web analytics
header

Indonesia Di Tengah Ancaman Proxy War dan Arus Informasi Destruktif

Sumber: Sindonews

Sumber: Sindonews
Sumber: Sindonews

Muhammad Aldi Sido

(Ketua Bidang Hukum & Ham HMI Komisariat Hukum Unhas)

(Koordinator Divisi Litbang & Advokasi Media  LPMH-UH)

Pada tahun 1798 seorang pakar demografi dari Inggris bernama Thomas Malthus mengeluarkan suatu teori tentang prinsip kependudukan yang hari ini dikenal dengan teori Malthus. Teori itu meramalkan bahwa kelak jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. Ia mengatakan jumlah penduduk meningkat seperti deret ukur, sedangkan ketersediaan makanan meningkat seperti deret hitung. Sesuai dengan teori Malthus tadi, seorang pakar statistik Inggris yang meluncurkan buku The World in 2050, bernama Laurence Smith memprediksi bahwa pada tahun-tahun berikutnya jumlah penduduk dunia akan bertambah sebanyak satu miliar perenam tahun dimana meningkat sangat pesat. Ia menghitung pada tahun 1800-an jumlah penduduk dunia baru mencapai satu miliar, namun pada tahun 2011 jumlah penduduk dunia telah mencapai tujuh miliar. Berarti setiap enam tahun akan ada penambahan penduduk dunia sebanyak satu miliar orang.

Jika dikaji lebih jauh dengan melihat jumlah populasi yang makin meningkat tiap tahun, masalah yang akan dihadapi penduduk dunia pada tahun mendatang adalah ketersediaan makanan. Kondisi ketersediaan makanan akan mencapai titik kritis jika jumlah populasi manusia tidak berbanding lurus dengan jumlah pangan yang dapat diproduksi. Badan Pusat Statistik Indonesia memproyeksikan, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305 juta jiwa pada tahun 2035 yang akan menambah beban konsumsi penduduk. UNICEF (United Nations Children’s Fund) bahkan mencatat adanya satu orang anak meninggal setiap 2.1 detik atau hampir 15 juta anak setiap tahun karena kemiskinan, kelaparan dan kesehatan yang buruk.

Di lain pihak British Petroleum (BP) pada tahun 2013 pernah mengeluarkan sebuah laporan dan menyatakan bahwa sisa energi fosil dunia tinggal 52 tahun lagi sedangkan sisa energi fosil di Indonesia tinggal 10 tahun. Pada situs resminya, British Petroleum memprediksi bahwa pada tahun 2066 energi dunia akan habis dan pada tahun 2024 Indonesia juga akan mengalami kehabisan energi fosil. Jika melihat kondisi ini, maka akan tidak mungkin jika negara-negara besar akan mencari alternatif energi yang dapat digunakan untuk menggantikan energi fosil, salah satunya adalah bio energi.

Dalam sebuah buku yang pernah diterbitkan oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang membahas mengenai konflik dan perang, ia menyimpulkan bahwa perebutan energi dunia sebagai biang konflik-konflik besar yang pernah terjadi. Dari semua konflik yang terjadi di dunia, lebih dari 70 persen disebabkan adanya perebutan sumber energi. Negara-negara yang memiliki sumber energi fosil (minyak, gas, batu bara) menjadi tempat berkumpulnya kepentingan negara di dunia.

Gatot mencontohkan Irak yang menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990 merupakan bagian dari upaya Saddam Husain untuk memulihkan kondisi ekonomi Irak akibat turunnya harga minyak di pasaran internasional dimana minyak adalah komoditi utama di negara tersebut. Dengan mengklaim Kuwait sebagai provinsi dari Irak, Saddam berharap dapat menguasai sumur-sumur minyak Kuwait yang bernilai 2,4 miliar dolar AS. Melihat hal ini, Amerika Serikat merasa khawatir situasi tersebut akan menggoyang harga minyak dunia dan menganggu pasokan minyak Amerika Serikat yang pada akhirnya berakhir dengan invasi Amerika Serikat ke Irak yang dikenal dengan operasi Badai Gurun (Desert Storm).

Beberapa konflik lain yang pernah terjadi juga dilatarbelakangi akibat perebutan energi fosil. Seperti konflik Sudan dan Sudan Selatan yang memperebutkan minyak dari jalur pipa milik Sudan Selatan yang melewati wilayah Sudan, serta konflik di Nigeria yang mengakibatkan kerusuhan dimana penduduk asli Nigeria merasa pemerintah Nigeria lebih memihak kepada perusahaan multinasional dalam kegiatan ekplorasi minyak yang mengalihfungsikan tanah-tanah pertanian milik warga setempat.

Potensi Alam Indonesia Akan Menjadi Rebutan

Indonesia memiliki keuntungan secara geografis karena terletak tepat di bawah garis khatulistiwa di mana menempatkan Indonesia hanya merasakan dua jenis musim; kemarau dan musim penghujan. Kondisi ini menyebabkan Indonesia memiliki potensi vegetasi dan bercocok tanam sepanjang tahun, di mana dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut memberikan peluang memajukan perekonomian.

Mckinsey Global Institute memprediksi Indonesia dapat menjadi negara maju pada tahun 2030 jika dapat mengelola potensi sumber daya alam secara maksimal. Setidaknya ada empat sektor potensial yang akan menopang laju perekonomian Indonesia pada masa mendatang yakni pelayanan konsumen atau jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam, serta pendidikan. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, terutama sektor pertanian/ kelautan, kehutanan, dan pertambangan. Investasi di sektor-sektor tersebut juga terus tumbuh. Selama 2014 hingga triwulan I/2015, investasi di sektor pertambangan dan pertanian/ kelautan tumbuh signifikan.

Salah satu yang menjadi permasalahan jangka panjang dunia ke depannya adalah ketersediaan air bersih. World Wildlife Fund (WWF) dalam situs resminya menulis data hasil Forum Ketiga Air Dunia dimana UNESCO melaporkan bahwa menjelang tahun 2025, lebih dari 2,5 milyar penduduk dunia atau lebih kurang satu pertiga penduduk dunia akan menghadapi kekurangan air bersih. Mereka memperkirakan sekitar 12000 km2 sumber air dunia saat ini telah tercemar dan apabila tidak ada perbaikan pada 50 tahun mendatang kerusakan sumber air bersih akan mencapai 18000 km2. Indonesia sendiri pada tahun 2014, masih memiliki persediaan air bersih sebanyak 5.000 m3 perkapita per tahun. Masih lebih banyak dibandingkan negara-negara tetangga seperti India, Bangladesh, dan Korea Selatan serta negara-negara Benua Afrika yang saat ini telah mengalami krisis air bersih.

Dengan adanya potensi air yang cukup, kekayaan hayati Indonesia akan memiliki potensi yang menjanjikan pula. Dilihat dari beragamnya komoditas pertanian, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan dapat menghasilkan produksi yang melimpah dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Ini karena sektor pertanian merupakan salah satu alat stabilitas ekonomi Indonesia sekaligus sebagai alat pemersatu bangsa.

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah produksi, luas areal dan produktivitas perkebunan Indonesia mengalami peningkatan. Tercatat ada dua komoditas unggulan perkebunan Indonesia sejak beberapa tahun belakangan yang telah menjadi komoditas unggulan di pasar internasional yakni karet dan kelapa sawit.

Sesuai laporan International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2012, produksi karet Indonesia telah menyalip peringkat Thailand sebagai negara pengekspor karet terbesar di dunia dengan produksi di atas tiga juta ton. Produksi karet alam Indonesia meningkat secara perlahan dari 2.440.347 ton di tahun 2009 menjadi 2.9990.184 ton pada 2011. Kemudian terus meningkat di tahun 2012 sebesar 3.040.376 dan pada tahun 2013 sebesar 3.100.000 ton.

Kelapa sawit juga menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia. Dengan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 7,9 hektar. Kelapa sawit merupakan penunjang devias negara terbesar kedua setelah migas dengan nilai 14,1 miliar dollar Amerika dan melampaui Malaysia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, hasil tersebut berdasarkan rilis Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) & Indonesian Ministry of Agriculture. Mantan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi juga pernah mengatakan bahwa pada tahun 2020 Indonesia bisa menghasilkan 40 juta ton Crude Palm Oil (CPO) yang difokuskan untuk bahan bakar hayati. Senada dengannya, Joefly Bachroeny (Ketua Umum Gabungan Penguasaha Kelapa Sawit Indonesia) mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara dengan produsen biofuel (bahan bakar hayati) terbesar di dunia. Bahan bakar hayati inilah yang akan menjadi energi penompang menggantikan energi fosil, yang tentu saja akan menarik perhatian negara-negara besar lainnya.

Dari sektor sumber daya alam non hayati Indonesia juga masih memiliki potensi besar. Hanya saja saat ini beberapa sektor sumber daya alam non hayati seperti migas telah diolah oleh perusahaan-perusahaan asing yang memiliki modal besar. Menurut Perusahaan Gas Negara (PGN), Indonesia saat ini masih memiliki sumber daya alam non hayati yang masih fantastis selain minyak bumi. Cadangan tersebut meliputi cadangan gas alam sebesar 153,45 trillion cubic feet (tcf) dan cadangan batu bara 136 miliar ton.

Proxy War Sebagai Perang Gaya Baru

Pada tahun mendatang di mana telah terjadi krisis energi, krisis pangan, dan krisis air yang menyebar ke seluruh dunia, maka perang yang akan terjadi adalah perang untuk memperebutkan seluruh sumber yang akan krisis tersebut. Indonesia sebagai negara ekuator tentu berpotensi menjadi negara yang diperebutkan karena memiliki potensi untuk menopang krisis yang berkepanjangan tadi. Hal ini disebabkan wilayah seperti Indonesia mampu bercocok tanam sepanjang musim dan juga memiliki persediaan sumber daya alam yang melimpah.

Perang konvensional yang melibatkan dua negara yang berkonfrontasi secara langsung sepertinya perlahan akan ditinggalkan, namun dengan adanya kepentingan-kepentingan kelompok maka akan menciptakan jenis perang-perang baru, salah satunya adalah perang proxy (proxy war).

Dari berbagai literatur yang ada, proxy war diartikan sebagai sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan dapat mengurangi resiko konflik langsung yang beresiko pada kehancuran fatal. Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Agus Sutomo dalam sebuah forum kuliah umum di Universitas Padjajaran mengungkapkan jika pada proxy war tidak akan melalui konfrontasi kekuatan militer, tetapi perang melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui politik, ekonomi, sosial budaya, termasuk hukum.

Indikasi terjadinya proxy war tersebut menurutnya akan meliputi berbagai macam gerakan separatis dan gerakan radikal kanan/kiri, demonstrasi massa anarkis, sistem regulasi dan perdagangan yang merugikan, peredaran narkoba, pemberitaan media yang provokatif, tawuran pelajar, bentrok antar kelompok, serta penyebaran pornografi, seks bebas, dan gerakan LGBT.

Pada proxy war, kemungkinan terjadinya perang sipil tidak dapat dihindarkan. Menurut hasil diskusi di Universitas Indonesia pada tanggal 10 Maret 2014 terkait proxy war, salah satu bentuk nyata perang proxy adalah diciptakannya kelompok-kelompok teroris di Indonesia sehingga Indonesia dituduh dan dicap sebagai negara teroris. Dengan tuduhan tersebut, negara-negara musuh akan mudah untuk mengintimidasi dan masuk ke Indonesia dengan dalih mengikis terorisme sebagai ancaman peradaban dunia.

Skema tersebut bukan belum pernah terjadi. Timur Tengah dan Afrika di mana negara-negara di sana menjadi negara dengan penghasil energi fosil terbesar di dunia saat ini telah dilanda perang sipil pasca Arab Spring. Negara-negara seperti Irak, Mesir, Pakistan, Libya, Suriah dan negara-negara dengan cadangan minyak bumi yang banyak hari ini menghadapi perang sipil yang berkepanjangan namun dengan skema yang sama, yakni adanya sekelompok orang yang menginginkan digulingkannya pemerintahan yang sah dengan dalih demokrasi yang kemudian menyebabkan perang sipil. Perang sipil inilah yang menjadi jalan masuknya campur tangan negara-negara Barat dan Eropa untuk mengamankan dengan dalih kemanusiaan. Seperti aliansi Rusia dan Iran yang mempertahankan pemerintahan sah Suriah yang secara tidak langsung berkonfrontasi dengan Aliansi Amerika Serikat dan Israel yang mendukung gerakan pemberontak (sipil), yang menginginkan Presiden Suriah Bashar al-Assad turun dari kursinya.

INDONESIA DI TENGAH ANCAMAN PROXY WAR DAN ARUS INFORMASI DESTRUKTIF

Untuk Indonesia sendiri, saat ini gejolak permusuhan telah mulai terasa. Masyarakat hari ini termakan isu dan sentimen tertentu yang berpotensi memunculkan konflik horizontal. Setidaknya ada beberapa potensi konflik sipil di Indonesia yang hari ini kuat mencuat kepermukaan dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut antara lain makin menguatnya isu sentimen agama dan kelompok, isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), serta menguatnya potensi gerakan separatis di Papua. Jika pemerintah tidak menanggulangi dengan baik sentimen yang menguat di masyarakat akan menyebabkan perang sipil seperti di negara-negara yang tengah dilanda konflik hari ini.

Menguatnya Sentimen Agama

Sentimen agama di Indonesia makin menguat pasca calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok diduga melakukan perbuatan penistaan terhadap Al-Quran yang menjadi pedoman kitab suci umat Islam. Kondisi ini diperkuat dengan sentimen pribadi terhadap Ahok di mana dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, banyak melakukan tindakan yang kontroversial dan beberapa kali melakukan penggusuran yang mendapat penolakan keras dari sebagian masyarakat Jakarta. Puncaknya pada bulan November dan Desember, dengan isu penistaan agama yang dikuatkan dengan beberapa sentimen lain,  terjadi aksi besar-besaran umat Islam se-Indonesia yang menuntut Ahok dihukum atas dugaan penistaan agama Islam.

Walaupun kasus Ahok tidak memiliki hubungan dengan masalah SARA secara langsung, status Ahok sebagai penganut agama Kristen dan dari keturunan Tionghoa membuat isu SARA tetap bergulir dan semakin menguat di tengah masyarakat. Sentimen-sentimen etnis, ras, dan agama tersebut memaksa Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian bertindak lebih radikal dengan malakukan upaya preventif dengan menyebar ribuan selebaran yang berisi himbauan untuk tidak melakukan demonstrasi. Kondisi itu juga diperparah dengan perpecahan dan tidak bertemunya pandangan pemuka agama Islam terkait kasus Ahok ini. Akhirnya, pada demonstrasi besar terakhir yang melibatkan jutaan masyarakat muslim Indonesia, terjadi penangkapan terhadap beberapa orang yang terindikasi akan melakukan makar terhadap Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Belum selesai kasus Ahok, komunitas muslim Indonesia makin saling memprovokasi dengan debat tak henti mengenai boleh tidaknya muslim merayakan natal ataupun mengucapkan selamat natal bagi umat nasrani. Debat klasik yang tak kunjung selesai dari tahun ketahun tersebut makin menguatkan kisruh yang berakhir dengan menyalahkan satu sama lain. Parahnya, perdebatan terbuka di media sosial antar umat muslim tersebut tidak memikirkan kondisi dan perasaan umat nasrani yang sedang merayakannya.

Selain debat panas mengenai perayaan natal, media sosial juga dihebohkan perdebatan mengenai konflik yang sedang terjadi di Timur Tengah. Krisis Suriah menjadi salah satu perbincangan masyarakat baik yang pro terhadap pemerintah Suriah ataupun yang mendukung pihak oposisi yang ingin menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Tentu saja krisis Suriah patut menjadi perhatian, apalagi Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi umat muslim terbesar di dunia sekaligus negara yang menganut sistem demokrasi. Hanya saja, makin hari konflik Timur Tengah semakin di arahkan pada konflik sektarian yang lagi-lagi mengaitkan antara Syiah dan Sunni. Kondisi tersebut berdampak pada saling ‘mengkafirkannya’ umat muslim Indonesia baik di media sosial maupun secara langsung dengan dalih perbedaan sekte atau mashab,  bukan hanya di kalangan masyarakat awam tetapi juga di kalangan cendekiawan pemuka agama Islam.

Mencuatnya Isu Diskriminasi Etnik Papua

Salah satu media massa nasional baru-baru ini mengangkat masalah susahnya mahasiswa yang berasal dari Papua mendapat kamar sewa (kos) di Yogyakarta. Hal ini bukan tanpa sebab, perilaku sebagian oknum yang kebetulan berasal dari Papua yang melakukan macam tindakan amoral seperti berkelahi, mabuk-mabukan, dan kadang tidak membayar sewa kos kemudian memicu stigma terhadap mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama. Kondisi ini diperparah dengan semakin munculnya kesan diskriminatif terhadap orang-orang yang berasal dari etnik yang ada di daerah Timur Indonesia tersebut.

Sebenarnya perilaku diskriminatif terhadap mahasiswa di Yogyakarta tidak terjadi begitu saja. Pada bulan Juli 2016 lalu, aksi mahasiswa Papua yang pro terhadap demokrasi dibubarkan secara paksa oleh gabungan aparat kepolisisan dan organisasi kemasyarakatan dan dikejar hingga ke dalam asrama mereka, karena adanya isu akan melakukan demonstrasi separatis yang tergabung dalam gerakan Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat. Buntut dari tragedi tersebut mengakibatkan Aliansi Mahasiswa Papua memilih meninggalkan Yogyakarta.

Perilaku represif aparat yang menindak demonstran yang mengaungkan pembebasan Papua Barat, ditambah ucapan Sultan Yogyakarta yang menyuruh mahasiswa Papua untuk keluar dari Yogyakarta jika mengampanyekan separatisme tentu menimbulkan pro dan kontra baru. Bagi sebagian orang tindakan ini benar karena Indonesia dan persatuan adalah harga mati yang tidak bisa ditolak. Hanya saja sebagian lain menganggap bahwa negara besar dengan sistem demokrasi ini gagal melihat penyebab dari munculnya gerakan seperti itu. Lagi-lagi separatisme kadang muncul dan berawal dari ketidakadilan dan  tindakan diskriminasi. Pada bagian lain, ketimpangan pembangunan menjadi salah satu penyebab yang menguatkan keinginan berpisah dari republik ini. Salah satu bentuk nyata gerakan separatis yang sukses pernah terjadi adalah berpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Belakangan, Australia dianggap mendapat keuntungan dari lepasnya Timor Timur karena dapat melakukan kerjasama dalam eksplorasi sumber minyak yang ada pada negara baru tersebut.

Isu Bangkitnya Partai Komunis Indonesia

Santer isu bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di media sosial yang dibuktikan dengan beberapa gambar dan video berlabelkan palu arit akhir-akhir ini memperburuk kewarasan dan menguras emosi masyarakat media sosial. Kondisi ini diperparah dengan stigma yang ditujukan terhadap pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden sebagai bagian yang mendukung bangkitnya partai yang terlarang melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 itu.

Harus diakui, fobia PKI hingga saat ini masih melekat kuat pada sebagian masyarakat Indonesia. Kondisi ini tentu patut dikhawatirkan melihat makin hari propaganda bangkitnya PKI semakin tersebar luas di media sosial dan menjadi konsumsi publik masyarakat Indonesia. Hal ini tentu menambah resiko terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat yang saling menuduh satu sama lain.

Selain isu PKI, masuknya para pekerja Cina ke Indonesia yang dianggap membahayakan masyarakat pribumi juga menguat kepermukaan. Media-media nasional saat ini gencar memberitakan banyaknya pekerja Cina yang masuk ke Indonesia dan menjadi pekerja kasar namun bergaji tinggi, yang menimbulkan kesan tidak adil terhadap masyarakat miskin pribumi Indonesia yang juga membutuhkan kehidupan yang layak. Kesan ini tentu mengingatkan sebagian besar masyarakat Indonesia keturuan Tionghoa yang masih trauma dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan kerusuhan rasial terhadap keturuan Tionghoa di Indonesia.

Peran Pemuda Dalam Menangkal Arus Informasi Destruktif

Peran pemuda dalam menangkal berbagai macam isu dan sentimen agama, perpecahan kelompok, hingga menangkal isu konflik horizontal mengenai SARA, yang hari ini terjadi di tanah air patut di ke depankan. Kualitas pemuda sebagai bagian dari sumber daya manusia mesti digenjot lebih maksimal. Menurut Guru Besar Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Sri Adiningsih, daya saing sumber daya manusia Indonesia masih kalah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. Data yang ada menunjukkan, 50% pekerja di Indonesia hanya lulusan sekolah dasar, 90% pekerja tidak pernah ikut pelatihan. Human Development Index (HDI) pada 2013 membandingkan kualitas relatif sumber daya manusia beberapa negara. HDI menempatkan Indonesia masih berada pada posisi 121, berada di bawah Singapura (18), Brunei (30), Malaysia (64), Thailand (103) dan Filipina (114).

Di lain sisi tren penggunaan media sosial oleh mayoritas anak muda hari ini memiliki dampak positif dan negatif. Jika diperhatikan, arus informasi global yang tak bisa ditangkal banyak berasal dari media sosial yang hari ini digemari kalangan remaja hingga dewasa. Kondisi ini dapat berakibat positif pada informasi yang sifatnya bermanfaat, namun dapat berdampak buruk apabila informasi yang beredar merupakan informasi yang salah atau hoax.

Dapat diambil contoh bagaimana informasi seputar konflik Timur Tengah hari ini yang memicu perbedaan pandangan mengenai konflik yang terjadi dan bermuara pada sentimen sekte. Jalaluddin Rahmat, pakar komunikasi yang kemudian menulis esai terkait arus perkembangan informasi menganalogikan bagaimana media dapat menciptakan apa yang ia sebut sebagai “dunia ketiga”. Dunia ketiga adalah dunia yang bizar, penuh kekerasan, kelaparan, dan kebodohan yang terbentuk akibat arus informasi satu arah yang terus menerus yang mengakibatkan distorsi. Ia menganggap bagaimana Barat menciptakan tren dan pandangan melalui media sebagai bangsa yang gemerlap, beradab, mewah, dan terpelajar, lalu menciptakan “dunia ketiga” dimana itu adalah sebagai sesuatu yang buruk atau bizar.

Jalaluddin Rahmat menulis sebagaimana apa yang ia kutip dari Edward Said dalam Covering Islam, yang secara menarik menggambarkan bagaimana media Barat menampilkan gambaran orang-orang Islam secara keliru dan menyesatkan, inilah bagian dari dunia ketiga. Arus informasi, menurutnya akan berdampak sangat drastis apabila tidak disiapkan penyesuaian sosial baru dalam masyarakat Indonesia. Hancurnya nilai-nilai tradisional dan masuknya nilai-nilai modern yang destruktif akan semakin terjadi apabila penetrasi media tidak dapat dicegah dengan baik.

Penggunaan komputer dan telepon pintar hari ini mendorong kembali masyarakat untuk menstruktur ulang sistem sosialnya yang kemudian disebut sebagai masyarakat informasi. Daniel Bell dalam The Coming of Post-Industrial Society menceritakan tiga sistem sosial yakni pra-industrialisme, industrialisme, dan pasca-industrialisme. Sistem sosial yang terakhir itulah yang saat ini terjadi yang berbasiskan teknologi intelektual dan pemberian jasa. Dalam konseptualisasi Bell, kunci masyarakat informasi adalah pengelolaan teknologi intelektual, salah satunya adalah teknologi informasi.

Imbas arus informasi yang terdistorsi media kemudian menghasilkan informasi yang destruktif. Di lain sisi, saat ini masyarakat pada umumnya sudah mulai ketergantungan terhadap teknologi informasi. Kondisi ini memaksa untuk benar-benar cerdas melihat sumber informasi yang masuk. Oleh karena itu, ada beberapa kecenderungan pemuda Indonesia sudah mulai selektif dalam mengolah informasi yang beredar hari ini, sebagaimana dikutip dari esai Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi yang ditulis oleh Jalaluddin Rahmat.

Kecenderungan yang pertama adalah semakin cerdasnya generasi muda dalam melihat informasi yang beredar. Kualitas pendidikan dan kecenderungan untuk mengkritisi sesuatu menurutnya dapat membantu dalam menangkal arus informasi yang salah. Tentu daya kritis tersebut tidak tercipta tanpa adanya pola pikir yang rasional dan integralistik, yang kemudian menjadi kecenderungan kedua. Lalu ketiga, kesadaran beragama pada kalangan yang berpendidikan juga tampaknya akan menambah kesadaran dalam ruang yang religius. Walaupun demikian, iklim yang mesti disuburkan adalah membolehkan individu menjelajah dunia informasi tanpa banyak pengendalian agar dapat mempertanyakan dan mengkritisi asumsi-asumsi yang baku, agar dapat berhipotesis gila. Di mana ujungnya dapat melatih diri bersikap inkuisitif, eksploratoris, dan imajinatif.

            Potensi konflik horizontal yang dibuat dalam agenda proxy war oleh kelompok tertentu dapat ditekan dan diminimalisir jika masyarakat muda Indonesia dapat lebih selektif melihat informasi tanpa harus mengonsumsinya secara mentah-mentah. Informasi simpang siur mengenai isu tertentu seperti perihal sentimen keagamaan baiknya ditelusuri lebih jauh untuk melihat akar masalah agar terhindar dari informasi yang salah dan destruktif. Begitu pula dengan informasi-informasi seputar isu SARA. Dengan kondisi Indonesia yang plural tentu isu tersebut menjadi senjata ampuh dalam memecah belah bangsa.

            Masyarakat muda Indonesia mesti sadar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan banyak sumber daya yang dapat dikelola dengan baik dan maksimal. Kondisi Indonesia yang di-ninabobo-kan sebagai suatu bangsa yang tak mampu bersaing perlu untuk didobrak agar dapat terhindar dari potensi-potensi destruktif yang berkepanjangan. Upaya terbaik untuk menanggulangi adanya perpecahan dalam bangsa Indonesia adalah dengan mengidentifikasi dan mengenali dengan baik siapa musuh dan kawan yang memiliki kepentingan di Indonesia. Tentu upaya-upaya tersebut tidak dapat terlaksana tanpa kesadaran kritis lagi rasional, yang dapat dikembangkan dalam forum-forum diskusi dan komunitas belajar ataupun melalui literatur-literatur yang tersebar di banyak toko-toko buku.

Related posts: