Nur Fuadyah Kahar
(Redaktur Pelaksana LPMH-UH periode 2016-2017)
Teringat perjuangan Kartini, membuat Indonesia rindu akan sosoknya saat ini. Rindu akan sosok perempuan tangguh dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan kaumnya. Terlahir sebagai seorang perempuan pada era sebelum kemerdekaan adalah bentuk diskriminasi nyata yang harus diterima karena tidak boleh merasakan dunia pendidikan. Pada era tersebut perempuan tak dipandang sebagai seorang manusia yang mempunyai hak sama dengan kaum pria. Wanita pada saat itu mendapatkan perlakuan yang sangat berebeda dengan kaum pria. Mulai dari melanjutkan pendidikan setinggi yang diharapkan hingga menetukan jodoh sendiri adalah sesuatu yang bukan menjadi pilihan perempuan. Merasakan hal tersebut, merupakan tekanan batin teramat dalam yang harus dihadapi oleh pejuang kita Raden Ajeng Kartini. Menelan pahitnya resiko menjadi seorang perempuan saat itu, mendorong Raden Ajeng Kartini untuk berjuang menghapus batasan-batasan yang diciptakan bagi perempuan di eranya.
Suara serta hak perempuan yang dibungkam pada masanya, membuat Kartini gigih dalam menyuarakkan keadilan bagi kaum perempuan. Sebagai puteri dari seorang Bupati Jepara, Kartini merasa bahwa dirinyalah yang mempunyai tenggung jawab untuk memperjuangkan hak yang harus didapatkan seorang perempuan. Perjuangan tersebut diawali dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis di kota kelahirannya, Jepara.
Besarnya semangat untuk memajukan perempuan di eranya adalah dilihat dari kumpulan surat yang dituliskan wanita yang dikenal dengan ciri khasnya memakai kebaya tersebut, tentang keinginan-keinginannya agar wanita tidak dipandang sebagai kaum yang lemah tak berdaya dibanding seorang pria. Kumpulan surat isi hati Kartini inilah yang dikenal dengan karya “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Sebuah terang yang dimaksud adalah secercah harapan yang dikumpulkan Kartini hingga memudarkan aturan yang hampir saja terus membawa perempuan Indonesia dalam beleggu kebodohan, tertutup akan perkembangan zaman dan enggan akan kebebasan. Namun sosok Kartini tentu tak akan membiarkan adanya ketimpangan tersebut dan mengupayakan untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dalam hal melanjutkan pendidikan setelah dewasa.
Sebagai seorang pelopor pejuang emansipasi yang begitu gigih, yang jasanya sampai saat ini tak terbalaskan, maka wajarlah jika 21 April dikenang sebagai Hari Kartini. Hari di mana perempuan merasa terhormat dengan adanya sosok perempuan tangguh dan berintegritas penuh menjunjung keadilan untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
Kartini sebagai kaum yang termarjinalkan pada saat itu mempunyai tekad kuat untuk mendapatkan kesetaraan gender. Di mana saat itu, penegakan keadilan bagi kaum perempuan tentu jauh dari adil yang seadil-adilnya. Esensinya seorang perempuan pada era Kartini adalah tinggal di rumah, dan tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dari pria. Hal tersebut menjadikan Kartini sangat iri melihat kawan perempuannya di Belanda yang dapat mernuntut ilmu secara bebas, tanpa ada perlakuan yang berbeda.
Tekad kuat Kartini adalah hal yang harus senantiasa direfleksikan perempuan Indonesia. Besar harapan Kartini terhadap perempuan masa kini untuk berbuat lebih baik bagi Indonesia. Bukankah perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi yang dapat menjadi kunci kemajuan suatu bangsa. Hal tersebut dibuktikan dari penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan seorang anak diwarisi oleh gen ibunya. Sehingga Indonesia butuh perempuan yang cerdas, perempuan yang merasakan dunia pendidikan.
Begitu besar pengaruh seorang perempuan terlihat pula pada kepemimpinan suatu bangsa. Seperti adanya ungkapan yang menyatakan di balik pria hebat tentu ada seorang wanita hebat. Sehingga suksesnya seorang pemimpin terdapat pada perempuan yang mendukungnya. Namun sebaliknya, ada pula ungkapan bahwasanya tiga hal yang dapat menjerumuskan pria adalah harta, tahta dan wanita. Sehingga dalam menafsirkan lebih jauh, tidak dapat dipungkiri bahwa amat besar peranan seorang perempuan di balik orang yang nantinya akan memimpin Indonesia. Maka dibutuhkan karakter perempuan yang berintegritas, yang mampu menjaga sikap dan mendukung kepemimpinan di Indonesia.
Tentulah berbeda dengan kondisi saat ini, perempuan dengan kegigihan yang ditunjukkan Kartini perlahan memudar. Nyatanya di Indonesia masih banyak perempuan yang kehilangan sebagian haknya, banyaknya anak-anak yang tak dapat bersekolah, perempuan yang harus bekerja secara tidak layak, banting-tulang sendiri memenuhi kebutuhan hidup, pasrah akan keadaan sehingga terpaksa menjadi pekerja seks komersial, dan perempuan korban kekerasan serta korban prostitusi. Sehingga hal yang paling utama saat ini adalah Indonesia rindu dan jelas membutuhkan semangat Kartini. Indonesia butuh Kartini yang mempunyai jiwa patriotisme, berkomitmen memajukan hak perempuan, juga cerdas dan berakhlak mulia demi mewudkan kehidupan yang layak bagi seorang perempuan, yang pada akhirnya turut andil dalam memajukan bangsa.
Perjuangan bagi perempuan saat ini adalah tidak lagi bersikeras agar perempuan dapat memperoleh hak pendidikan, tapi memastikan agar setiap perempuan dapat menggunakan hak pendidikannya tersebut. Tak masalah jika tak lagi berjuang dengan kebaya, namun jiwa Kartini haruslah tetap terjaga. Seperti beberapa perempuan yang telah berkiprah di Indonesia, memperjuangkan apa yang menjadi pelanjut perjuangan Kartini, sebut saja beberapa perempuan pengharum nama bangsa tersebut, Megawati Soekarno Putri selaku satu-satunya presiden perempuan yang pernah memimpin di Indonesia, Susi Pudjiastuti, Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, dan lain-lain. Mereka adalah sebagian dari beberapa sosok perempuan yang dapat dijadikan kebanggaan Indonesia dengan kegigihannya mewarisi semangat leluhur perempuan, Raden Ajeng Kartini. Para perempuan yang diharapkan mampu menerbitkan kembali terang setelah gelap berusaha menutupi.