Sumber : kabarsumbar.com
Oleh : Muh. Yusril Sirman
(Pengurus LPMH-UH Periode 2018-2019)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 jatuh pada hari Rabu, 27 Juni. Pada perhelatan pesta demokrasi rakyat ini banyak masyarakat yang sudah tidak sabar untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) demi menggunakan hak pilih mereka. Bagaimana tidak, Pilkada serentak kali ini akan menjadi yang ketiga kalinya setelah dua Pilkada serentak sebelumnya, pada 2015 dan 2017.
Dilansir dari kompas.com edisi (23/6/18), sebanyak 171 daerah akan menggelar Pilkada, dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Adapun pasangan yang akan bertarung pada Pilkada kali ini mencapai 520 pasangan. Sebanyak 55 pasangan pada Pilkada provinsi, 344 pasangan pada Pilkada bupati, dan 121 pasangan pada Pilkada walikota.
Dengan begitu banyaknya pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada kali ini, baik dalam tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, tetapi nyatanya masih ada saja masyarakat yang cenderung ragu-ragu dan bahkan masih belum dapat menentukan sikap untuk menentukan pilihan pasangan calon mereka.
Hal tersebut bukan tidak beralasan tentunya, banyak faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat ragu menggunakan hak pilih mereka. Faktor rasa kekecewaan terhadap pemerintah dan anggapan bahwa para pasangan calon yang tidak memenuhi kriteria si pemilih, menjadi faktor yang paling sering terdengar disamping berbagai faktor lainnya. Namun perlu diingat kiranya, seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada sebenarnya secara tidak langsung telah menggugurkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam buku pengantar tata hukum Indonesia menyatakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyat pula yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Dengan demikian, setiap aspirasi suara rakyat sangatlah berpengaruh terhadap masa depan suatu negara atau suatu daerah, dalam upaya mencapai tujuan bersama demi kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut.
Meskipun banyak anggapan yang menyatakan bahwa, untuk apa memilih kalau toh masih tetap tidak ada kemajuan. Anggapan tersebut menurut saya tidak begitu kuat untuk dijadikan sebagai landasan argumentasi sebab, mustahil seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih tidak ada niatan untuk membawa perubahan pada daerah tersebut. Perubahan pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan dan senantiasa terjadi. Meskipun tidak dalam waktu yang singkat dan hasil yang serta-merta memuskan, semua membutuhkan proses dan peran serta masyarakat dalam upaya untuk mencapainya. Cara yang paling sederhana yakni, datanglah ke TPS gunakan hak pilih kita disana.
Pentingnya Keberadaan Seorang Pemimpin
Sebelum saya memaparkan tentang pentingnya memilih dan mempunyai seorang pemimpin, saya akan coba menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari pemimpin. Pemimpin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang memimpin atau penunjuk. Dalam bahasa arab, kata pemimpin bisa diwakili dengan kata ar-Rais yang akar katanya ra-a-sa, artinya: mengepalai, mengetuai atau memimpin.
Berdasarkan definisi diatas bisa kita simpulkan bahwa proses pemilihan pemimpin merupakan sesuatu yang amat penting, karena pemimpin adalah mereka yang menjadi pedoman atau pemberi petunjuk dalam suatu kelompok atau organisasi diberbagai tingkatan. Baik itu dalam organisasi sosial terkecil seperti keluarga, maupun sebuah organisasi besar seperti kabupaten/kota, provinsi, dan bahkan suatu negara.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Surah An-Nisa : 59, Allah berfirman, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”.
Berdasarkan ayat tersebut, sudah jelas bahwa pemegang kekuasaan atau pemimpin merupakan seseorang yang harus kita ikuti sebagai pedoman setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, tanpa adanya pemimpin maka struktur dan aturan main suatu organisasi sulit dirumuskan dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan dari organisasi tersebut tidak akan bisa tercapai. Maka, organisasi skala kecil maupun skala besar seperti kabupaten/kota, provinsi ataupun negara haruslah mempunyai seorang pemimpin agar dapat menentukan jalannya suatu organisasi dalam upaya untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan Pilkada serentak 2018 ini dan untuk memberi jawaban kepada sebagian masyarakat tentang bagaimana konsep seorang pemimpin ideal, saya akan mencoba memberikan sebuah sudut pandang yang mungkin dapat dijadikan tolak ukur dalam memilih seorang pemimpin.
Konsep Pemimpin Ideal
Manusia adalah makhluk sosial yang menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan menjadi pemimpin bagi orang lain. Menjadi pemimpin berarti menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab lebih dalam hidup. Oleh sebab itu, memilih seorang kepala daerah tidak boleh sembarangan, karena dengan memilihnya berarti kita telah mempercayainya untuk mengatur dan mengakomodir sebagian hak dan kepentingan kita kepadanya. Baik itu kepentingan individu, maupun kepentingan bersama demi tercapainya keteraturan dan kesejahteraan sosial.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU NO. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, telah ditetapkan beberapa persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah. Lihatlah dan bacalah dengan seksama UU tersebut sebelum melakukan pemilihan. Dalam tulisan ini saya tidak mencantumkan seluruhnya. Pertanyaan yang muncul dengan ditetapkannya persyaratan tersebut kemudian yakni, kenapa masih ada saja kepala daerah yang terkait dalam kasus pelanggaran hukum, seperti tindak pidana korupsi dan lain sebagainya?
Dikutip dari JawaPos.com (11/12/17), Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa, pada kurun waktu tahun 2004–2017 terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut hukum. Jumlah terbesar adalah korupsi yakni sebanyak 313 kasus.
Saya menganggap bahwa tingginya angka tersebut diakibatkan karena kurangnya ilmu yang tidak berlandaskan nilai religiusitas dalam diri para kepala daerah itu. Nilai religiusitas yang berkenaan dengan akhlak seseorang, yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam al-Ghazali).
Sifat yang tertanam dalam jiwa disini dapat dimaknai sebagai akhlak yang penulis maksud adalah jiwa yang telah meninggalkan sebagian sifat-sifat duniawi. Sehingga membuat seorang pemimpin tidak melulu mengejar kenikmatan duniawi seperti harta kekayaan, tetapi dalam setiap tindakannya pemimpin tersebut dapat berlaku adil dan bijaksana. Senantiasa mengingat tanggungjawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tanggungjawabnya dalam hal mengambil tindakan untuk mengabdi kepada masayarakat. Namun tidak hanya itu, akhlak yang baik juga harus dibarengi dengan adanya ilmu.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surah, Al-Isra:36, yang artinya :
“Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,”.
Surat tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah. Oleh karena itu, pilihlah pemimpin yang menpunyai kualitas ilmu dan akhlak yang baik. Tolak ukur ilmu seorang pemimpin dapat dilihat sejauh mana ia dapat mengerti dan memahami permasalahan, serta mampu menawarkan solusi dalam pemecahkan masalah tersebut. Sedangkan, tolak ukur akhlak yang baik dapat dilihat dari rekam jejak kehidupannya, misal tidak pernah melakukan atau terjerat kasus pelanggaran hukum seperti tindak pidana korupsi dan lain sebagainya.
Hal tersebut penulis anggap sesuai dengan dasar negara Indonesia pada sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Makna dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan tersebut, menurut penulis yakni suatu kesatuan antara ilmu dan akhlak yang membuat seorang pemimpin dapat berlaku adil dalam setiap tindak tunduknya.
Dengan demikian dalam perspektif ini, apabila adanya keterpaduan antara ilmu dan akhlak pada sosok seorang pemimpin, maka akan memberikan perkembangan kearah yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat. Perkembangan kearah yang lebih baik inilah yang menjadi langkah demi mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Terakhir pesan saya pribadi, janganlah membuang sia-sia kesempatan kita untuk mengubah nasib kita dengan cara menentukan pemimpin yang sesuai dan ideal menurut kita. Mari bersama datang ke TPS dan menggunakan hak pilih kita demi tercapainya kesejahteraan daerah dan terciptanya peradaban Indonesia yang taat akan hukum.