web analytics
header

Full Day School, Masih Perlukah Didempul?

sumber:Google

sumber:Google
sumber:Google

Oleh : Royan Juliazka

(Pengurus LPMH-UH Periode 2017-2018)

Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, maka pendidikan harus mampu mewadahi dan memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Ketika salah satunya diabaikan maka akan terjadi ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menghasilkan manusia yang tidak seutuhnya. Nah, dalam proses memperoleh pendidikan tersebut manusia dihadapkan dengan banyak persepsi yang beragam serta dengan metode yang beragam pula.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah telah jelas memaparkan peraturan baru tentang pelaksanaan pendidikan formal tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia. Menurut penulis, peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk dari persepsi tentang makna pendidikan. Di mana persepsi itu juga melahirkan metode dalam pelaksanaanya. Metodenya yaitu dengan menambah durasi jam belajar bagi para siswa.

Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 pada Pasal 52 ayat (3) durasi jam belajar yaitu enam jam sehari. PP tersebut mengalami perubahan melalui PP No. 19 Tahun 2017 Guru. Sekarang ini, ketentuan terkait perubahan durasi jam belajar sudah jelas diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 2017 Pasal 2 ayat (1) yang merupakan tindak lanjut dari PP No. 19 Tahun 2017.

Pada Permendikbud RI tersebut jelas dikatakan bahwa, “Hari Sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu.”

Dengan kenyaaatan tersebut, menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah dengan menambah kuantitas durasi jam belajar dapat membentuk karakter siswa seperti yang diharapkan? Apakah dengan menambah kuantitas durasi jam belajar dapat pula meningkatkan wawasan pengetahuan umum para siswa?

Pada Harian Kompas 8 Juli 2016 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Muhadjir Effendi berpendapat bahwa kebijakan full day school sangat banyak memberi manfaat. Diantaranya yaitu, memungkinkan menambah jam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang merupakan sarana dalam pengembangan karakter bagi para siswa.

Lebih dari itu, full day school juga dianggap dapat menambah ikatan emosional antara orang tua dan anaknya. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya full day school, jam pulang anak sekolah hampir sama dengan jam pulang orang tua dari kantornya. Hal ini bertujuan untuk dapat menekan kemungkinan anak pergi “keluyuran” sehingga jarang berada di rumah bersama orang tua. Dengan mengatur waktu anak dengan baik dianggap juga dapat menekan resiko berbahayakan keselematan anak.

Selain itu juga, dengan adanya full day school yang dimana hari sekolah hanya lima hari, memungkinkan para siswa untuk menikmati akhir pekan yang lebih lama bersama keluarga. Terakhir menurut Effendi, dengan bertambahnya durasi jam belajar ini pun diharapkan para guru dapat mengajar dengan lebih giat untuk mempermudah mendapatkan sertifikasi.

Menanggapi pertimbangan Mendikbud di atas, penulis beranggapan bahwa pembentukan karakter merupakan proses yang memakan waktu begitu lama serta membutuhkan konsistensi di dalamnya. Niat yang baik serta lingkungan yang mendukung juga merupakan hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan karakter seseorang.

Penulis sepakat dengan adanya penambahan durasi jam belajar bagi para siswa, tetapi apakah pemerintah sudah siap untuk menjalankan ketentuan full day school tersebut? Apakah pemerintah telah dapat memastikan bahwa lingkungan yang akan dijadikan wahana pendidikan tersebut sudah mendukung?

Dengan meninjau kembali pertimbangan Mendikbud RI di atas penulis masih menemukan banyak kejanggalan serta alasan yang terlalu belia. Pertama, mengenai kegiatan ekstrakurikuler. Mendikbud menyatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sebagai salah satu sarana untuk pembentukan karakter bagi para siswa. Menurut penulis hal tersebut belum menemukan titik terang, dikarenakan tidak semua sekolah ditunjang oleh fasilitas ekstrakurikuler yang seperti “dikhayalkan” oleh Mendikbud. Apalah daya, pembangunan di daerah pelosok Indonesia  masih saja dikaburkan oleh kasus-kasus korupsi di negeri ini. Saya harap presiden memberi makanan yang cukup dan halal kepada seluruh anggota pemerintahan agar tidak datang ke desa-desa menjarah makanan rakyat yang notabene untuk makan saja susah.

Kedua, yaitu agar orang tua dan anak bertambah ikatan emosionalnya. Hal ini karena jam pulang sekolah anak hampir sama dengan orang tua, sehingga dapat bersamaan pulang ke rumah. Saya katakan sekali lagi merupakan khayalan tingkat tinggi dari para pejabat pemerintah pendukung kebijakan ini.

Mungkin Mendikbud terlalu lama tinggal di kota, sehingga sudah lupa kalau anak-anak desa di Indonesia orang tuanya sebagian besar bekerja di sawah ataupun di laut sebagai nelayan. Atau mungkin pemerintah sudah mendefinisikan kalau sawah dan laut juga termasuk kantor, wallahu a’lam.

Kalaupun ingin membentuk ikatan emosional, banyak cara yang bisa ditempuh bukan dengan cara yang “klise” di atas, seperti menugaskan para siswa untuk menerapkan pelajaran yang didapat di sekolah dalam kehidupan keluarganya sehingga terjalinlah transfer ilmu plus komunikasi antara anak dan orang tua di dalam keluarga bukan dengan hanya memberi pekerjaan rumah tanpa menjelaskan bagaimana pengaplikasiannya dalam kehidupan keluarga, apalagi jika pelajaran yang diajarkan terkait dengan kehidupan keluarga si anak seperti pelajaran pertanian, tambak, dll.

Malah dengan menambah jam pelajaran tersebut, bagi anak-anak yang orangtuanya bekerja sebagai petani atau pekebun akan mengurangi waktunya atau bahkan menyita waktu yang seharusnya dihabiskan bersama orang tuanya di kebun atau di sawah saat waktu sore.

Dan pertimbangan dari menteri pendidikan yang saya anggap paling memalukan ialah dengan bertambahnya jam pelajaran di sekolah maka para guru dapat menjadikan hal tersebut sebagai sarana bagi dirinya untuk mempercepat tercetaknya sertifikasi.

Makna guru kini telah bergeser, yang dulunya merupakan sesosok yang memberi teladan serta membimbing muridnya dengan penuh keikhlasan kini menjadi sesosok yang hanya melihat murid sebagai sarana memenuhi kendi-kendi hartanya, memberi teladan tidak lagi menjadi prioritas, yang penting memberi diktean pelajaran yang dia sendiri belum tentu mengerti karna yang ada dipikirannya hanyalah segera tercapainya sertifikasi bagi dirinya.

Pendidikan macam inikah yang diharapkan pemerintah beserta jajarannya? Permasalahan yang pokok disini adalah konsekuensi dari pendidikan adalah terjadinya proses turun-temurun suatu budaya yang dibentuk dari sistem pendidikan tersebut. Tanpa cinta dan pengorbanan pelaksanaan pendidikan tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Karena pendidikan merupakan pekerjaan yang menyentuh dua ranah dimensi kemanusiaan, dan harus mampu membimbing kedua ranah tersebut.  Maka dari itu para pendidik harus merupakan pula kader-kader yang berasal dari proses pendidikan yang berhasil.

Di sinilah tugas berat pemerintah dalam memilih dan menyeleksi dengan ketat para tenaga pendidik yang mumpuni, bukan dari hasil seleksi nista yang dipermainkan oleh para calo yang tak bertanggung jawab.

Pemerintah juga harus mampu berkoordinasi dengan para pendidik dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan kebijakan yang baru ini, agar para tenaga pendidik lebih kreatif lagi dalam menciptakan suasana pembelajaran yang mendukung perkembangan kepribadian anak-anak didik tersebut. Memang berat, tapi ini semua menurut saya adalah konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang penuh kontroversi ini.

Related posts: