Oleh : Imam Mahdi Arumahi
(Pemimpin Umum LPMH-UH Periode 2019-2020)
KRINKKKK….KRINKKKK….KRINKKK….
Dering keras alarm ponselku berhasil mengagetkan dari tidur pulasku. Sekarang jam berapa?,gumamku sambil melihat jam digital di ponsel yang sudah menunjukkan jam 12.00 siang. Sekilas teringat seseorang yang akan kutemui di jam ini tetapi masih samar. Beberapa detik kemudian ponselku kembali berdering, kali ini bertanda telpon masuk. Dengan cepat jari jempolku menerimanya. Ternyata itu sepupuku yang mengabari kesiapannya untuk mengudara ke Kota Daeng. Dengan sigap kusadarkan diriku dari ranjang yang terus memanggil untuk tetap menemaninya. Tapi maaf, ini amanah dari ayah. Lima belas menit kemudian, kutinggalkan rumahku.
Cuaca panas Kota Daeng menghangati perjalanan, dengan sepeda motor merah yang kukendarai. Sungguh perjalan yang panjang. Jarak antara rumahku dengan bandara sangat jauh, bisa dibilang ujung pangkal ujung. Dalam perjalanan, seketika aku dibuat heran dengan kondisi pengendara menepi ke pinggir jalan. Suara sirene ambulance samar-samar terdengar dari kejauhan, lalu ku menoleh kebelakang untuk memastikan. “hmm. Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang seru” harapku.
Beberapa detik kemudian pengendara berpeci hitam mengklakson dengan keras, spontan pengendara lainnya mulai kembali kejalan. Motor tua dengan knalpot bersuara garang atau biasa disebut motor bogar dikendarai pemuda dengan kepala telanjang (tidak menggunakan helm) dan pemuda bermuka sangar dengan tongkat bendera putih yang terus-terusan di kibarkan kearah pengendara lain untuk membuka jalur ambulance dan pengantar jenazah.
Aku dengan santai membaur dengan pengantar jenazah. Klaksonku beberapa kali kubunyikan untuk membantu pengantar jenazah meminggirkan pengendara lain. Tak sadar aku menikmati perjalan Bersama mereka, aku betul-betul membaur dan sepertinya aku mulai menjadi bagian dari mereka. Hanya saja, beberapa diantara mereka memakai peci atau songkok, dan tidak memakai helm sama sekali. Tiba-tiba ku berpikir seperti ada yang salah dengan perjalanan ini.
Ohiyah aku merasa menjadi massa pemilik jalan ini, merasa menzolimi pengendara lain yang seharusnya menikmati perjalannya dan juga aku merasa dengan mengikuti massa ini tidak ada aturan lalulintas yang mengisolasi kami. Pemegang bendera putih kembali mengambil posisi paling depan lalu menutup jalan arus yang berlawanan untuk membukakan jalan masuk ke kuburan yang dituju. Disitulah aku keluar dari massa mereka dan kembali kejalur masing-masing.
Sesampai dibandara aku bertemu dengan sepupuku, tanpa basa-basi aku mengajaknya ke motor. “Helm untuk aku mana?” tanya sepupuku. “hmmm. Sepertinya aku harus kembali membaur dengan pengantar jenazah lagi.” gumamku.