web analytics
header

Peluit di Saku Ayah

IMG_20200208_195319
Google.com
Oleh :

Hanifah Ahsan

(Pemimpin Redaksi LPMH-UH Periode 2019-2020)

Matahari gagal terbit dengan sempurna. Terangnya terhalang dengan bendungan awan yang sama sekali tak memberi kesan hangat, tak ada suasana lain selain dingin yang menyelimuti setiap pergerakan manusia di pagi ini.

“Nah sudah siap.” Seorang wanita paruh baya dengan senyum cantik miliknya karena berhasil memakaikan jaket kesukaannya kepadaku, sang anak.

“Ayo, anak cantik ayah.” Ajakan sosok lelaki pembawa kebahagian di Keluarga kecilku.

Hap, begitu kiranya suara yang ayah keluarkan setelah berhasil menggendong dan menaruhku tepat di depan tubuhnya, dibelakang setir motornya. Kadang diselingi “Ayo kita berangkat”.

“Jangan nakal di tempat ayah,Yah. Anak Ibu kan pintar.” Sembari mencubit pipiku.

Ibu menyalami Ayah, Aku salim pada Ibu. Pagi yang hangat untuk cuaca yang cukup dingin.

Ikut Ayah bekerja adalah kegiatan paling menyenangkan bagiku. Bertemu dengan bermacam-macam kelakuan dan sikap manusia seakan menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang arti kehidupan. Terlebih, aku cukup senang, melihat Ayah yang terkenal di tempat kerjanya.

“Pagi,pace.” Salah satu sapaan hangat yang selalu kudengar setiap mengikuti Ayah bekerja. Tak sekali atau seorang, tak pula hanya lelaki saja, berkali-kali, oleh Laki-laki jua Perempuan, saking seringnya, Ayah kadang hanya membalas dengan senyuman yang menurutku sangat ramah. Pace adalah sebutan Ayah di tempat kerja, aku tak paham kenapa ia dipanggil dengan sebutan itu. Tapi hampir setiap orang yang menyapanya menyebutkan sebutan itu.

“Anak Ayah duduk manis disini dulu yah, Ayah mau Kerja dulu.” Ayah menggendong dan menempatkanku disalah satu kursi yang ada disekitarnya. Kupandangi punggung ayah perlahan menjauh dariku. Ia benar-benar sedang bekerja.

Prruiit Pruitt suara khas yang selalu kudengar setiap Ayah mulai bekerja. Suara Peluit yang cukup membuatku senang. Tentu saja, Peluit itu Ibu dan aku belikan sebagai kado ulang tahun Ayah beberapa tahun yang lalu saat ia resmi diterima ditempat kerjanya saat ini. Ayah selalu mengaku, itu adalah hadiah yang sangat ia sukai.

“Jangan disitu, disini masih banyak yang kosong”

“Yah, terus masuk lagi.”

“Mundur poll

“Gas terus”

“Maju terus..”

“Banting kiri..”

“Oke, Hop.”

Semua kata-kata itu Ayah ucap selagi bekerja. Seakan sudah menjadi pesan yang secara otomatis terkirim, semua itu terucap juga secara otomatis dan diselingi dengan suara nyaring peluit yang selalu ia gantung dekat saku kiri Seragamnya.

Bagian terindah lainnya saat menemani Ayah bekerja ialah waktu istirahat. Biasanya, aku dan Ayah akan memakan bekal yang sudah Ibu siapkan untuk kami berdua. Selain berhemat, masakan Ibu memang terbaik bagi kami, terlebih dimakan saat Ayah sedang kelelahan bekerja. Meski begitu, tak jarang Ayah mendapat bungkusan camilan atau bahkan makanan berat dari kenalan-kenalan Ayah. Atau orang-orang yang sering menyapanya, “Buat Arin, pace” kiranya begitu alasan orang-orang yang memberikan makanan pada kami.

“Arin suka ikut Ayah kerja?” tanya Ayah ditengah makan siang kami, ku balas dengan anggukan.

“Gak capek?” kali ini ku balas dengan gelengan.

“Arin mau disini kayak kakak-kakak yang selalu memberikan makanan, biar bisa sama Ayah terus.” Jawab ku dengan mulut yang melahap habis makanan.

“Ayah yakin Arin bisa Kuliah disini. Anak Ayah kan pintar.” Ucap Ayah sembari mencubit pipiku. Meski aku tidak mengerti apa maksud kata Kuliah yang Ayah bilang.

“Nah, Ayah balik kerja dulu yah.” Ayah sembari membereskan sisa makan siang dan memakai kembali baju seragam yang sengaja ia lepas saat makan, agar makannya lebih nikmat, kata Ayah.

Setelah menghabiskan waktu seharian untuk melihat Ayah bekerja, aku akan pulang dengan cerita berapi-api sepanjang perjalanan pulang.

“Arin.” Panggil Ayah tiba-tiba saat kami sedang membereskan barang sebelum pulang.

“Iya,Yah?”

“Arin tau apa yang paling membahagiakan setiap ayah bekerja?”

Aku menggelengkan kepala. “kakak-kakak yang selalu memberikan kita makanan?”

Ayah tertawa tipis. “Bukan, Nak.”

“Lalu?”

“Karena setiap kerja, Ayah membawa ini.” Ayah menunjukkan pluit miliknya. “Ini Arin dan Ibu yang belikan,kan. Waktu Ayah baru diterima kerja di tempat ini. Waktu itu, Ayah tidak pede dan takut, kalo Arin akan malu punya Ayah yang kerja ditempat ini. Tapi saat Arin membelikan kado ini, Ayah senang, karena Arin bangga sama Ayah.” Suara Ayah mulai mengecil.

“Setiap memegang Pluit ini, ia akan langsung mengingatkan kepada Arin dan Ibu yang selalu ada menunggu Ayah pulang. Saat Arin tidak ikut Ayah kerja, Ayah akan tetap terasa dekat dengan Ibu dan Arin. Terimakasih ya, Nak.” Ayah mencium dahiku.

Aku hanya bisa memeluk Ayah, meski aku tak terlalu mengerti apa yang Ayah maksud, tapi Aku bisa merasakan Ayah sedang bersedih. Dan kata ibu, cara menghibur Orang yang bersedih adalah dengan memeluknya.

~~~~~~~

Matahari gagal terbit dengan sempurna. Terangnya terhalang dengan bendungan awan yang sama sekali tak memberi kesan hangat, tak ada suasana lain selain dingin yang menyelimuti setiap pergerakan manusia di pagi ini.

“Nah sudah siap.” Seorang wanita paruh baya dengan senyum cantik miliknya karena berhasil memakaikan jaket kesukaannya kepadaku, sang anak.

“Arin pergi dulu bu.” Pamitku dibalas dengan uluran tangan yang meminta disalim.

Aku salim pada Ibu, Ibu mengecupku, pagi yang hangat untuk cuaca yang cukup dingin.

 

Related posts:

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

DESEMBER KESEKIAN

Oleh: Nur Fadliansyah Abubakar & A. Wafia Azzahra Makin perih namun teriris Semakin diam semakin sakit Lelah batin Ingin mati

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup