Saldy
(Pengurus LPMH – UH Periode 2019-2020)
“Halo teman-teman, perkenalkan nama Saya Santi.” Kurang lebih seperti itu caraku memperkenalkan diri saat berusia empat setengah tahun. Sekarang sudah berbeda, sejak usiaku dua belas tahun, Aku memperkenalkan diri dengan nama lengkap. Kedengarannya akan seperti ini, “Halo teman-teman, perkenalkan nama Saya Santi”. Terlihat dan terdengar sama namun sesungguhnya ada makna berbeda dibalik keduanya. Berbeda, tentu saja. Karena saat usiaku dua belas tahun, Orang tua ku berpisah dan Ibu mengganti namaku – tepatnya memangkas – dari Santi Putri Yoga menjadi Santi. Nama panggilan yang kemudian berubah menjadi nama lengkap setelah kursi meja makan di rumah berkurang satu.
Berhubungan dengan pertumbuhanku disebuah rumah tua bertingkat dengan ukuran 5×5, Aku mulai bertanya-tanya apa makna keluarga dan dapat kutemukan makna keluarga dari dalam album lusuh berdebu dibawah meja televisi. Dibesarkan, disayangi, dikasihi, dan dicintai, diantar kesekolah, membantu mengerjakan pr, membuatkan makanan atau menyanyikan nina bobo sebelum tidur adalah hal yang kupercaya sebagai bentuk kasih sayang orang tua terhadap anaknya yang sama sekali tidak pernah kudapatkan. Aku memahami makna keluarga dari kebalikan. ,
Ibuku bekerja dihotel tepat diseberang rumah kami, dan Aku – diusiaku yang 19 tahun ini – hanya berdiam diri menjadi penjaga rumah. Aku tidak terlalu mengerti apa yang Ibu kerjakan tapi terkadang dia pulang dan membawa laki-laki ke kamarnya dengan alasan kamar dihotel sedang penuh. Setelah laki-laki itu pergi, bagianku untuk membereskan kamar Ibu yang berantakan sekaligus dengan seisi rumah yang berdebu karena jarang tersentuh. Sesekali ku merasa jenuh dan berfikir untuk meninggalkan rumah. Tapi bagaimana lagi, rumah kami selalu terkunci dari luar kecuali saat Ibu ada, itupun hanya untuk pukul 01:00 sampai sekitar 05:00 pagi. Ini dilakukan Ibu untuk mencegah penagih hutang masuk – ya, kami banyak hutang.
Setelah beberapa lama, pukul dua siang lewat beberapa menit, rumah kami untuk pertama kalinya – setelah kedatangan penagih sebelumnya – menjadi ramai dan sedang dalam keadaan terbuka. Rumah kami di geledah karena Ibu tertangkap saat membawa narkoba pada pemesannya yang ternyata seorang aparat keamanan yang menyamar. Aku sendiri tidak tahu menahu soal Ibu dan barang terlarangnya, sedikit tahuku sebatas dari jarum suntik yang sering kutemukan ditempat sampah dekat dapur. Ibu dibawa langsung ditempat tanpa dipulangkan dulu ke rumah, Aku bahkan tidak tahu harus kemana untuk melihat Ibu. Bibirku hanya gemetar tidak sanggup mengeluarkan kata-kata seraya polisi menggeledah seisi rumah. Setelahnya, terjadi hening yang cukup lama. Entahlah, mungkin hening tak berujung yang menggerogoti isi pikiranku sampai kedalam-dalamnya. Aku tidak bisa berpikir jernih, Aku hanya terduduk lemah dibawah jendela yang ditembus terik matahari.
Beberapa hari – entahlah, mungkin beberapa minggu – setelah kejadian itu, Aku kedatangan tamu yang mengaku sebagai rekan kerja Ibu. Pria berumur kisaran tiga puluh tahun dengan janggut tebal yang tersambung dengan rambutnya memakai setelan jas dengan sepatu pantofel hitam mengkilap melekat dikakinya. Kuceritakan kronologi kejadian kemarin padanya, tidak lama kemudian pria itu berdiri tiba-tiba meraih tanganku dan menarik membawaku keluar rumah, masuk menuju mobilnya. Ada kata-kata yang dilontarkannya sebelum membanting dan mengunci pintu mobil “Ibumu telah menjualmu padaku” seakan membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik, entah mengapa Aku tiba-tiba loyo dan terjatuh lemas dan mataku tertutup tak terjaga.
Terbangun karena bising klakson kendaraan, Aku tersadar dengan keberadaan handphone yang ada disaku celanaku. Kucermati situasiku saat ini, kucoba sepelan-pelan mungkin agar tidak membuat curiga dan akhirnya tanganku berhasil masuk dan membawa keluar handphone itu tanpa terlihat. Tidak pikir panjang langsung kutelepon polisi untuk melacak GPS-ku.
Ban mobil berdecit berhenti didepan tempat yang terlihat seperti gudang penyimpanan. Aku dimasukkan kedalam ruangan yang baunya tidak jelas antara bau kotoran kambing atau bau masakan aneh yang entah apa itu. Tidak lama berselang sirine polisi membangkitkanku mengucap syukur dalam hati. Aku dibawa kekantor polisi dan dipulangkan kerumah di hari yang sama. Kemudian ku kunci pintu rapat-rapat dan mencoba kembali mencerna kebenaran dari perkataan pria tadi. Bergejolak didalam pikiranku soal Ibu yang menjualku atau pria tadi yang memanfaatkan keadaanku, kupikirkan berhari-hari sampai tiba waktu Aku kedatangan tamu lagi.
Orang dari pengadilan membawa surat untuk menghadiri persidangan sebagai tergugat. Sekali lagi, lagi-lagi, hal buruk terjadi dan mengapa harus jatuh padaku lagi.
Dipersidangan, Aku;tergugat, pria yang menculikku sebagai penggugatku, dan majelis hakim akan memulai sidang tragedi penuh komedi ini.
“demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, majelis hakim menyatakan saudara Santi dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana penipuan dalam hal ini tidak mengembalikan uang yang telah diambil dengan maksud meminjam dan terbukti menyembunyikan pengguna dan pengedar narkoba dirumahnya dalam hal ini Ibu terdakwa.”
Tok! Tok! Tok!