“When journalism is silenced, literature must speak. Because while journalism speaks with facts, literature speaks with truth.” – Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.
Oleh: Hanifah Ahsan
(Pengurus LPMH-UH periode 2018-2019)
Tanggal sembilan Februari tercatat sebagai hari bersejarah bagi para pekerja di dunia jurnalistik.Tanggal tersebut menjadi hari puncak mereka dengan gagah menyatakan keberadaannya. Bagaimana tidak, tanggal ini tercatat dalam sejarah sebagai hari pers nasional, dan dengan bangga para jurnalis memperingatinya setiap tahun.
Namun, pada setiap hari peringatan tersebut, kita lebih sering diingatkan dengan wajah murung geliat pers di Indonesia. Peristiwa diskriminasi, ancaman, kekerasan, penculikan, bahkan sampai perenggutan nyawa bukan hal baru di negeri kita ini. Sejak zaman Orde Baru sampai zaman Reformasi wajah murung tersebut masih “terawat” di negeri ini.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen selama Januari-Desember 2018 yang dilansir dari situs tempo.co, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran/pelarangan liputan dan ancaman teror, masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil liputan sebanyak 10 kasus, dan pemidanaan sebanyak delapan kasus.
Salah satu contoh dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yakni kasus lama terkait kekerasan dan pembunuhan berencana terhadap jurnalis media Radar Bali, A.A Prabangsa. Kasus stargis yang terjadi pada tahun 2009 ini, muncul kembali ke permukaan publik akhir-akhir ini disebabkan pemberian remisi terhadap pelakunya oleh pemerintah. Ada juga kasus Muhammad Jamaluddin, jurnalis kamera TVRI di Aceh. Jamaluddin ditemukan tewas pada 17 Juni 2003 karena pekerjaannya (sumber : Aji.or.id).
Kedua contoh kasus yang diatas secara tidak langsung membuktikan bahwa resiko pekerjaan seorang jurnalis cukup membahayakan. Namun sebenarnya masih terdapat banyak bukti sejarah yang mengambarkan luka lama terkait kerasnya hidup sebagai jurnalis di Indonesia, bahkan di dunia. Sejarah juga menyimpan bukti bahwa jurnalis kampus pun acap kali merasakan tanggungan resiko pekerjaannya. Bukan hal yang tidak mungkin saja terjadi, jika nantinya peran jurnalis akan “dimatikan”. Para jurnalis terbungkam.
Seno Gumira Ajidarma, salah satu penulis terkemuka di Indonesia pernah menyampaikan ketakutannya akan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalis Dibungkam, Maka Sastra Harus Bicara. Pada buku tersebut, Seno banyak menuliskan penyebab-penyebab pembungkaman jurnalis, mulai dari politik, sosial ekonomi, sampai kebijakan redaksi. Mantan jurnalis ini pun menggambarkan bahwa pekerjaan jurnalis akan selalu dapat dikenang melalui tulisan dan karyanya, meskipun pembungkaman mereka terima. Keteguhan pada prinsipnya untuk menyebarkan fakta dan membuka kebenaran tergambar jelas pada karya satranya kali ini. Sastra mempunyai peran penting untuk menjadi penyebar fakta, pengukir sejarah, dan sebagai api penyemangat bagi para jurnalis dan hasil karya mereka.
Tak jauh berbeda, Wawan Kurniawan penulis muda kota Makassar juga mengilhami kalimat-kalimat Seno tersebut. Menurutnya kekerasan jurnalis sekarang yang dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap jurnalis. Ia menganggap bahwa kekerasan yang terjadi dimasa lalu, kemungkinan terjadi akan terjadi kembali nantinya. Sebab sejarah dapat digunakan sebagai pelajaran memprediksi kemungkinan dimasa depan. Wawan sebagai sastrawan juga merasa perlu untuk menghargai sejarah dan karya para jurnalis, sebab menurutnya karya para jurnalis tersebut merupakan catatan penting dalam perkembangan dunia jurnalistik.
Maka hemat penulis, sudah menjadi perjumpaan yang ideal dimana jurnalistik, seni dan keberanian, mencampurkan diri menjadi suatu kekuatan yang kuat. Kuat yang tak gentar dengan tekanan, saling membantu mencari “jalan keluar” untuk menyebar manfaat. “Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutup kebenaran adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi,” – Seno Gumira Ajidarma. Selamat Hari Pers Nasional, kawan.