web analytics
header

Kronis Korupsi Melanda, Indonesia Butuh Solusi

Sumber: Kompasiana.com/google

Sumber: Kompasiana.com/google
Sumber: Kompasiana.com/google

Fitriani

(Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Periode 2017-2018)

“Corruption is like a ball of snow, once it’s set a rolling it must increase”

Korupsi seperti bola salju, sekali berguling maka ia akan semakin membesar – Charles Caleb Colton (1780-1832).

Korupsi bukanlah sebuah isu baru yang berkembang di tengah masyarakat, namun korupsi adalah permasalahan klasik yang hingga saat ini kerap diperbincangkan oleh media massa. Banyaknya berita korupsi yang diperbincangkan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa seiring berkembangnya zaman, korupsi semakin besar menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Berdasarkan dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa korupsi yang berkembang secara besar-besaran di Indonesia tentunya akan membawa dampak besar terhadap negara baik dari segi perekonomian, pembangunan infrastruktur, penegakan hukum maupun moral aparatur negara, sebab korupsi yang dilatarbelakangi kepentingan pribadi telah menggerus kesejahteraan masyarakat.

Perlu kita ketahui juga apa saja yang menjadi bentuk-bentuk perilaku korupsi sebab pengertian singkat tentang korupsi saja belum mampu menjawabnya. Adapun yang termasuk bentuk-bentuk perilaku korupsi yang dilansir dalam buku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni perbuatan yang merugikan negara, suap-menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, korupsi yang berhubungan dengan kecurangan, korupsi yang berhubungan dengan pengadaan dan korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menjelaskan bahwa tahun 2013 sebanyak 560 kasus dan tahun 2016 meningkat menjadi 626 kasus. Hal ini menunjukkan dari tahun ke tahun korupsi di  Indonesia semakin meningkat. Selain itu penegakan hukum di Indonesia terlalu lemah  dalam menangani kasus korupsi. Dilansir dari laporan ICW yang menunjukkan sejak bulan Januari-Juni 2016 yaitu dari 384 terdakwa tindak pidana korupsi rata-rata hukuman penjara yang diberikan hanya dua tahun satu bulan, bahkan  diantaranya mendapatkan vonis bebas. Penerapan hukuman penjara yang terlalu singkat tentunya dinilai tidak mampu memberikan efek jera bagi para koruptor.

Penerapan hukuman penjara juga kerap disalahgunakan oleh para aparatur negara, misalnya Artalyta yang merupakan narapidana yang tersandung kasus penyuapan Ketua Tim Jaksa Penyidik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Di dalam sel tahanannya, ia memiliki fasilitas lengkap bagai hotel mewah, terdapat Air Conditioner (AC), televisi, serta bisa membawa telepon genggam, bahkan bisa melakukan perawatan wajah oleh dokter kulit di dalam sel tahanan.

Selain itu kerugian yang dialami oleh negara juga tidak sebanding dengan jumlah denda dan uang pengganti yang diibayar oleh koruptor. ICW melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2016 kerugian negara akibat kasus korupsi pada periode tersebut mencapai 1,5 triliun rupiah sedangkan jumlah denda hanya 30 miliar rupiah dan jumlah uang pengganti sebesar 456 miliar rupiah.

Tak dipungkiri lagi, Indonesia mengalami kronis korupsi dan banyak hal yang menjadi faktor berkembangnya penyakit korupsi ini. Penegakan hukum yang setengah hati tidak dapat memberikan efek jera bagi koruptor, serta terorganisirnya tindak pidana korupsi membuat kejahatan ini sulit dideteksi. Apalagi korupsi juga telah  merambah ke para petinggi negara dan para penegak hukum. Fakta-fakta inilah yang melatarbelakangi terjadinya korupsi.

Banyak yang menyatakan bahwa korupsi juga terjadi karena belum terpenuhinya kesejahteraan para pelaku dalam melaksanakan kinerjanya. Jika kita meyakini bahwa korupsi terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan para pelakunya maka semua orang yang memiliki kesempatan untuk korupsi tentunya akan korupsi sebab semua orang pasti memiliki kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi.

Berbagai masalah tercipta karena korupsi seperti utang negara yang meningkat, kesenjangan ekonomi dalam masyarakat, aturan hukum yang tidak diterapkan, bahkan terhambatnya pembangunan. Korupsi sudah mengakar dan akar korupsi sudah terlalu panjang mengikat para pejabat negara. Namun memberantas korupsi bukanlah sebuah ilusi. Berbagai langkah pun harus dilakukan untuk memberantas korupsi baik melakukan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan penindakan (akuratif).

Tindakan pencegahan (preventif) diperlukan agar angka korupsi dapat ditekan. Solusi preventif dilaksanakan secara dini dengan memberikan pembekalan moral kepada para generasi penerus bangsa baik itu siswa maupun mahasiswa agar nantinya Indonesia dapat menghasilkan kader-kader yang berakhlak jujur dan jauh dari pelaku korupsi.

Tak hanya pembekalan moral yang diperlukan, namun pengetahuan dasar dalam bentuk sosialisasi tentang korupsi dapat diberikan. Materi seperti bentuk-bentuk perilaku korupsi bagi masyarakat, hukuman bagi koruptor, aturan yang mengatur tindak pidana korupsi serta tata cara melaporkan perilaku korupsi. Dengan memberikan materi-materi tersebut kepada masyarakat diharapkan agar masyarakat mampu turut andil dalam memberantas korupsi.

Tindakan penindakan (akuratif) dilakukan dengan memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi agar nantinya dapat memberikan efek jera dan dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat. Tindakan ini menjadi bentuk upaya dari pemerintah dalam memberantas korupsi. Salah satu bentuk upayanya yakni dengan membentuk KPK.

KPK sebagai badan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bebas dari kekuasaan manapun. KPK bukan satu-satunya badan yang melaksanakan tugas pemberantasan korupsi melainkan menjadi trigger mechanism yang berarti mendorong atau sebagai stimulan agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya lebih efektif dan efisien.

Selain itu KPK dinilai memiliki rekor yang baik sejak pembentukannya. Hasil rapor KPK sepanjang tahun 2016 menyatakan bahwa KPK telah menangani 97 kasus penyuapan. Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 17 kasus dan menyumbangkan sebanyak Rp. 497,6 miliar untuk kas negara sebagai hasil sitaan dan rampasan tindak pidana korupsi. Dengan rekor ini tentunya KPK diniliai mampu mengatasi korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus diberlakukan secara maksimal seperti dengan memberlakukan vonis maksimal kepada para koruptor. Vonis maksimal seharusnya diberikan oleh hakim bagi pelaku korupsi antara lain pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup sebaiknya diberlakukan. Hanya saja saat ini aturan tentang hukuman mati bagi koruptor di Indonesia belum pernah diterapkan.

Bayangkan saja jika di Indonesia dapat memberlakukan hukuman mati bagi para pejabat yang korupsi. Seperti yang dilakukan oleh Cina dimana presiden Xi Jinping telah berjanji akan membunuh para koruptor dan buktinya banyak pejabat negara yang memiliki kekuasaan tinggi divonis hukuman mati bahkan pelaksanaannya dilaksanakan di depan publik.

Menurut penulis, korupsi bukan hanya urusan pemerintah sebagai penyelenggara negara dan korupsi juga bukan hanya urusan para aparatur hukum sebagai pemberi hukuman bagi koruptor. Namun, korupsi adalah masalah negara yang melibatkan segala lapisan masyarakat sehingga pemberantasannya bukan hanya dari satu pihak melainkan butuh dukungan dari segala pihak.

Merdeka itu tentang kebebasan dari penjajah, bukan penjajah dari negara lain tapi penjajah dari negara kita sendiri yakni para koruptor yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.

Related posts: