Muhammad Farodi Alkalingga
(Koordinator Divisi Jaringan Kerja LPMH-UH Periode 2017-2018)
Beberapa hari lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah mengeluarkan suatu aturan melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Aturan tersebut berisikan intruksi yang mengharuskan bagi para pengguna kartu SIM prabayar melakukan registrasi ulang melalui operator atau gerai masing-masing.
Tujuan Kemkominfo mengeluarkan aturan yang sifatnya universal atau menyeluruh itu tidak lainu ntuk proses pendataan yang lebih detail, mencegah terorisme, serta agar terciptanya keteraturan data dari pengguna kartu SIM prabayar, begitulah hemat penulis. Tetapi, melihat kondisi saat ini kebanyakan pengguna kartu SIM prabayar mengabaikan proses pencatatan registrasi di awal penggunaan kartu SIM prabayar, dan jikalau melakukan registrasi para pengguna biasanya hanya memasukkan biodata yang asal-asalan. Meskipun diakhir proses registrasi nanti terdapat pernyataan kebenaran atas biodata namun hal tersebut sering tidak dihiraukan.
Menurut penulis, hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah dasar dari sebab Kemkominfo berinisiasi untuk mengeluarkan suatu aturan tersebut. Apabila aturan tersebut tidak dilakukan, maka akibatnya kartu SIM tertentu akan diblokir dan tidak dapat digunakan untuk keperluan komunikasi. Hal ini membuat masyarakat sesegera mungkin untuk melakukan registrasi agar mereka tetap dapat menggunakan chipset kecil dan sangat bermanfaat bagi mereka. Ditambah lagi apabila kartu SIM prabayar tersebut telah sangat lama digunakan, maka pengguna akan dengan sigap melakukan registrasi tanpa pikir panjang dampak yang ditimbulkan.
Dilihat dari rasionalitas pola pikir manusia pada umumnya, hal ini sangat besar dampak positifnya untuk komunikasi nasional bahkan memudahkan lembaga catatan sipil untuk mendata penduduk dengan waktu yang singkat. Namun, sebagai warga masyarakat yang kritis dan sangat cinta dengan bangsanya, hemat penulis, hal ini hanya sebagai alat politik bagi para pemain politik yang sedang berpolitik dengan cara yang cerdik. Tentulah dalam proses dikeluarkannya aturan ini, peran politik sangat dominan bermain didalamnya bahkan hampir setiap aturan ini tidak lepas dari yang namanya politik. Disitulah kita sebagai masyarakat yang kritis harus mempertanyakan seperti latar belakang dari keluarnya aturan tersebut, serta sejauh mana unsur politik turut ikut campur didalamnya?
Jika dilihat dari waktu dikeluarkannya aturan ini, jarak waktu yang bisa diperkirakan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang serentak dilakukan di Indonesia. Hal tersebut dapat untuk mempermudah melakukan black campaign atau kampanye gelap guna menambah pundi-pundi suara sebelum bertarung di hari- H, Pemilukada. Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa baru sekarang disaat mendekati waktu Pemilukada, pemerintah baru mengeluarkan aturan ini?
“Mudah-mudahan hanya kebetulan”
Sekarang kita lihat bagaimana masyarat dan ketentuan untuk melakukan registrasi. Dengan cara, pelanggan harus memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) agar dapat melanjutkan proses validasi kartu SIM prabayar.Sedangkan, kedua data yang dimasukan ini merupakan privasi kita sebagai masyarakat. Dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) selain ditemukan NIK, diterangkan pula alamat, tempat/tanggal lahir, dan lain-lain.
Perlu diingat, salah satu syarat untuk menjadi daftar pemilih tetap ialah dengan memiliki KTP. Maka, dapat dikatakan dengan melakukan registrasi kartu prabayar, pengguna secara tidak langsung menyerahkan hak privasinya kepada negara meskipun kita ketahui bersama, kadar hak kita akan berkurang demi untuk memenuhi kepentingan negara. Tetapi, keharusan untuk patuh pada aturan negara itupun tidak bisa dijadikan alat untuk melakukan politik praktis.
Coba dibayangkan, terkait dengan nomor telepon dari setiap pengguna telepon seluler yang ada. Jika suatu saat ketika para pemain politik sedang melancarkan manuver politiknya, masyarakat bisa saja dihubungi melalui nomor telepon yang secara tersistem telah mereka dapatkan dari dampak aturan tersebut. Mengingat nomor telepon didalam telepon seluler sebagai salah satu media untuk berkoneksi langsung kepada orang yang memilikinya. Hal semacam itu sangat rawan dipermainkan dalam hal berpolitik praktis. Mungkin inilah sebab dari dikeluarkannya aturan itu.
“Sekali lagi, kita berharap ini bukanlah suatu hal yang disengaja. Melainkan hanya berupa suatu kebetulan”
Dalam aturan tersebut juga tidak dituliskan secara tegas terkait pola pengawasan data privasi pengguna pasca melakukan registrasi serta pola pengelolaan data tersebut oleh pemerintah. Aturan tersebut hanya menyatakan bahwa hanya instansi pemerintah tertentu saja yang bisa mengakses data tersebut, serta tidak ada pengawasan secara legalitas untuk menjamin amannya data yang sangat sensitif seperti itu. Bahkan, nomenklatur bahwa hanya lembaga pemerintah negara saja yang dapat mengaksesnya menjadikan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Hal tersebut makin dapat terjadinya “permainan” oleh pihak politik di Indonesia kita tercinta.
Hemat penulis, semoga kondisi ini tidak memperkeruh sistem demokrasi di negara tercinta kita ini. Semoga dijauhkan dari apa yang namanya politik praktis, serta penulis menyarankan terkait perlunya aturan yang mengatur mengenai pola pengawasan/jaminan keamanan dari data para pengguna telpon seluler dari para aktor politik. Mungkin dapat dengan memberikan legalitas tersendiri dalam aturan tersebut terkait pola pengawasan/jaminan kemanan dari data yang dimasukkan.
Jikalau pemerintah berhasil melakukan itu dan menjamin adanya pengawasan barulah bisa dikatakan Indonesia adalah negara hukum yang mengamini asas legalitas dan kepastian hukum serta menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).