Oleh:
Muhammad Aswar
Pengurus LPMH-UH periode 2018-2019
Politik itu niscaya, begitu kira-kira bahasa yang paling sederhana untuk mendeskripsikan bagaimana konsep berpolitik. Konsep yang pada akhirnya memberikan kesempatan setiap individu untuk menghalalkan berbagai upaya untuk saling menjatuhkan, mengalahkan satu dengan lainnya, menebar ancaman sampai pada kekerasan jika dirasa perlu. Ironiskah? atau sudah menjadi lumrah sebagai perilaku dari sifat politik itu sendiri, yang menjadi pemenang memang mensyaratkan demikian?
Di politik, unsur-unsur yang telah disebutkan sebelumnya lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang lebih rasionil, dialogis, komunikatif, kooperatif dan konsensuil. Zoon politicon frase adalah kata yang dipakai oleh Aristoteles (384-322 SM) yang terjemahan bebasnya berarti binatang politik. Meski yang dimaksud Aristoteles adalah makhluk sosial dalam lingkup warga polis yang melek politik, istilah itu tetap dipakai di Yunani pada waktu itu.
Memang tepat jika dikatakan bahwa dalam diri seorang manusia terbalut dua sifat alamiah yang bertolaj belakang, seperti baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil. Mungkin karena sifat alamiahnya itu maka dengan pandangan yang berbeda, Thomas Hobbes (1588-1679) lebih suka mendeskripsikan manusia dengan menyebutnya sebagai Leviathan, sejenis monster atau makhluk raksasa yang ganas, menakutkan dan bengis. Makhluk raksasa ini selalu menjadi ancaman bagi makhluk-makhluk lainnya. Bellum omnium contra omnes, yang artinya semua orang menjadi lawan bagi orang lainnya.
Dalam konteks itu, pertarungan politik dalam pesta demokrasi baik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Umum (Pemilu) membentuk narasi bahwa dominasi kekerasan, kekejaman, dan saling menjatuhkan menjadi hal mutlak terjadi. Perebutan kekuasaan adalah target dari semua alasan itu bak perang rimba.
Pada tataran implementasi demokrasi sehat dijunjung tinggi, mengakui bahwa praktik demokrasi yang diharapkan hanya akan terwujud jika skala prioritas untuk membangun bangsa dari sisi politik didukung dari semua sini tanpa terkecuali. Hanya dengan begitu, kemajemukan dan perbedaan latar belakang dapat digunakan sebagai konsekuensi serta modal yang baik sebagai bangsa yang berbhineka.
Ini adalah pendapat yang ideal tentang harapan politik. Tetapi, kenyataan berkata lain. Politik adalah jalan dimana kebaikan tidak selalu benar, kebenaran belum tentu baik dan segala sesuatu tergantung pada kepentingan yang dibawa.
Perkembangan Sejarah Politik
Sejarah politik, jika ditinjau dalam rangka yang lebih luas, maka dapat dikatakan bahwa politik adalah ilmu sosial yang tertua. Itulah pendapat Miriam Budiardjo mengenai politik dari aspek historis. Lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik dia katakan bahwa, di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai politik sudah ada sejak tahun 450 SM. Hal itu dibuktikan melalui karya para filsuf terkenal macam Plato, Herodotus, Aristoteles dan filsuf-filsuf lainnya.
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain India dan Cina, yang telah mewarsikan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari sekitar tahun 500 SM. Di antara filsuf Cina yang terkenal ialah Confucius atau K’ung Fu Tzu pada tahun 500 SM, Mencius tahun 350 SM dan mazhab Legalitas, seperti yang dianut Shang Yang pada tahun 350 SM.
Perkembangan selanjutnya terjadi ketika di Indonesia di dapati bahwa terdapat beberapa karya yang mahsyur seperti pembahasan mengenai sejarah dan kenegaraan yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 M. Namun, karya yang banyak mencakup pembahasan mengenai politik tersebut mengalami kemunduran. Hal ini dikarena adanya desakan pemikiran-pemikiran barat yang dibawa oleh negara seperti Inggris, Amerika Serikat maupun Belanda dalam rangka imperialisme.
Banalitas dan Kekuasaan
Terkait dengan hal itu, penelaahan atas asal mula dan perkembangan politik, sebagaimana yang diuraikan di atas, sebenarnya dapat tergambarkan pengertian tentang politik yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Berikut masing-masing pendapat mereka:
- W.A Robson, bahwa politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, dan ruang lingkupnya. Sehingga fokus perhatiannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, pengaruh atas orang lain atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.
- Harold D. Laswell, lebih mempersempit pengertian politik. Harold mengatakan bahwa, politik berfokus pada pembentukan dan pembagian kekuasaan.
- Deliar Noer, berpendapat bahwa politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama masyarakat.
Berbagai pendefenisian perihal politik di atas, tentunya dilatarbelakangi oleh metode pendekatannya dan kondisi historis di zamannya. Namun jika direkonstruksi para pendapat ahli tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa kekuasaan menjadi inti dan orientasi utama dari politik itu.
Anggapan mereka bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah perebutan dan mempertahankan kekuasaan, itu merupakan hal yang benar. Bahkan, biasanya anggapan yang terbangun ini dibenarkan pula oleh masyarakat sebagai subyek yang mempuyai kepentingan. Oleh karena setiap manusia mempunyai bermacam-macam tujuan yang ingin dicapainya, maka ia merasa perlu untuk memaksakan kemauannya atas orang atau kelompok lain. Hal ini pada akhirnya menimbulkan perasaan bahwa, mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri.
Kekuasaan menurut Ossip K. Flechtheim adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak yang lain, dimana tujuannya bermuara pada kehendak pemangku kekuasaan. Senada dengan Ossip, Robert Mac Iver memberi defenisi yang kurang lebih hampir sama. Robert mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mengunakan segala alat dan cara yang tersedia.
Relasi yang terbangun antara politik dan kekuasaan dapat dikatakan merupakan dua sisi yang berbeda. Salah satu sisi menjadi pihak yang memerintah, sedangkan pihak lainnya sudah pasti menjadi pihak yang diperintah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya ketidaksamaan martabat didalamnya. Selalu ada yang merasa superior dan selalu ada unsur pemakasaan dalam hubungan tersebut.
Jika demikian adanya, apakah keseluruhan dari kondisi itu tidak mesti ada? Jawaban realistisnya, politik dan kekuasaan adalah dua hal yang niscaya sebagai kondisi yang mesti ada dalam masyarakat. Namun agar politik dan kekuasaan dapat tetap terkontrol, maka dibutuhkan pengelolaan yang sehat melalui etika berpolitik yang sehat. Tetapi, apakah ada etika dalam politik? Faktanya tidak ada. Etika dalam politik adalah gauman untuk membenarkan tindakan politikus untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Contoh yang paling menonjol adalah ketika pemilu presiden di Brazil beberapa waktu lalu. Terdapat fakta bahwa, kemenangan Bolsonaro atas lawan politiknya tidak terlepas dari penyebaran berita bohong. Padahal berita bohong tersebut sudah diketahui oleh masyarakat Brazil sebgai berita yang tidak benar adanya. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat untuk tidak memilih Bolsonaro. Justru sebaliknya, penyebaran isu, fitnah, hoaks dan berbagai bentuk perilaku alami politik, membawa pengaruh yang bermuara pada dukungan terhadapnya.
Dikutip dari berita online tirto.id bahwa isu hoaks sesungguhnya sudah menjadi kekhawatiran sejak lama di Brazil. Pemerintah bahkan menciptakan kurikulum anti-hoaks untuk anak-anak di sekolah dasar. Sayangnya, berita palsu untuk menyerang lawan politik tetap berkembang biak dan menyebar di banyak lini media sosial dan aplikasi percakapan. Bahkan menurut laporan Alexia Fernandes Campbell di Vox, kemenangan Bolsonaro tak lepas dari penggunaan hoaks untuk menggembosi dukungan terhadap Haddad, lawan politik Bolsonaro. Lebih lanjut, jurnalis-jurnalis yang ingin membongkar hoaks tersebut mendapat ancaman dari pendukung Bolsonaro.
Dalam hal ini, masalah kekuasaan politik adalah berkaitan dengan influence atau pengaruh, sehingga sering dikatakan bahwa pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan. Sehingga biasanya seseorang yang mempunyai kekuasaan juga mempunyai pengaruh di dalam dan di luar bidang kekuasaannya. Dengan begitu, jelas bahwa pemegang tampuk kekuasaan berasal dari orang-orang yang berpengaruh sehingga secara konsekuen ia juga mempunyai kekuasaan. Namun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang yang berpengaruh memiliki kekuasaan, sebab ada yang tidak memiliki kekuasaan tetapi mempunyai pengaruh di lingkungannya.
Politik Ke-Indonesiaan 2019
Tahun politik yang sejatinya dilaksanakan pada tahun ini, telah tampil dengan berbagai model politik yang agak jauh dari substansi politik warga negara yang ideal. Selanjutnya kita akan bertanya, adakah konsep berpolitik yang ideal? Saat ini kita diperlihatkan dengan model-model berpolitik yang mengedepankan sentimen kelompok dengan menghujat, menghukum, serta mempersekusi kelompok politik yang berbeda dan berlawanan. Bahkan dengan membajak ayat-ayat agama. Agama yang sejatinya menjadi sumber etik, telah dibuat lentur sesuai tafsir kepentingan pelaku politik. Inilah yang membuat umat beragama jadi saling tuding dan menghukum atas nama agama, karena menjadikan agama sebagai “permainan politik” alias mempergunakan agama sebagai kepentingan politik. Kalau mau berpolitik, berpolitik saja, tidak perlu menggunakan dalil agama untuk melegitimasi perilaku politik kita.
Celakanya lagi adalah bahwa munculnya berbagai sentimen politik yang ada pada saat ini, tidak lahir dari orang-orang yang buta akan krisis politik kebangsaan, melainkan mereka yang memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Rausyanfikr yang oleh Ali Syariati menyebutnya sebagai kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasinya, merumuskan dalam bahasa yang dapat dimengerti serta menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah, tidak tercermin pada mereka.
Aspirasi politik kewargaan adalah hak semua warga negara sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Berbeda pilihan politik, termasuk berbeda partai politik, mendukung kandidat, adalah hak warga negara yang dilindungi oleh undang-undang. Berpolitik dengan menghukum orang lain dengan perbagai hujatan kebencian adalah bentuk berpolitik warga negara yang kurang beradab.
Lantas bagaimana kita meresponnya? Bangsa kita terkenal dengan keragaman dan bhinnekanya. Dalam aspek apapun, kebhinekaan telah menjadi semacam warna yang patut diterima sebagai anugerah. Penyebaran hoaks dan bentuk politik yang kita anggap buruk lainnya, ternyata secara sadar dan tanpa sadar melibatkan kita di dalamnya. Hal yang sama pada demokrasi dan politik. Dengan segala ketidaksempurnaannya, keduanya telah diterima sebagai satu-satunya cara yang sah dan legal untuk memilih pemimpin dan mengganti pemerintahan demi mengubur calon tiran selanjutnya.
Setelah Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu menetapkan bahwa 17 April 2019 menjadi momentum Pemilu presiden. Apakah pasangan Joko Widodo-Ma’Ruf Amin yang akan diberikan mandat untuk melanjutkan periode kedua? Atau digantikann oleh pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai penantang yang menawarkan harapan baru? Tentu kita membiarkan 174 juta warga Indonesia yang menentukan pilihan.
Dalam perhelatan tersebut, telah ditentukan masa kampanye yakni sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019 nanti. Dalam masa kampanye yang cukup panjang itu kita akan dipertontonkan dua wajah politik. Perlu kita semua perhatikan, apakah dalam masa kampaye tersebut akan tercipta perdebatan ide, gagasan, adu program untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Apa mungkin justru keterbalikannya, akan ada adu jotos, banalisme, penebaran hoaks dan yang lainnya sebagai bumbu utama masa kampaye.
Potensi benturan dua kelompok masyarakat harus tetap dijaga, itu agar terciptanya perhelatan politik yang membahagiakan, menyenangkan dan dapat dinikmati oleh semua pihak dengan suka cita, bukan penuh dendam kesumat. Biarkan perhelatan ini tetap terlihat seksi, agar terselamatkan dari berbagai bentuk sabotase politik yang hendak menggagalkannya dengan berbagai agenda atas nama demokrasi. Kita hanya mengharapkan hal-hal yang ideal, meskipun Pramoedya Ananta Toer pernah berucap bahwa hal yang sempurna tidak terjadi di atas bumi, melainkan di surga.