Oleh : Hans Giovanny
(Presiden International Law Student Association Periode 2019-2020)
Fakultas Hukum Unhas akan melangsungkan Pemilu Raya pada tanggal 14 Oktober 2019. Sebagai salah satu rangkaian dari pemilu tersebut pada tanggal 7 Oktober 2019 telah dilaksanakan pemaparan visi-misi dan debat kandidat presiden dan wakil presiden BEM. Debat dihadiri oleh tiga pasang calon di hadapan para pendukung dan sivitas akademika FH-UH.
Tulisan ini akan memberikan analisa pasca berlangsungnya , dan pada bagian kedua akan membahas mengapa dalam kontestasi politik debat secara eksklusif diperlukan. Khusus pada Post-debate analysis , saya mencoba memberikan penilaian objektif tentang mekanisme dan substansi argumentasi selama debat berlangsung
Analisa pasca-debat
Pertama mari kita melihat mekanisme debat yang telah berlangsung tersebut. Para calon masing-masing diberikan pertanyaan untuk dijawab dan pasangan calon lain akan menanggapi jawaban yang diberikan oleh paslon sebelumnya.
- Kita harus mengapresiasi moderator dan panitia yang cukup mampu memandu jalannya perdebatan dengan baik dan cukup tertib dalam melihat time constraint yang dimiliki oleh para kandidat
- Dalam debat tersebut menurut saya, debat menjadi kurang menarik karena tidak ada pertanyaan yang secara langsung dilemparkan oleh satu kandidat kepada kandidat lainnya, semua pertanyaan yang dijawab berasal dari pertanyaan yang telah disiapkan oleh panitia, meski harus kita akui pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup mewakili isu-isu yang selama ini ada di lembaga kemahasiswaan, misalnya terkait Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas Hasanuddin (BEM-U) dan internalisasi UKM, namun interaksi yang terbangun diantara para kandidat hanya sebatas berdasar pada pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya
- Tidak ada waktu yang secara khusus dialokasikan bagi para kandidat untuk memaparkan road map pelaksanaan visi-misi.
Kedua mari membahas substansi dari argumentasi dan jawaban para kandidat. Menurut analisa saya selama perdebatan berlangsung kebanyakan jawaban dari para kandidat hanya berupa jawaban yang sebagian besar jargonistik, yang mungkin akan dikemukakan oleh sebagian besar mahasiswa ketika duduk di posisi mereka, misalnya dalam pertanyaan mengenai sikap terhadap dualisme antara BEM-U dan Federasi Mahasiswa Unhas, jawaban yang kita dengar hanyalah “akan menampung aspirasi mahasiswa terkait masalah ini” saya rasa jawaban tersebut tidak memberikan penjelasan terkait (1) pilihan mana yang akan mereka ambil (2) apa justifikasi dalam mengambil pilihan tersebut (3) mekanisme apa yang akan mereka lakukan agar pilihan tersebut terlaksana secara efektif.
Salah satu contoh pertanyaan lain dalam debat ini yaitu terkait internalisasi UKM dan HMD, jawaban yang kita dengar adalah “akan membangun sinergitas agar lembaga dapat berkembang secara bersama-sama” jawaban tersebut menurut saya terkesan jargonistik tanpa ada reasoning yang cukup. Pada pertanyaan yang sama, tampak juga para kandidat tidak banyak menyinggung soal PR Ormawa dan surat keputusan dari pihak dekanat yang menjadi dasar diberlakukannya internalisasi tersebut. Atau pertanyaan lain terkait peranan yang akan diambil BEM Hukum pada konstelasi lembaga mahasiswa tingkat Universitas, jenis pertanyaan seperti ini, seharusnya dijawab dengan jawaban yang practical dan applicable, namun kita kurang mendengar elaborasi dari para calon mengenai isu ini. Menurut saya para kandidat sibuk mempersiapkan diri hanya untuk penyampaian visi-misi mereka, namun kurang mendalami atau mungkin memang tidak aware dengan isu-isu yang diangkat sebagai topik perdebatan kemarin. Fungsi debat pada dasarnya untuk melihat kemampuan para kandidat dalam berargumentasi, yang pada debat kemarin kurang terlihat. Para kandidat tampak menjadi sangat siap pada momen dimana mereka menyampaikan jargon dan closing statement mereka.
Pentingnya Debat Kandidat
Seperti yang telah saya kemukakan bahwa fungsi debat kandidat adalah melihat kemampuan kandidat dalam berargumentasi, mengapa hal tersebut kemudian menjadi penting untuk diperhatikan?
- pada dasarnya debat adalah cerminan dari critical thinking, dalam memaparkan argumentasi, kandidat diharuskan menganalisa dan menyusun argument mereka secara cepat dan menyampaikannya dengan lancar. Argumentasi yang tersusun dengan baik dan disampaikan dengan rapi dapat mencerminkan bahwa logical flow dari pendebat telah tersusun dengan baik (
- kemampuan berargumentasi dan public speaking yang baik tidak dibangun dalam semalam seperti candi dalam mitos Roro Jonggrang, dibutuhkan banyak bahan bacaan dan “jam terbang” berdiskusi dan berlatih yang tinggi, mereka yang memiliki kemampuan berdebat yang baik paling tidak telah melewati tahapan tersebut.
Memang debat bukanlah satu-satunya determinan factor. Ada banyak faktor lain dalam memilih pemimpin, tapi dalam konteks bahwa para kandidat telah memiliki track record yang hampir sama, (seperti pada pemilihan Presiden BEM FH-UH, contoh: semua kandidat pernah menjadi pengurus lembaga, melewati LK-2, lulus minimal 100 sks) kemampuan memaparkan visi-misi dan public speaking dalam konteks debat menurut saya menjadi cukup penting yang mana kurang terlihat pada debat kemarin.
Terakhir, dengan slogan jargonistik yang “berterbangan” saat debat, para calon mendapat tepuk tangan dan sorakan meriah dari para pendukung. Mencerminkan bahwa para kandidat masih terjebak dalam penggunaan slogan-slogan jargonistik, dan hadirin yang hadir lebih ramai dalam memeriahkan suasana dan menunjukkan eksistensi massa pendukung (model yang sama dengan politik Indonesia bukan ?) ketimbang mendengar dan secara kritis menilai debat yang berlangsung. Saya menyimpulkan bahwa euforia politik dalam internal fakultas tidak jauh berbeda dengan euforia di Indonesia.
Dalam politik mainstream negeri ini, diskursus pemikiran dan ideologi, diskusi dan debat dikalahkan oleh kepentingan transaksional elit politik, slogan dan jargon hebat bertebaran dimana-mana dan masyarakat selalu dikesampingkan demi deal-deal politisi, kita yang bosan dengan hal itu, tentu menginginkan hadirnya politik kampus yang diisi dengan diskusi antar pemikiran, debat yang berkualitas yang jauh dari slogan dan jargon yang kurang esensial dan argument bernas yang menggerakkan hati. Semoga para kandidat presiden dan wakil presiden dapat mewujudkan hal tersebut.
Selamat “bertanding”
NB : Tulisan mewakili opini pribadi penulis