Oleh :
Saldy
(Pengurus LPMH-UH Periode 2019-2020)
Angin menembus masuk jendela kamarku yang setengah gelap. Lampu menyala dalam kondisi remang-remang di atas kepalaku. Aku terduduk menatap lurus kedepan memperhatikan sesosok pria yang tampak begitu menyedihkan. Wajahnya lusuh, rambutnya tak beraturan, tatapannya kosong, dan anehnya lagi pria itu menitikan air mata. Angin kembali menghembus kencang, sepertinya cukup untuk membuat mata berair. Kutinggalkan pria tadi sambil menyeka mataku yang basah, kuraih jendela, kututup rapat-rapat, lalu tidur.
Menyusuri jalan mengelilingi kota sudah menjadi pekerjaanku setiap hari, dari titik satu ke titik yang lain. Tidak, Aku bukan driver dari salah satu perusahaan ojek online atau sebagainya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak kurir yang bekerja untuk perusahaan logistik disini. Pekerjaannya cukup santai, penghasilannya juga demikian. Dukanya juga lebih banyak dibanding sukanya. Satu-satunya yang mengasyikkan karena kau akan selalu menjadi orang yang ditunggu-tunggu kedatangannya.
***
“aku tidak bisa!”
“kenapa?! Kenapa!”
“aku hanya tidak bisa!”
“jangan berteriak padaku, beri aku alasan!”
“AKU HARUS MENIKAH!”
…
…
Kring… kring… kring… (dering telepon)
“hm ada apa?”
“cepat ke kantor, Ibu Bos mau masuk”
Tut (telepon terputus)
Aku bangun dengan tergesa-gesa, segera bersiap, lalu berangkat dengan keadaan mata yang setengah mengantuk dan perut yang setengahnya kosong dan setengahnya lagi berisi angin. Speedometer scotic-ku menunjukkan jarumnya pada garis antara 80 dan 60. Konsisten seperti itu, setidaknya sampai di depan tempat parkir kantor. 11:01 Aku sampai, yang artinya Aku datang terlambat. 11:21 Ibu Bos datang, drama berburu waktu tamat. Aku selamat.
***
Setiap malam, sebelum kembali ke rumah. Selalu kusempatkan untuk mampir ke cafe favoritku – cafe yang berada tepat diseberang rumahku. Cafe ini sudah lama mengisi hari-hariku sedari kuliah sampai sekarang. Meja yang ada di beranda luar dan secangkir kopi vietnam selalu menjadi andalan – meskipun terkadang espresso kerap menjadi alternatif.
“Kopi vietnam, kak?”
“betul”
Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Waktu sangat cepat berlalu. Seolah tak peduli keberadaanmu, sang waktu terus menyeret masa dari kini sampai nanti hingga menjadi lalu. Aku pernah bermimpi bertemu penyihir. Hidungnya besar, memakai topi, dan tongkat kayu kecil ditangannya. Saat itu Aku memohon untuk dirubah menjadi waktu, kenapa? Karena Aku yakin waktu itu abadi. Tapi penyihir itu menolak, dia beralasan tidak dapat mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang sama, dan untuk menjadikanku waktu yang perlu dia lakukan adalah tidak merubahku. Penjelasannya semakin membingungkan, lagipula dia berasal dari alam mimpi yang jauh berada didasar kepalaku.
“hei bro” suara yang datang dari belakang bersamaan dengan tepukan dibagian pundak sebelah kiriku.
“oh hai”
“sedang apa?”
“jangan tanya begitu, kau pengunjung baru disini”
Dan kemudian tawa pecah diantara kami.
Seperti yang kujelaskan sebelumnya, waktu sangat cepat berlalu. Pembicaraan kami sangat panjang sampai kedua jarum jam berdiri tegak menunjuk keatas.
“Terima kasih bro” Aku sambil berdiri isyarat ingin segera beranjak
“apanya”
“sudah membangunkanku dari mimpi buruk”
“mimpi buruk? Kamu bicara apa”
“tidak ada, makasih sudah telepon tadi pagi”
“Aku tau, Wanda kan?”
“bisa tidak, tidak bahas Wanda”
“kamu yang memancing, kamu memang selalu lemah kalau tentang Wanda.”
“Aku sudah rela” pelanku sambil duduk kembali
“Kita berteman sudah sejak SMP, sampai di DO dari kampus juga sama-sama, mainnya juga masih disini-sini saja, kalau tidak di sini ya di cafe sebelah. Iya kan? Tidak ada gunanya bohong sama Aku.”
“Wanda mau nikah”
“Dan kamu tinggalkan dia? Begitu? Terus masalah selesai? Jangan lari bro”
“Tapi dia yang suruh Aku mundur”
“Tapi kamu sayang sama Wanda kan? Besok Aku yang antar paket. Kamu cari Wanda”
“Aku tidak yakin”
“jangan terlalu dipikirkan, perasaan itu cukup dirasakan saja. Tidak ada kata terlambat bro” meyakinkanku sembari bergerak pergi meninggalkanku.
Angin menghembus pelan seolah mengerti situasi hatiku saat ini. Memori yang jauh kuarsipkan keluar satu persatu seperti menuntut kejelasan. Entah mengapa setiap kupikirkan, semuanya membingungkan. Entah Wanda, ataupun Aku, tidak ada kejelasan. Apakah aku gila? Karena menuntut perasaan dari wanita yang ingin menikah?. Ataukah Wanda yang gila? Karena menanam rasa pada orang lain sedangkan dia sendiri sudah ingin menikah?. Tidak ada kejelasan. Sepertinya benar, perasaan hanya untuk dirasakan tidak untuk dipikirkan. Sapardi pernah bilang, mencintai dengan sederhana adalah cara mencintai yang paling rumit. Tidak ada hubungannya, tapi Aku suka kata-kata itu.
Tut… tut… tut… (dering telepon keluar)
“Halo wanda”
“iya”
“Aku mau ketemu”
…
…
Tut (telepon terputus)
***
Angin menembus masuk jendela kamarku yang setengah gelap. Lampu menyala dalam kondisi remang-remang di atas kepalaku. Aku terduduk menatap lurus kedepan memperhatikan sesosok pria yang tampak begitu menyedihkan. Wajahnya lusuh, rambutnya tak beraturan, tatapannya kosong, dan anehnya lagi pria itu menitikan air mata. Angin kembali menghembus kencang, sepertinya cukup untuk membuat mata berair. Kutinggalkan pria tadi sambil menyeka mataku yang basah, kuraih jendela, kututup rapat-rapat, lalu keluar untuk menjalani takdirku.
Untuk beberapa bulan terakhir, ini kali pertama Aku harus bertemu lagi dengannya. Aku harus tetap pada tujuanku, semuanya harus jelas. Sekarang Aku disini, disebuah bangku dengan gaya 80-an menunggu takdir membawa masa lalu yang memegang kunci dari semua teka-teki ini. Segalanya sudah kupersiapkan dari A sampai Z, setidaknya sampai dia datang Aku masih bisa berpikir jernih.
“sekarang apa?” Wanda membuka pembicaraan setelah hening sekitar setengah jam
“aku sayang kamu Wanda”
“Aku juga sayang kamu, sebagai teman”
“jelaskan”
“dari awal kita tidak pernah terikat”
“tapi kita pernah bilang, kalau kita saling cinta”
“ya. Iya benar. Kita saling cinta sampai sekarang. Tapi Aku tidak pernah menjadi pacarmu”
“jadi selama ini, kenangan kita, semua yang sudah kita lakukan. Itu untuk apa?”
“waktu itu, kamu bahagia, Aku bahagia. Kamu masih bertanya itu untuk apa?”
Aku hanya diam. Rencanaku gagal. Sampai sekarang tidak ada apapun yang jelas. Hening kembali datang menggantikan percakapan kami. Aku kembali melihat sosok pria menyedihkan yang sering di kamarku, namun berbeda, saat ini kulihat dia didalam kepalaku. Wajahnya, rambutnya, tatapannya, masih sama. Pria itu juga masih menitikan air mata, seakan mengikuti Wanda, yang perlahan mulai menangis dihadapanku. Malam ini angin tidak mampir, seolah mengerti kami tidak ingin diganggu. Tapi sepi datang, mereka beramai-ramai mengelilingi kami. Membuat jarak antara kami. Menghalau dunia luar yang masuk ke percapakan kami.
“tau tidak? Kenapa Aku mengambil jurusan sastra jerman?” Wanda kembali membuka pembicaran, yang kelihatannya berbeda dari topik sebelumnya.
“iya, kamu pernah bilang. Kamu masuk sastra jerman untuk mengikuti Ayahmu”
“benar, Aku ikuti jalan Ayah. Dia pria pertama yang kukenal, dan membuatku jatuh cinta padanya sampai sekarang. Sosok bertubuh besar dengan hati yang lembut, menjadi figur Ibu disaat bersamaan. Dia yang satu-satunya kupunya, begitupula Ayah, dia cuma punya Aku. Tapi Ayah tetap membiarkanku bebas melakukan apa yang Aku mau. Setidaknya, selagi dia masih hidup, Aku mau sekali saja, sekali saja. Mengikuti apa yang dia inginkan.”
Aku menyimak kisah yang diperdengarkan Wanda, sangat menyimak. Aku mencoba mencerna maksud ceritanya sebelum berkomentar. Dan aku tersadar, di kesempatan ini, Wanda tidak memerlukan umpan balikku, dia butuh didengarkan, dia butuh seorang pendengar. Aku hanya diam, mendengar, dan mencerna. Sampai Wanda memulai kembali bercerita soal dirinya.
“Kamu tau arti kata Wanda?”
Aku hanya menggeleng mengisyartkan tidak tau.
“Ayah pernah cerita, kalau Wanda itu dalam bahasa Jerman artinya pengelana. Saat memberiku nama, Ayah berharap, Aku dapat melakukan apapun yang Aku inginkan, kemana saja, semauku, tanpa tergantung orang lain. Hanya tergantung Aku, tergantung isi hatiku. Harapan kecil itu, harapan yang sudah ditanam sejak lama itu, harus Aku ciptakan sendiri. Aku harus membuat Ayah bahagia, Aku sebagai pengelana kecilnya.”
Aku merasa aneh. Perasaan ini baru saja muncul. Mirip seperti bertanya apakah yang gila Aku atau dia. Aku bingung, Wanda baru kali ini berbicara seperti ini. Terasa seperti menyampaikan pesan yang ada di lubuk hatinya yang paling dalam. Aku merekam semuanya, kusimpan baik-baik dikepalaku. Mata sedihnya yang berair, bau parfumnya, keringatnya, kehangatannya. Aku seperti buta selama ini, Aku baru saja melihat Wanda yang sebenarnya. Aku baru saja mengenal dia, baru beberapa detik yang lalu.
Wanda bergerak pergi meninggalkanku. Semuanya masih sama, abu-abu. Tapi, Aku seperti menemukan setitik cahaya, cukup untuk semakin memperjelas warna abu-abu ini. Dengan spontan Aku berdiri, beranjak berlari mengejar Wanda yang sudah berbelok. Aku ikut berbelok ke jalan yang sama. Dan kutemukan kehangatan setelah berbelok, hangat yang sedikit basah dibagian dadaku, air mata Wanda menjatuhi dadaku. Bisa kurasakan, hangatnya. Pelukan yang terasa berbeda, tapi dengan orang yang sama.
Aku paham, kami manusia yang dilahirkan untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku membiarkanmu masuk disaat sebenernya kamu telah pergi. Malam ini, Aku datang untuk membuat hatiku hancur kedua kalinya pada orang yang sama. Tapi Aku yakin, Kamu sama terlukanya denganku. Karena konsekuensi terbesar dari jatuh cinta adalah jatuh tanpa cinta.
Waktu tetap sama, tidak berubah sedikitpun. Berlalu dengan cepat, meninggalkan kisah yang terasa baru saja terjadi. Terkadang dengan kejamnya menyeret maju cerita-cerita lampau yang telah dilalui. Keseharianku berjalan seperti biasanya, mengantar paket dari rumah ke rumah yang lain, minum kopi vietnam di beranda luar, dan berhadapan dengan pria menyedihkan di kamar setiap malam.
Ting… ting… (bel rumah)
Rumah besar dengan aksen warna putih yang kuat. Dengan ornamen yang berbau seni dipasang disekitar gerbangnya menunjukkan bahwa pemiliknya pasti orang yang suka-suka dan semaunya. Situasinya tenang, juga hangat karena hawa aspal yang naik ke udara.
“iya, ada yang bisa dibantu?”
Wanita dengan usia sekitar 25 tahun dengan atasan cokelat yang menutup sampai dibawah lututnya keluar menghampiriku disisi lain gerbang rumah.
“ini Bu, ada paket”
“oh, atas nama siapa?”
“paketnya kereta bayi dari toko baby care, penerima atas nama Bapak Helmi, Bu.”
“akhirnya, kedatanganmu sudah kutunggu-tunggu”
Wanita itu memandang, tidak secara keseluruhan, dia memandang fokus pada mataku. Aku bisa merasakannya, kehangatan yang sama seperti waktu itu. Mata sedihnya yang mulai meneteskan air mata, Aku bisa melihatnya. Bau ini, bau yang juga sama, parfum yang sama persis, Aku bisa menciumnya. Sekarang Aku mengenalnya, jelas. Tidak ada lagi si abu-abu, jelas. Situasi ini, sangat nyaman. Sangat hangat. Pasti menyenangkan bertemu dengan orang yang telah menghancurkan hatimu dua kali.