Hanifah Ahsan
(Anggota Magang LPMH-UH Periode 2017-2018)
Matahari sudah begitu menampakkan sinarnya, mungkin ia sudah menyuruhku untuk meninggalkan tempat ternyamanku ini. Kuakui kamar adalah tempat kesukaanku dari sekian banyak tempat yang sering kudatangi bersama teman-temanku. Andai saja aku tak mendengar teriakan seorang lelaki yang kukenal mungkin aku tak akan rela meninggalkan kasur kesayanganku ini, terlebih ini adalah hari liburku, hal ini sungguh membuatku terpaksa mandi lebih awal dibanding dugaanku semalam.
“Ada apa sih, Ril? Ini masih Pagi tahu. Ribut aja terus di rumah orang.”
Tanyaku menyapa lelaki yang menjadi penyebab bangunku yang ternyata sudah lebih dulu menemui ibuku.
“Pagi katamu? Tuh lihat jam berapa sekarang!”
Katanya kembali sembari menunjuk jam yang ada di ujung ruangan tamu, kubalas dengan muka tanpa bersalah, tetap saja kusebut pagi hal ini.
“Sudah, lebih baik kalian berdua makan dan pergi sekarang, biar pulangnya tidak kemalaman.”
Nasehat ibu mengingatkan diikuti dengan gerakan memberikan piriing kepada kedua pemuda itu dibalas dengan gerakan menerima.
Tak ada percakapan yang terjadi saat kami makan, hal itu memang diajari oleh keluargaku, menghormati makanan katanya. Dan beruntungnya, temanku yang satu ini bisa menyesuaikan diri dengan baik. Kami pun memutuskan pamit dengan wanita nomor satu dirumahku, yang kupanggil dia dengan sebutan Ibu.
“Hati-hati yah, jangan ngebut, jangan pulang kemalaman juga. Dan yang utama, jangan mabuk apalagi narkoba.”
Pesan ibu kepadaku dan temanku yang sebenarnya hampir setiap saat kudengar dari bibir manisnya, mungkin bisa dikatakan kami sudah hafal mati dengan ucapan Ibu, dan jawabannya selalu sama.
“Siap Bu,” Kubalas sembari membunyikan klakson tanda pergi.
“Jadi kita kemana?” Tanyaku dengan tetap memperhatikan arah jalanan.
“Ke rumah Aldi kan?” Jawab temanku sembari memperbaiki kaca tengah mobil yang kami kendarai.
“Yakin kamu yang bawa?” Lanjutnya kembali, kubalas dengan anggukan tanpa melihatnya sedikitpun.
Dia Aril, seorang lelaki yang sudah bersamaku dari awal aku kuliah jurusan yang sama dengannya hingga akhirnya kami berdua sama-sama mendapat gelar sarjana. Terlalu banyak menghabiskan waktu bersama menimbulkan banyak perkiraan kami ini menjalin hubungan, tak sedikit pula yang mengira kami hanya adik dan kakak, meskipun semuanya tidak ada yang benar, Aril tak sedikitpun berkutik akibat dugaan-dugaan tersebut.
“Eno!!!” Teriak salah satu temanku yang lain, lebih tepatnya teman dari Aril. Seorang lelaki yang rumahnya kami datangi sekarang,
“Retno Wijaya, bukan Eno apalagi Jaya,” Tegasku yang dibalas oleh tertawaan kecil dari bibirnya.
“Hush, sudah. Kamu juga Aldi, Sudah berapa lama kita berteman masih saja kau sebut Retno dengan Eno.”
Aril mencoba menenangkan keadaan, mungkin ia melihat wajahku yang mulai tak nyaman.
“Karena itu, Ril. Aku rasa panggilan yang cocok untuk dia itu Eno, bukan Retno,“ bela Aldi.
“Cocok katamu?” Aku berdiri mendekat pada Aldi, mencoba mengambil tatapannya agar melihatku, saat itu kupastikan tatapan Aril berubah padaku.
“Iya cocok, kamu setuju kan Ril denganku?” Aril diam membatu, tak ada sedikitpun respon darinya.
“Bisa kamu jelaskan kenapa kau sebut namaku dengan Eno? Jelas-jelas kau tahu Eno itu panggilan yang cocok bagi seorang lelaki.”
Penekanan kuberikan padanya tanpa melepaskan sedikitpun pandanganku ke Aldi, untuk kali ini kuabaikan Aril yang mencoba menenangkanku.
“Kubalikkan pertanyaanku, pantaskah kau disebut perempuan dengan gaya seperti ini?” Jawabnya santai dengan memberi isyarat tangan mengomentari tampilanku.
Aku terdiam, kurasakan panasnya darah yang kusebut itu dengan amarah.
“Kamu terlalu kuat jika kau sebut dirimu perempuan. Bahkan kutahu sekarang ini kau sudah bersiap memukul atau bahkan menghabisi nyawaku. Begitukah seorang perempuan?”
Satu kalimat yang keluar membuatku menunggu apa yang akan ia katakan. Aril, dia mencoba menahanku.
“Bermain dengan para lelaki, bahkan untuk menyentuh gaun pun engkau enggan, kenapa baru sekarang kau sebut dirimu perempuan?”
“Aldi! Kamu sudah kelewatan.” Teriak Aril, namun kurasa emosi Aldi juga sudah memuncak.
“Perempuan itu hanya makhluk lemah yang selalu memikirkan rasa bukan logika, dan kau? Kau terlalu kuat untuk menyebut dirimu perempuan. Perempuan mana yang merasa dirinya hebat bisa menyuruh teman lelaki dikampusnya? Yang memukul lelaki semaunya? Bahkan yang mengganggap lelaki itu pembantunya. Kau sebut perempuan kah dirimu, Retno Wijaya?”
Kurasakan emosi Aldi memuncak pada kata-kata terakhir yang ia ucapkan, begitupun denganku, untuk pertama kalinya aku menangis karena perkataan seorang lelaki yang sudah lama bersamaku.
“Menangis? Apa kata-kataku menyakiti hatimu? Tapi itulah kenyataannya. Kau tak pantas sebut dirimu perempuan, karena selama ini aku mengganggapmu seorang lelaki. Lelaki yang menyuruhku kesana-kemari, memukulku di depan setiap wanita yang kudekati, bahkan mempermalukanku di depan perempuan-perempuan yang bersamaku. Bahkan aku sudah percaya bahwa kau tak mungkin memiliki rasa pada lelaki, jadi jika kau memang ingin merubah dirimu menjadi lelaki sesungguhnya. Mari kutemani kau.”
Tutupnya langsung dibalas pukulan yang sangat keras dari Aril. Dan aku? Sekarang tubuhku yang kurasa membatu, bahkan untuk bernafas terlalu sesak.
Aril menarikku keluar meninggalkan rumah Aldi. Aku masih terlalu lemah untuk menolaknya, sehingga kemanapun dia, aku hanya ikut. Tubuhku masih membeku sampai ia membawa ke salah satu tempat favorit kami karena disitu aku bisa melihat hal kesukaanku, senja.
“Aku minta maaf…” Nada Aril melemah, mencoba mendinginkan keadaan.
“Tak usah minta maaf, Aldi benar. Aku saja yang berlebihan dengannya.” Aril tetap terdiam.
“Aku memukul dan mempermalukannya karena ia berani menyentuh perempuan yang bahkan ia tak berikan kepastian akan hubungan mereka.” Aku perlahan bercerita, kurasakan Aril menatapku dari samping.
“Semua wanita yang mendekati Aldi, entah darimana ia mendapatkan kontak ponselku. Sampai akhirnya semua meneror dan bertanya tentang Aldi kepadaku.” Kurasakan Aril terkejut atas ceritaku.
“Kenapa kau tak pernah bercerita kepadaku?” Tanyanya langsung memotong cerita.
“Karena menurutku, ini adalah privasi dari Aldi, aku tak selayaknya tahu, begitupun kamu.” Aril kembali mendengar.
“Ternyata, perlahan semua wanita itu menjadikanku teman cerita mereka, terang-terangan ia bercerita mengenai bagaimana perlakukan Aldi pada mereka.” Lanjutku
“Aku memang seperti ini, aku sadari diriku tak menunjukkan bagaimana perempuan itu, tapi aku tak mau, kaum perempuan dinilai lemah.
Aku tak mau semua perempuan merasa dirinya hanya seseorang hewan tanpa berfikir, karena selalu menggunakan perasaan. Jelmaan pemahaman Animal Rationale di mana seorang laki-lakilah manusia yang berfikir, sedangkan perempuan adalah manusia dengan segala perasaannya.
Aku tak suka jika semua perempuan diperlakukan dengan tindakan kekerasaan dengan alasan kami adalah makhluk yang lemah.
“Apakah aku salah tetap mengganggap diriku perempuan meski dalam mempertahankan hidupku, aku menunjukkan sifat seorang lelaki?”
Pandanganku tertuju pada Aldi, dibalas sedikit senyuman, “Tidak sama sekali,” Jawabnya menyadari aku kembali meneteskan air mata.
“Mengenai aku selalu menyuruhnya, karena menurutku hanya kau dan dia harapanku, ketika semua menganggapku seorang perempuan nakal, hanya kau dan dia yang mau berteman denganku, sehingga pekerjaan yang aku rasa melebihi kodratku sebagai perempuan, aku serahkan sepenuhnya kepadamu atau dia, namun ternyata aku salah melakukan hal itu, harusnya kulakukan saja semua hal dengan kemampuanku.”
Aku kembali merenung, menatap langit yang perlahan menunjukkan tanda senja akan hadir di tengah perbincanganku dengan Aril.
“Sekali lagi aku minta maaf, maafkan pula Aldi.” Aril kembali menenangkan diriku, kucoba raih wajahnya di tengah sinar senja yang perlahan muncul.
“Aku bahkan tak pernah melihat kalian berdua salah.”
“Lalu, bagaimana dengan pandangan Aril mengenai orang yang kau suka?” Pertanyaan Aril membuatku sedikit terkejut.
“Apa kamu memang tak…,” Lanjutnya ragu.
“Aku masih normal Ril,” Potongku langsung menjelaskannya.
Aril menghela nafas, aku tahu itu sedikit membebaninya jika ternyata teman yang selama ini dengannya ternyata… ah, sudahlah.
“Lalu kenapa kamu tak pernah cerita? Siapa yang tahu, mungkin saja aku atau Aldi bisa membantumu bersama dengan orang itu.”
Aku terdiam.
“Karena, aku sadar akan diriku, tak akan ada yang mau dengan wanita sepertiku mungkin saja yang aku suka adalah salah satu yang membenciku akibat tingkah laku yang kubuat,” Jawabku sembari menikmati angin yang mulai membawa sinar senja datang
“Kau tak tahu tentang perasaan orang kepadamu, jika kau tak memberitahunya. Bagaimana jika ia juga menyukaimu? Atau ternyata dia memang seseorang yang mengagumimu?” Aril mulai semangat kembali.
Kubalas dengan senyuman, senja mulai menunjukkan kehangatannya.
“Mungkin saat ini dia membenciku.” Jawabku singkat, lalu kami berdua membiarkan sinar senja sore itu menenggelamkan ingatanku dan Ari.
Entah apa yang dipikirkan Aril, tetapi aku, aku yang sedang mengingat sang pujaan yang kumaksud. Ingatan seorang lelaki yang berani membuatku menangis di depannya, bukan hanya karena perkataannya, tapi melihat dia kesakitan tertampar oleh sahabat lainku. Maafkan aku, Aldi. Karena sudah menyukaimu.