Kahar Mawasnyah
(Presiden BEM FH-UH periode 2016-2017)
Salamaki na to pada salama.
Silessureng malebbiku Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH). Semoga kita semua tetap berada dalam lindungan-Nya. Silessurengku, bersama tulisan ini saya hendak menyampaikan beberapa hal terkait beberapa paradigma yang terbangun dan tertuju kepada kami secara pribadi. Bersama tulisan pula saya menitipkan harapan kepada Kema FH-UH.
Dengan sengaja dan penuh kesadaran saya membuka tulisan ini dengan salam dalam bahasa bugis, serta menyapa Kema FH-UH dengan sapaan bugis pula. Salama’ki na to pada salama’ merupakan doa akan kita bersama-sama selamat di jalan-Nya, serta silessurengku merupakan bahasa bugis dari saudaraku. Hal itu saya maksudkan untuk menekankan bahwasanya penulis adalah wija to Bone (keturunan orang Bone) yang memegang teguh “Getteng, Lempu, Tettong ri Ada Tongeng”. Sebagai wija to Bone, saya di didik untuk tegas, jujur, dan tetap memegang teguh kebenaran. Saya wija to Bone yang memiliki siri’ na pesse yang perlu saya bela dan saya perjuangkan. Saya wija to Bone banyak berproses dan mendapatkan banyak pendalaman kemahasiswaan di organisasi daerah (Organda) Bone setelah melulusi Pembinaan Mahasiswa Hukum (PMH) tahap I, II dan III.
Dalam beberapa kesempatan, saya mendapati organda di diskreditkan sebagai organisasi yang rasis, tidak bersahabat dan pencelaan lainnya. Bukankah semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru, bukankah setiap organisasi memiliki orientasi masing-masing. Meskipun banyak mengkaji persoalan kebudayaan daerah, namun organda pun tetap mengkaji persoalan sosial yang berkembang. Selayaknya organisasi lainnya, organda pun hendak melahirkan kader-kader unggulan yang nantinya berguna bagi bangsa. Sepemahaman saya, berorganisasi bukan untuk membatasi pergaulan kader, bukan untuk membeda-bedakan satu sama lain. Bagi yang memiliki pandangan negatif terhadap organda, mungkin saudara lupa peran organda yang duduk bersama dalam kongres pemuda dan melahirkan sumpah pemuda yang kemudian menjadi gaung pertama perjuangan kemerdekaan negeri ini.
Silessurengku Kema FH-UH. Kongres Kema FH-UH masih sementara berlangsung, meskipun dalam perjalananya tidak setiap hari sidang dibuka. Dalam sidang terakhir, menetapkan pergantian salah satu presidium sidang karena halangan yang mendesak. Bersamaan dengan agenda tersebut, saya mencoba melakukan peninjauan kembali terhadap penetapan laporan pertanggungjawaban (LPJ) BEM FH UH periode 2016/2017 yang saya pimpim. Terhitung sejak sidang itu tidak terdengar seruan apapun untuk kembali membuka sidang. Silessurengku, saya mengajukan peninjauan kembali atas penetapan LPJ BEM FH-UH tentu bukan tanpa alasan. Sampai saat saya menulis surat ini, saya tidak mengetahui alasan apapun mengenai penolakan LPJ BEM FH-UH.
Setelah menyelesaikan pembacaan pandangan umum Presiden BEM FH-UH 2016/2017 dan menjawab beberapa pertanyaan, saya bersama pengurus BEM yang hadir diminta oleh presidium untuk keluar dari dalam forum karena menurut kebiasaan, BEM tidak boleh berada dalam forum ketika pembahasan mengenai penetapan LPJ BEM. Sekitar pukul 17.25 Wita kami meninggalkan forum dan kembali bergabung selang sekitar 20 menit kemudian. Kami duduk di kursi, tempat kami menyelesaikan pembacaan laporan pertanggungjawaban dan mendengarkan pembacaan konsideran penetapan LPJ BEM. Akhirnya kongres menetapkan LPJ BEM FH-UH ditolak tanpa melampirkan satu alasan pun. Pada akhirnya setelah sidang ditutup saya mendapati bahwa keputusan diambil dengan cara voting tertutup, tanpa melalui musyawarah. Peserta kongres akrab dengan sebutan one man one vote.
Menjadi pertanyaan besar bagi saya, apa yang kemudian mendasari penolakan LPJ kami? Mengapa kawan-kawan memilih metode one man one vote untuk mengambil keputusan? Jika alasannya ialah karena tidak dituntaskannya PMH untuk angkatan 2016 tentu hal itu tidak berlandaskan. Sejak insiden pembubaran PMH I oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FH-UH, BEM dalam beberapa kesempatan berusaha melanjutkan PMH, baik itu di forum bersama DPM maupun di forum kongres. Bahkan BEM bersedia mengambil resiko apapun itu jika direstui bersama oleh Kema FH-UH. Namun pada akhirnya, kongres yang dihadiri oleh perwakilan DPM, UKM menyepakati untuk tidak diadakannya PMH di periode ini meskipun BEM masih berniat mengadakan PMH hingga penanda tanganan nota kesepahaman dilakukan.
Jika alasannya adalah koordinasi BEM dengan UKM yang kurang, tentu itu hal yang tidak tepat. Meskipun tegas dalam Konstitusi Kema bahwa UKM adalah badan pekerja BEM, namun BEM tetap menyampaikan dalam beberapa kali kesempatan agar menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan lembaga secara langsung kepada saya selaku presiden tanpa harus menunggu forum yang kaku. Toh pada saat rapat koordinasi sangat jarang ada UKM yang datang tepat waktu, tidak jarang pengurus BEM harus berkali-kali ke sekretariat UKM untuk memanggil perwakilannya. Seingat saya pun, rapat koordinasi tidak pernah dihadiri lengkap oleh UKM. Sangat disayangkan sikap peserta kongres yang mengambil keputusan dengan metode voting tertutup tanpa musyawarah sebelumnya. Jelas dalam tata tertib tentang pengambilan keputusan itu didahului dengan musyawarah untuk mufakat. Jika tidak terpenuhi barulah diambil langkah voting. Terlebih lagi peserta kongres yang hadir bahkan merupakan peserta yang tidak pernah hadir dalam LPJ BEM sebelumnya. Pembacaan LPJ dari setiap kementerian hingga sekretaris umum tidak pernah dihadiri lebih dari sepuluh peserta hingga selesai. Maka menjadi pertanyaan mengenai ke obyektivitas penilaian dari peserta yang baru hadir pada saat penetapan yang mencapai 40-an orang. Semoga saja tidak ada unsur politik di dalammnya.
Selama kepengurusan, BEM telah menunjukkan keberpihakan sejelas-jelasnya terhadap mahasiswa. Hal itu kami buktikan menyuarakan pemenuhan hak mahasiswa dari pihak dekanat dengan berbagai metode. Mulai dari diplomasi, propaganda media hingga aksi massa. Aksi massa yang sepakati dalam konsolidasi antar lembaga kemahasiswaan fakultas hukum kami adakan meski tanpa sokongan massa dari sebagian besar UKM. Bahkan aksi massa lebih banyak diikuti oleh mahasiswa yang tidak tergabung dalam UKM yang notabene tidak merasakan dampak langsung dari kebijakan dekanat. Meskipun BEM telah memperjelas sikapnya, hal ini ternyata tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar Kema, meskipun itu tuntutan dari Kema sendiri yang ditujukan kepada BEM.
Pada akhirnya, saya berharap agar tulisan ini kemudain menjadi perhatian presidium sidang agar segera membuka sidang kongres, karena pada sejatinya masih ada perdebatan yang belum selesai. Apapun yang menjadi hasil keputusan selanjutnya, saya sadari awal selalu menyatakan bahwa BEM akan menerima apapun keputusannya dengan catatan dapat menjadi bahan evaluasi bagi kepengurusan selanjutnya. Jika alasan penolakan saja tidak diketahui, bagaimana mungkin dapat dijadikan bahan evaluasi?
Salama’ki to pada salama
Salam mabbulo sipeppa, malilu sipakainge, mali siparappe, rebba sipatokkong.
Salam Kema FH-UH
Panjang Umur Perjuangan!!
Hidup Mahasiswa!!
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.