Muh. Zuhud Al Khaer Zahir
(Mahasiswa Angkatan 2015 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”
– Pramoedya Ananta Toer
Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia merupakan zoon politicon, dimana secara fitrahnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan manusia laindalam menjalankan kehidupannya. Hal tersebut diperkuat oleh fakta historis, dimana manusia purba sebagai cikal bakal spesies manusia masa kini selalu menjalankan hidup secara berkelompok. Hal itu tidak lain untuk berburu makanan sekaligus untuk mempertahankan hidupnya.
Jean-Jaques Rousseau dalam teori kontrak sosialnya juga menegaskan bahwa adanya kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok. Manusia kemudian membuat kesepakatan umtuk hidup bersama dengan cara menyerahkan kedaulatannya pada komunitas. Keinginan untuk berserikat dilatar belakangi oleh banyak faktor, antara lain karena persamaan ideologi, persamaan nasib, maupun persamaan cita-cita. Manusia hidup bersama untuk memudahkan ia mencapai tujuannya. Karena berserikat merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Sudah seharusnya hal tersebut dihormati dalam lingkup negara, hal tersebut merupakan hal yang wajib dilindungi, termasuk di negara Indonesia.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pada mulanya, prinsip kebebasan atau kemerdekaan berserikat ditentukan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (pra reformasi) yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 ini sama sekali belum memberikan jaminan konstitusional secara tegas dan langsung, melainkan hanya menyatakan akan ditetapkan dengan undang-undang. Namun, setelah reformasi, melalui perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, jaminan konstitusional yang dimaksud telah dengan tegas ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang. Disini berarti bahwa, termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi telah membenarkan adanya hak untuk berserikat dan hak tersebut merupakan hak konstitusional yang wajib dilindumgi oleh negara.
Mengutip pendapat dari Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa, setiap orang diberi hak untuk bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah negara Republik Indonesia. Untuk itu, kita tidak lagi memerlukan pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena itu, dipandang perlu untuk menyusun satu undang-undang baru, terutama untuk menggantikan undang-undang lama yang disusun berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sebagai hak konstutisional warga negara, kebebasan berserikat atau berorganisasi yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 mengenai mekanisme pembentukan, pelaksanaan kerja-kerja organisasi, dan pembubaran organisasi telah diatur sedemikian rupa dengan semangat kemandirian yang bertanggung jawab. Organisasi masyarakat (Ormas) yang didirikan wajib berasaskan pancasila dan UUD NRI 1945, bagi Ormas yang dianggap melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 60 dan diperjelas mengenai jenis sanksi pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.
Sanksi tersebut dijatuhkan apabila telah melewati proses persidangan. Proses penjatuhan sanksi sampai pembubaran sebuah Ormas dalam tulisan Dr. Romi Librayanto, SH., MH yang dimuat dalam media Eksepsi Online tertanggal 16 Juni 2017 lalu menyatakan bahwa, apabila Ormas melanggar ketentuan mengenai kewajiban dan larangan yang terdapat pada Pasal 21 dan Pasal 59 UU tentang Ormas dan pemerintah ingin menindak tegas, maka tahapan yang harus dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya adalah sebagai berikut:
- Pemerintah atau pemerintah daerah harus melakukan upaya persuasif. Apabila Ormas tetap melanggar, maka
- Pemerintah atau pemerintah daerah harus memberikan peringatan tertulis. Apabila Ormas tetap melanggar, maka
- Pemerintah atau pemerintah daerah harus menghentikan bantuan dan/atau hibah. Apabila Ormas tetap melanggar, maka pemerintah atau pemerintah daerah harus menghentikan sementara kegiatan Ormas yang bersangkutan. Apabila Ormas tetap melanggar, maka
- Permohonan pembubaran Ormas diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
- Setelah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai dikabulkannya permohonan pembubaran Ormas, maka sanksi pencabutan status badan hukum dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pasca dinamika isu penistaan agama serta perbuatan presekusi oleh kelompok tertentu serta maraknya Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu merupakan produk hukum setara dengan Undang-undang yang dibentuk oleh pemerintah dengan syarat atau ukuran tertentu. Berdasar pada putusan Mahkamah Konsitusi, syarat atau ukuran tertentu tersebut yaitu :
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang menggunakan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Dengan di keluarkannya Perppu ini menyebabkan dampak luas, karena ada beberapa substansi dari UU sebelumnya yang diubah bahkan dihapus.
Perbedaan paling mendasar antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yaitu pencabutan status badan hukum ditegaskan Perppu Ormas bersifat langsung. Pencabutan status badan hukum yang sama dengan pembubaran ormas ini dapat dilaksanakan Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan HAM terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya dengan nyata mengancam kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, dalam perubahannya ada bebarapa pasal yang diubah antara lain:
Pasal 61 Perppu Ormas
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
- Peringatan tertulis;
- Penghentian kegiatan; dan/atau
- Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 61 UU Ormas
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
- peringatan tertulis;
- penghentian bantuan dan/atau hibah;
- penghentian sementara kegiatan; dan/atau
- pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 62 Perppu Ormas
- Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 62 UU Ormas
- Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a terdiri atas:
- Peringatan tertulis kesatu;
- Peringatan tertulis kedua; dan
- Peringatan tertulis ketiga.
- Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
- Dalam hal Ormas telah mematuhi peringatan tertulis sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut peringatan tertulis dimaksud.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kesatu dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kedua dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis ketiga.
Ketentuan mengenai proses persidangan juga dihapuskan. Perubahan pasal serta penghapusan ketentuan persidangan telah merusak sendi-sendi keadilan karena sebagai negara hukum kita tidak lagi menyandarkan praduga tidak bersalah sebagai asas dalam menjustifikasi sebuah Ormas melainkan hanya pandangan subjektif dari pemerintah. Pemerintah yang berlindung dibalik asas contrario actus tidak bisa dibenarkan serta merta mengingat hak yang diatur adalah hak dasar warga negara yang proses untuk membatasinya dalam hal ini pembubaran organisasi kemasyarakatan haruslah didasari oleh fakta hukum melalui putusan pengadilan. Ingat negara Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Sebagai kesimpulan, penulis memandang perlu untuk mengingatkan kepada pemerintah agar meninjau kembali Perppu terkait Ormas yang telah ditetapkan tersebut. Mengingat bahwa hak berorganisasi merupakan hak dasar bagi setiap orang. Implikasi dari pemberlakuan Perppu tersebut selain tidak tepat dari segi syarat subjektifitas Presiden dalam menegeluarkan Perpu, karena Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 telah mengatur secara baik mengenai Ormas. Potensi praktik otoriter dari pemerintah sangat dimungkinkan karena pemerintah dapat menilai hanya secara sepihak.
Semangat demokrasi akan mundur dengan adanya tekanan yang hebat dari pemerintah dalam hal ini pemberian sanksi yang berat bagi siapapun yang dianggap melanggar ketentuan Perppu ini. Yang dimana sekali lagi hal tersebut hanya dinilai sepihak oleh pemerintah. Sebaiknya pemerintah tidak tergesah-gesah dalam merespon isu dan peristiwa yang terjadi sehingga tidak perlu ada regulasi yang sifatnya represif dan merugikan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk berorganisasi.