jika sehari saja tanpa mengingatmu. Sungguh aku tak berlebihan. Aku begitu menyesali perpisahan kita, begitu menyesali kepergianku. Aku begitu tak tenang, tanganku begitu kaku jika sehari saja tak menulis tentangmu. Selama perpisahan kita, kuciptakan 5.918 tulisan. Memutuskan untuk kembali dengan sejuta rindu, terlalu naif jika aku mengatakan tidak ingin bertemu denganmu. Apalagi melihatmu menyeduh kopi, kamu memikat dan berhasil menawanku. Bangunan-bangunan pencakar langit kulewati, di kota kita. Tempatmu ada dan ketiadaanku yang penuh dengan sejuta kenangan. Kuharap ini bukan ilusi, hingga kuputuskan untuk ke kedai kopi favorit kita.
Aku membaca lebih dari 2.000 buku apa saja agar lidahku tak keluh ketika bertemu denganmu. Hal ini kulakukan agar banyak kosa kata yang dapat kuucapkan jika bertemu denganmu. Supaya pembicaraan kita dapat mengalir bagai dua orang yang saling merindu, yang seolah hanya seorang teman lama yang baru saja bertemu setelah terpisah jauh, yah teman lama.
Kedai kopi ini masih sama, bahkan setelah empat tahun kepergianku. Aku memilih duduk di tempat kegemaranmu bercerita tentang pekerjaan yang begitu engkau sukai. Semoga hari ini Sena tak ke kedai ini. Walau batinku mengatakan hal itu, aku selalu menoleh jika pintu kedai terbuka dan berharap kamu ada dengan senyum indah yang dikagumi oleh semua orang, begitu manis. Aku menahan diri untuk tidak mencari keberadaanmu. Aku hanya berharap Tuhan menggariskan takdir kepada kita untuk bertemu entah bagaimana caranya. Begitu banyak hal yang mengingatkanku pada Sena di kedai ini, hingga rinduku mengalahkan lelahnya perjalananku untuk kembali di sini, dan aku memutuskan untuk meninggalkan kedai.
Aku begitu tidak menyukai situasi ini. Saat tanganku tak memegang apa-apa, dan tubuhku tak mengerjakan apapun karena lagi-lagi harus teringat padamu di tempat kita menghabiskan waktu seusai bekerja, kedai kopi Sejuta Rasa. Apa kamu sama sekali tak ingin bertemu denganku Yosi? Lalu tanganku seakan dimantra oleh penyihir, bergerak dan sekali lagi mengecek blogmu. Mataku kemudian terhenti, terpaku tak percaya, ada sebait puisi yang baru saja kamu tulis.
Banyak yang bilang, orang yang sedang jatuh cinta
Punya seribu bahasa, punya sejuta bahasa
Bahkan berubah tiba-tiba menjadi seorang pujangga
Tapi nyatanya, itu dusta
Aku (mungkin) jatuh cinta
Menguras otak, mencari kata yang sesuai dengan hatiku
Namun nyatanya, lidahku keluh, benar-benar keluh.
Aku yakin, bahwa rindu dan doa yang diciptakan Tuhan membuat-Nya begitu “kewalahan”
Karena rindu dan doaku tak henti kutujukan padamu, empat tahun lalu hingga detik ini
Jantungku berdetak begitu kencang, akankah kita bertemu kembali? Jika Tuhan enggan untuk menyatukan setidaknya ada cinta yang harus kita selesaikan Yos, katakan lalu putuskan untuk berpisah dan melupakan cinta ini.
“Tumben kamu tidak konsentrasi Sen, lagi banyak pikiran?” ujar Raya, pengganti posisi Yosi di kantor.
Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Raya, jika aku memaksakan diri untuk bertemu Yosi sekarang, maka akan ada takdir Tuhan yang tidak berjalan sesuai dengan garis tanganku. Aku memang bisa mengubah takdirku, tetapi aku tak dapat mengubah takdir Yosi. Yosi telah memilih jalan hidupnya sendiri dan bukan lagi tentangku, tetapi tentang perempuan yang ditemui di kedai kopi Sejuta Rasa.
Mereka terlihat begitu serasi dan itu cukup mematahkan hati dan penantianku. Aku begitu ingin berpura-pura tak melihat Yosi hari itu, memalingkan wajah dan berhenti menatapnya namun rasa rinduku memaksa untuk terus menatapnya dari kejauhan. Tatapannya masih saja sendu namun kali ini berbeda, itu bukan untukku lagi. Ingin sekali kutumpahkan kopi kewajah Yosi. Menumpahkan seluruh bait kata-kata puitis hingga kata-kata sumpah serapah padanya, karena kami hanya perlu untuk bertemu dan mengatakan untuk saling melupakan. Bukan, membuat aku melupakannya.
Namun sekarang bertemu bukanlah hal yang penting lagi karena pertemuan kemarin lebih dari cukup menjadi alasan untuk membuatku menyebut cintaku adalah cinta diam-diam pula. Aku harus melupakan Yosi, dan sepertinya aku harus mencoba membuka hati, cinta yang baru, kesabaran pria di sampingku ini. Selama dua tahun terakhir adalah alasan yang tepat untuk sedikit demi sedikit menoleh kearahnya, untuk Ray Amarda yang kupanggil Raya.
Sena kini benar-benar akan jadi angan untukku, akan jadi harapan yang menggantung. Ternyata Sena tak dapat apapun dari jarak yang tercipta selama empat tahun perpisahan kami. Semakin aku melupakan senyumanmu kepada pria yang menemanimu di kedai kopi Sejuta Rasa, semakin aku menggeram kepada takdir yang digariskan Tuhan untuk kita. Aku tak pernah melupakanmu Sena, memang tak ingin melupakanmu karena ada cinta yang tak pernah aku ungkapkan. Namun nyatanya, tak ada cinta antara kita, yang ada aku yang teramat mencintaimu. Tetapi kini tak ada lagi kata yang perlu aku ungkapkan. Kepulanganku nyatanya menghantarkan aku kepada level tertinggi dalam mencintai, yaitu mengikhlaskan.
“Pekerjaan kita di Jakarta akan selesai besok Yos, kamu tidak ingin menemui Sena?” ucap Anaya menyadarkanku dari lamunan.
“Hari ini juga kita balik ke Mataram, aku sudah menyampaikan pesan kepada pimpinan mereka untuk mengirimkan beberapa berkas yang kita butuhkan melalui email,” tuturku dengan tegas.
Aku dan kamu akan kembali dipisahkan oleh jarak. Jarak yang kini tak berarti apa-apa lagi untukku. Tak akan ada cinta yang memaksaku untuk sekali lagi menemuimu Sena.
Masih begitu jelas teringat dibenakku hal yang pernah kuucapkan tiga tahun lalu. Terkutuklah jika kini masih kukatakan bahwa tak ada cinta yang memaksaku untuk tak menemuimu dan sungguh aku begitu kewalahan sebab rinduku begitu kuat tak terkalahkan. Akan kucoba sekali lagi Sena untuk menemuimu, mengungkapkan seluruh perasaan dan cinta tak berbalas ini. Hatiku akan rela melepasmu jika kamu mengatakan padaku untuk berhenti memikirkanmu. Kepulanganku kali ini ke Jakarta hanya untukmu Sena, hanya untuk mendengar penolakanmu terhadap cinta yang semakin hari semakin membuatku gila.
“Ray, tiga tahun lalu aku memutuskan untuk membuka hati untukmu walaupun engkau tahu semua tentang aku dan Yosi bahkan hal-hal yang tak pernah aku sadari. Tapi Ray, maafkan aku,” dengan sesekali menatap Raya.
“Aku ditakdirkan Tuhan hanya untuk mencintai kamu Sena bahkan sebelum aku tahu tentang Yosi. Aku juga ingin minta maaf dengamu, aku tak pernah bermaksud menyembunyikan hal ini padamu.
Raya mulai menceritakan semuanya
Jam 8 di Kedai Kopi Sejuta Rasa
Khaidan Tama
Tiga hari yang lalu ada sepucuk surat yang dikirim ke kantor buat kamu tapi kebetulan hari itu kamu sedang keluar bersama mba Maya buat melihat hasil percetakan majalah. Maafkan aku karena lancang membuka surat itu, ego dikepalaku mulai memuncak. Aku harus tahu semua tentang kamu, termasuk tentang surat ini dan ternyata itu dari Yosi. Semula aku enggan memberitahumu, aku berpikir sudah cukup kamu memikirkan Yosi yang nyatanya tak memikirkan kamu, dia sudah memiliki orang lain Sena dan aku tahu karena itu kamu akhirnya membuka hati untukku. Namun selama tiga hari ini, aku tak bisa tidur dengan tenang dan terus saja memikirkan surat ini masih ditanganku. Sepertinya memang ada hal penting yang perlu kamu selesaikan dengan Yosi. Sebelum aku memberikan kamu surat ini dan pergi menemui Yosi, kamu perlu tahu Sena bahwa ada aku yang selalu ada dan mencintai kamu lebih dari apa dan siapapun.
Cerita Raya terus terbayang-bayang dipikiranku. Langkah kaki ini tidak dapat kuhentikan. Tepat pukul 08.00 aku telah berada di kedai kopi dan melihat sosok pria yang begitu kurindukan selama tujuh tahun. Rindu dan cinta yang setiap saat coba kubunuh dengan tega tetapi terus tumbuh dengan cepat tanpa penawar. Kini ia telah berada tepat di hadapanku.
Aku dan Sena kini tak dipisahkan oleh jarak lagi, walau aku telah membaca ratusan bahkan ribuan buku tentang cinta nyatanya lidahku tetap saja keluh dihadapan Sena. Tak ada kata yang dapat menggambarkan perasaanku saat ini, entah apa yang dipikiran Sena.
“Kamu datang,” ucap Yosi terpaku.
“Buat apa kamu datang Yos? Hanya untuk mengatakan kamu akan menikah dengan perempuan yang kamu lamar tiga tahun lalu di kedai ini? Kamu pergi dengan menyeret aku ke dalam cinta yang kamu buat begitu saja, lalu sekarang kamu datang sesuka hati kamu,” lontar Sena.
“Dia tidak lebih dari rekan kerjaku di Mataram, kami datang ke Jakarta karena ditugaskan untuk membangun kerja sama di tempat kamu bekerja, cincin yang kamu lihat itu sebenarnya adalah milik kamu yang aku persiapkan untuk melamarmu. Namun setelah itu aku bertemu dengan mba Maya yang seharusnya kamu juga ikut dalam pertemuan itu tetapi dia mengatakan kamu ditugaskan ke tempat lain bersama Ray, pengganti posisiku. Mba Maya melarangku untuk hadir dalam hidup kamu karena engkau telah bahagia dengan Ray dan dihari yang sama di kedai ini, pun aku melihatmu. Maka hari itu juga aku kembali ke Mataram dan mengubur dalam-dalam semua cinta yang kujaga selama ini tetapi hari ini aku memberanikan diri untuk menemuimu,”
“Ray benar berhasil mengganti posisi kamu di kantor Yos tetapi hal paling aku sesalkan karena Ray tak pernah berhasil menggantikan posisi kamu dihatiku. Aku berpikir, aku telah berjalan jauh meninggalkan cinta dan rasa rinduku terhadapmu setelah pertemuan tiga tahun lalu, nyatanya aku tetap pada posisiku tujuh tahun silam. Selama ini tanpa sadar aku hanya menyiksa Ray. Bercerita semua tentang kamu padanya, walau aku tahu hal itu semacam pisau yang menyayat perlahan hati Ray tetapi aku tak dapat menghentikannya.”
“Sena, mengira bahwa kita dipertemukan untuk menyelesaikan semua tentang cinta dan rindu yang telah membeku tetap menjadi sebuah harapan. Tetapi nyatanya Tuhan memberikan pilihan lain, kita masih bisa mencairkan harapan yang telah beku untuk menyatukan cinta kamu dan aku. Izinkan aku mengucapkan kalimat yang tak pernah dapat kuucapkan selama tujuh tahun padamu. Cincin ini masih setia menemani kemanapun langkah kaki ini membawaku, Sena Anindya maukah kamu menikah denganku?” sembari menyodorkan cincin yang dengan seksama kulihat tiga tahun lalu.
Oh Tuhan jangan bangunkan aku dari mimpi panjang ini jika aku benar-benar bermimpi. Menghujat takdir yang kamu gariskan kepada kami tiga tahun lalu adalah sebuah pekerjaan yang begitu hina yang telah kami lakukan jika pada akhirnya Engkau menggantikannya dengan takdir yang jauh lebih manis.
“Untuk semua yang telah kita lalui selama tujuh tahun, mana mungkin aku mengatakan tidak. Aku mau menikah dengan kamu Yosi Aidan Pratama,”Sena dengan mata berkaca-kaca.
Oh Tuhan jika ini hanya imajinasi yang kubangun begitu berlebihan maka jangan biarkan aku menyadarinya, izinkan aku hidup dalam imajinasi ini saja. Ampuni aku yang tak percaya dengan takdir manis yang Engkau janjikan kepada kami manusia, ciptaan-Mu. Cukuplah usaha dan doa kami membuatmu begitu “kewalahan” mendengar nama dan doa yang sama selama tujuh tahun penantian kami.