Oleh : Rachmat Setyawan
(Pemimpin Umum LPMH-UH periode 2017-2018)
Berbicara tentang pers mahasiswa juga berarti berbicara tentang masa depan jurnalis, terlepas dari polemik status pers mahasiswa yang belum disebutkan secara langsung di dalam undang-undang. Namun, adanya jaminan konstitusional hak atas informasi dan hak untuk tahu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, termasuk di dalamnya hak atas kemerdekaan dan kebebasan tentunya dapat menjadi landasan untuk tidak lagi menganaktirikan jurnalis mahasiswa dalam upaya penyelesaian sengketa pers.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) disebutkan bahwa, “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”. Artinya, jika kita memaknai defenisi pers mengacu kepada pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala wahana komunikasi media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik adalah bagian dari defenisi pers dalam UU Pers, terlepas dari sifatnya sebagai pers yang dikelola mahasiswa ataupun bukan.
Banyaknya persoalan pers beberapa waktu belakangan, utamanya yang berkaitan pers mahasiswa di tengah polemik status yang selama ini masih diperdebatkan, menjadi beban tersendiri bagi para pasukan jurnalis mahasiswa. Berdasarkan data dari laman persma.org pada tahun 2014-2015, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat ada tujuh kasus yang terjadi pada tubuh pers mahasiswa berupa intimidasi, diskriminasi, pembredelan majalah serta pembekuan lembaga pers mahasiswa. Bahkan, kemungkinan jumlah kasus-kasus semacam itu akan bertambah seiring berjalannya waktu.
Kasus yang paling terbaru adalah viralnya #kamibersamabalairung di media sosial twitter, akibat adanya dugaan potensi kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu jurnalis mahasiswa Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung di UGM, Yogyakarta. Hal ini bermula dari pemberitaan yang berkaitan dengan kasus dugaan pelecehan terhadap salah satu mahasiswi UGM yang diterbitkan Balairung berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.
Pers Mahasiswa sebagai Media Kuadran Kedua
Di Indonesia, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, maka dibentuk Dewan Pers yang independen untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana telah diatur di dalam pasal 15 UU Pers. Dalam UU tersebut, salah satu fungsi yang dimaksudkan di dalamnya adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam jurnal Dewan Pers Edisi 14 Juni 2017 yang mengangkat tema Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers, pada salah satu sub-bab yang berjudul Profesional, Abal-Abal, dan Hoax, Ketua Dewan Pers Indonesia bapak Yosep Adi Prasetyo telah menguraikan secara jelas mengenai lanskap ragam media di Indonesia berdasar pengelompokan status dan isi pemberitaan yang ada. Uraian tersebut jelas membagi IV kuadran yaitu:
Kuadran I : Berisi media-media arus utama (baik media cetak, radio, maupun televisi), media versi online arus utama, dan berbagai portal berita.
Kuadran II : Berisi media komunitas, media keagaaman, media pers mahasiswa, media kehumasan, dan lain-lain termasuk media yang sedang baru terdata di Dewan Pers dan belum dinyatakan lolos verifikasi.
Kuadran III : Berisi media-media bermasalah antara lain media yang memproduksi Hoaks, media propaganda, media kebencian dan intoleran, media buzzer, dan media yang isinya mempertentangkan SARA.
Kuadran IV : Berisi media-media kuning yang isinya sensasional, gossip, kekerasan dan eksploitasi seks serta media-media partisan yang dibuat untuk kepentingan politik.
Dalam penjelasan tersebut dijelaskan juga bahwa dalam kuadran pertama, berada semua kumpulan media yang memenuhi syarat UU Pers dan terverifikasi di Dewan Pers yang isi pemberitaannya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, yang dimaknai positif dan terpercaya. Pada kuadran kedua merupakan pengelompokan media yang tak terverifikasi di Dewan Pers. Namun, isi beritanya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik yakni positif dan terpercaya. Terkait kuadran ketiga, isinya bukan hanya negatif yang berisi hasutan, bernada kebencian, hingga konten-konten bermuatan pertentangan SARA. Bahkan tak bisa dipercaya, termasuk memuat hoaks dan berita bohong. Sedangkan, kuadran keempat berisikan media yang terverifikasi di Dewan Pers, namun isi medianya lebih merupakan sebuah Koran kuning yaitu media yang lebih banyak memberitakan pembunuhan, pemerkosaan, seks dengan mode penulisan sensasional.
Sampai di sini, secara tidak langsung, pers mahasiswa sebenarnya telah mendapatkan angin segar dari Dewan Pers mengenai kejelasan posisinya dalam kehidupan pers di Indonesia.
Pengaduan Pemberitaan Media Kuadran Kedua Harusnya Diselesaikan melalui Mekanisme UU Pers
Namun ternyata tak hanya sampai di situ, nampaknya bapak Yosep Adi Prasetyo menaruh perhatian khusus pada media kuadran kedua, buktinya ia lebih lanjut menjelaskan bahwa karena salah satu tugas dari Dewan Pers juga adalah melindungi dan merawat kebebasan pers, oleh karena itulah Dewan Pers bertugas menjaga keberadaan media-media yang ada di wilayah kuadran kedua.
Semua pengaduan terkait pemberitaan yang dibuat oleh media yang berada di kuadran kedua harusnya diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, yaitu mekanisme pemberian teguran, ajudikasi, mediasi ataupun penerbitan surat penilaian, pendapat, dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Untuk media yang berada di kuadran kedua lebih terkait dengan kebebasan berekspresi. Ia menambahkan bila ada masalah dengan pemberitaan pada media yang berada di kuadran kedua, Dewan Pers akan mencoba melakukan penyelesaian dengan pihak yang dirugikan dengan cara mediasi. Bila pihak yang dirugikan masih merasa tidak puas, bisa menempuh prosedur lain di luar UU Pers.
Tentu dengan adanya pembagian kuadran dan penjelasan mengenai proses penyelesaian sengketa melalui jurnal Dewan Pers ini merupakan sebuah bentuk nyata kinerja Dewan Pers dalam melaksanaan fungsinya dalam melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers yang lebih baik kedepannya.
Oleh sebab itu, menanggapi kasus yang kerap terjadi di tubuh pers mahasiswa, dikaitkan dengan segala tugas dan fungsi serta pandangan dari Dewan Pers yang telah dijelaskan, maka penulis berkesimpulan sudah seharusnya Dewan Pers untuk turut andil dan mengambil bagian dalam upaya penyelesaian dalam sengketa pers utamanya di kalangan pers mahasiswa, seperti kasus yang baru-baru ini viral di sosial media, adanya dugaan potensi kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu Jurnalis BPPM Balairung yang saat ini juga prosesnya sedang berjalan ditangani oleh pihak yang berwajib. Tentunya hal ini sekaligus juga dalam rangka menjalankan tugas Dewan Pers untuk melindungi dan merawat kebebasan pers yang ada di Indonesia. #SalamPersMahasiswa!