web analytics
header

Disorientasi Pengelolaan SDA: Pengabaian Negara Terhadap Masyarakat Adat Kajang

ini mi kajang (Akurat.co)
Sumber: Akurat.co.

Oleh : Hasbi Assidiq

(Kordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan LPMH-UH periode 2018-2019)

Pengantar

Konflik agrarian kembali terjadi di Indonesia. Kali ini melibatkan masyarakat adat Kajang bersama dengan masyarakat dari sembilan desa di Bulukumba yang berusaha menduduki lahan yang diklaim oleh PT. London Sumatra sebagai lahan konsesi.

PT. London Sumatra merupakan perusahaan agribisnis yang memiliki kegiatan utama pemuliaan tanaman, penanaman, pemanenan, pengolahan dan penjualan produk di bidang sawit, karet, benih bibit kelapa sawit, kakao dan perkebunan teh. Perusahaan ini memiliki luas lahan perkebunan inti mencapai 115.695 hektar yang terdiri dari 95.622 hektar kelapa sawit, 16.235 hektar karet, dan 3.838 hektar tanaman lainnya terutama kakao dan teh Lonsum. Perusahaan ini juga menjalin kemitraan dengan petani plasma dengan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet mencapai 34.701 hektar yang tersebar di seluruh Indonesia.

Terkait konflik yang timbul, sebenarnya telah berlangsung sejak lama antara perusahaan tersebut dengan masyarakat adat Kajang dan masyarakat sembilan desa tesebut. Bahkan, telah terjadi pengelolaan perkebunan di tanah ini sejak rezim kolonial dengan menggunakan Hak Efracht. Hak tersebut yakni merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.

Setelah lahirnya UUPA, hak ini kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Namun, kondisi di lapangan sangat dinamis dan penuh pergolakan. Salah satunya kondisi dimana konflik melibatkan pemberontakan DII/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, konfliktersebut membuat situasi di wilayah lahan menjadi mencekam. Terakhir, ketika pemerintah menerbitkan perpanjangan HGU bagi PT.London Sumatra di tahun 1997. Itu terhitung sejak berakhir hak atas tanah perkebunan Palangisang dan Balombessi 5.784,46 hektar.

Hal yang baru kembali menguat belakangan ini yakni upaya dari masyarakat untuk menduduki lahan tersebut. Berdasarkan data dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria, sejak tanggal 24 September 2018, bertepatan dengan 58 tahun pasca disahkanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), mayarakat adat Kajang bersama warga dari sembilan desa di Bulukumba itu telah melakukan upaya untuk menduduki lahan tersebut. Sekitar 800 warga tersebut berasal dari desa Bonto Biraeng, Tambangang, Bonto Maringing, Tamatto, Bonto Sunggu, Sangkala, Karassing, Balleanging, dan Bonto Aji bergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) .

PT. London Sumatra dianggap terus mengabaikan hak masyarakat sekitar perkebunan dan mengabaikan himbauan Pemerintah Daerah Bulukumba yang melarang melakukan aktifitas peremajaan karet di lokasi yang menjadi sumber mata air warga. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah lahan yang menjadi obyek pengelolaan PT.London Sumatera, berdasarkan klaim warga bahwa lahan ini tidak termasuk dari HGU. Namun merupakan kawasan High Conservation Value (HVC) yang merupakan kawasan bernilai konservasi tinggi yang tidak boleh diolah oleh perusahaan, karena merupakan area tangkapan air yang juga dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kawasan tersebut yakni kawasan Buki’a yang juga merupakan situs ritual budaya masyarakat adat Kajang. Kegiatan PT.London Sumatra dianggap mengancam kawasan ini sehingga warga pun melakukan upaya untuk mempertahankan ruang penghidupannya.

Aturan dan Orientasi Pengelolaan SDA untuk Kemakmuran Rakyat

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA, telah menjadi aturan dasar terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Undang-undang ini jelas mengatur bahwa orientasi pengelolaan SDA dilakukan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan hal ini Negara diberikan atribusi mengatur dan mengelola SDA secara berkeadilan yang dikenal dengan Hak Menguasai Negara yang kemudian memilik wewenang antara lain:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sesuai yang telah dijelaskan diatas bahwa wewenang yang dimiliki oleh Negara harus digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum yang merdeka, berdaulat adil dan makmur. Inilah yang menjadi tujuan dari pengelolaan SDA yang harusnya dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini sejalan dengan amanah dari UUD NRI 1945 pasal 33 ayat 3 yakni : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUPA, Hak Guna Usaha ini dibatasi pengelolaannya dalam waktu 25 tahun. Namun untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama diberikan jangka waktu 35 tahun, sementara pengelolaan ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.

Peran Pemerintah dalam Melindungi Masyarakatnya

Sumber daya alam menjadi instrument penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk mewujudkan kesejahteraannya. Kesejahteraan itu hanya akan menjadi mimpi yang tak kunjung terwujud jika alat produksi tak dikuasai oleh masyarakat, serta pengetahuan dalam mengelola sumber daya alam itu sangat minim. Akhirnya mereka yang awalnya memiliki kuasa terhadap tanah mereka, harus menyerah pada pemilik modal yang memiliki akses terhadap pembuat regulasi untuk melindungi kepentingan mereka. Mereka harus menyerahkan satu-satunya modal warisan mereka yakni tanah yang telah turun temurun diwariskan oleh keluarga.

HGU yang diperpanjang selama 25 tahun pada tahun 1997 itu kini akan berakhir di tahun 2023. Sesuai dengan batasan terkait dengan HGU yang telah diatur dalam UUPA, masyarakat pun berjuang agar pemerintah bisa menyelesaikan secara adil konflik lahan yang berlangsung selama puluhan tahun tersebut. Ini tentunya menyita energi yang besar dari masyarakat, mereka bercocok tanam di lahan yang tidak pasti. Perusahaan bisa serta merta melakukan upaya represif dengan menggunakan aparat keamanan seperti yang terjadi di tahun 2003, sampai harus ada masyarakat yang terkena tembakan dari aparat keamanan. Padahal seharusnya aparat keamanan negara hadir untuk mengayomi dan melindungi masyarakat sekitar.

Pengelolaan berbasis pada perusahaan yang memiliki ratusan ribu hektar lahan dan mengabaikan hak masyarakat sekitar terkait dengan pengelolaan lahan, merupakan disorientasi dari pengelolaan SDA berdasarkan UUPA. Dalam hal terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan, seharusnya pemerintah hadir melindungi masyarakat, bukan malah melindungi kepentingan para pemilik modal dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan mengabaikan amanah dari UU.

Kesimpulan

Dari mana datangnya perusahaan itu? Siapakah mereka? Dengan seenaknya hanya karena memiliki hubungan dekat dengan sang penentu kebijakan, membuat mereka berhak untuk melakukan atau melanjutkan pengelolaaan perkebunan terhadap lahan yang menjadi tanah warisan turun temurun dari masyarakat sekitar.

Dengan dalih izin perkebunan yang dipegang, mereka jadikan bukti legalitas untuk melarang masyarakat sekitar yang hadir lebih dahulu dari mereka, melakukan kegiatan pertanian dengan menanam beberapa jenis tanaman pertanian. Terlebih kegiatan bercocok taman tersebut dilakukan masyarakat dengan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semata. Apabila masyarakat sekitar tidak diperbolehkan untuk menanam, maka dimana lagi mereka harus menanam untuk sekedar pemenuhan kebutuhan mereka.

Beda halnya dengan perusahaan yang tujuan dari kegiatannya yakni mendapatkan keuntungan dari kegaiatan ekonomi yang dilakukan di lahan tersebut. Padahal terkadang, hal ini mengabaikan kelestarian lingkungan yang ada. Perusahaan menanam tanaman tertentu yang merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi, dan biasanya dalam satu lahan garapan hanya memfokuskan pada satu tanaman tertentu hingga hal ini berimplikasi pada menurunnya keanekararagaman hayati yang terdapat di wilayah tersebut. Ini yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam memberikan izin HGU terhadap lahan tertentu yang berdekatan dengan lahan masyarakat sekitar hingga hal ini rawan memicu konflik.

Jika sumber daya itu digunakan secara bijaksana, maka ketimpangan itu tidak akan terjadi. Ketimpangan sosial terjadi karena ulah segelintir manusia yang serakah. Merekalah yang menginginkan kehidupan mapan dan nyaman untuk pemenuhan seluruh keinginannya untuk menjamin kehidupan anak cucunya di masa mendatang.

Penulis mendukung penuh masyarakat adat Kajang untuk mempertahankan tanah mereka yang sejak dahulu secara turun temurun dikuasai. Seharusnya Negara dalam hal ini hadir untuk melindungi kepentingan masyarakat sejalan dengan amanah dari UUPA agar pengelolaan SDA yang dilakukan sepenuhnya untuk dapat mewujudkan kemakmuran rakyat.

Referensi Bacaan:

Laporan tahunan PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk tahun 2017

www.mongabay.co.id/2016/12/23/konflik-lonsum-di-bulukumba-tak-kunjung-usai/

/www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58e28281dd903/hak-ieigendom-i–hak-ierfpacht-i–hak-iopstal-i-dan-hak-igebruik-i

nuransar.blogspot.com/2019/01/perjuangan -panjang-warga-bersama.html?m=

agraindonesia.org/agra-bulukumba-bersama-masyarakat-adat-kajang-melakukan-protes-terhadap-pt-lonsum-yang-terus-mengabaikan-hak-masyarakat/

https://suarajelata.com/2018/11/10-Masyarakat-adat-kajang-dan-agra-bulukumba-berhasil-duduki-kawasan-hgu-pt-lonsum/

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Related posts: