web analytics
header

Tanpa Kasih

Google.com

Google.com
Google.com

Oleh :

Nur Hikma HS

(Redaktur pelaksana LPMH – UH Periode 2019 – 2020)

Pagi menjelang, aku menuruni tangga rumahku dengan kesunyian yang ada dimana-mana. Tak ada seorangpun penghuni rumah yang nampak berkeliaran. Mungkin mereka belum bangun ataupun sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja ataupun kuliah. Lantas, akupun bergegas berangkat kesekolah tanpa repot pamit dengan orang rumah. Aku bersikap seperti itu, sebab itu bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam lingkup keluarga ini.

Menurutku rutinitas sarapan pagi ataupun tradisi pamit sebelum pergi dengan mencium tangan orang tua hanya dilakukan oleh para keluarga bahagia. Tak seperti dengan keluargaku yang kacau balau. Mereka semua tak suka dengan hal-hal yang merepotkan diri mereka. Mereka menganut prinsip pergi jika ingin pergi, makan jika ingin makan, dan tidur jika ingin tidur tanpa harus sibuk memberitahu yang lain dan mengusik urusan mereka.

Dalam rumahku ada empat orang anggota keluarga. Ada aku, Kak Tito, serta kedua orang tuaku. Dan tak ada satupun diantara mereka bertiga yang saling mempedulikan satu sama lain. Kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri. Pergi pagi, pulang malam. Mereka berdua seperti tak mempunyai seorang anak yang perlu untuk dikhawatirkan. Yang terpenting bagi mereka adalah mencari uang sebanyak mungkin, sementara anak hanya perlu untuk bersekolah tanpa banyak protes.

Dan disinilah aku, yang menjadi korban dari mereka. Setiap hari hanya perlu untuk pergi kesekolah, pulang, dan kemudian belajar sebanyak mungkin. Aku tidak mempunyai seorang teman. Karena aku benci dengan setiap orang yang kesetiaannya tak dapat dijamin dengan pasti bahwa dia akan berada disamping kita selama-lamanya. Anggap saja yang namanya sahabat sejati itu hanya ada dalam cerita dongeng fantasi anak.

Selama ini, aku tak pernah protes pada mereka bertiga dengan ketidakadilan ini. Karena aku tahu diri, jika aku hanya seorang anak angkat dari mereka. Aku tidak berhak untuk marah pada mereka atas gaya hidup yang terasa seperti neraka.

Waktu itu, aku diadopsi oleh Mama saat berumur 7 tahun karena ia menginginkan kehadiran seorang anak perempuan. Papa sendiri jarang berbicara denganku dan cenderung mengabaikanku. Dari sorot matanya selama aku dibesarkan dalam keluarga ini, aku tahu  jika dia tak pernah suka dengan keberadaanku. Maka dari itu, aku hanya bersikap menutup mata dan diam seribu bahasa tiap kali aku dan beliu berpapasan. Hanya Mama yang ada dipihakku dengan titik kejenuhan yang saat ini berada dipuncaknya. Dia dulu menyayangiku dan sekarang telah bosan denganku hingga tak lagi memperdulikan aku.

Saat aku berada diambang pintu keluar rumah, aku melihat Kak Tito sedang mengecek motor besarnya. Aku dan Kak Tito jarang  bercengkerama satu sama lain. Karena aku tahu jika Kak Tito juga mewarisi sifat Papa yang tidak suka dengan orang asing seperti aku.

“Kak, Elisa boleh numpang buat kesekolah gak?” Tanyaku dengan hati-hati padanya, takut mengganggu.

“Gak bisalah! Hari ini tuh kakak mau berangkat kuliah bareng kak Tasya. Jadi kamu berangkat sendiri aja. Kamu gak usah jadi anak yang manja ya!” Balas Kak Tito dengan suara yang lebih mirip gertakan tanpa menatap ke arahku, dia hanya fokus dengan pekerjaannya.

Aku hanya mampu meringis sedih tak kala permintaanku ditolak mentah-mentah oleh Kak Tito. Aku tahu dia tak akan menurutinya karena dia akan pergi dengan pacarnya, Kak Tasya. Dan kenyataannya selama ini dia memang selalu mengabaikanku. Aku bersyukur karena dia masih mau menjawabku daripada tidak sama sekali. Dengan langkah berat akupun akhirnya berangkat kesekolah seorang diri.

Menyusuri jalanan kota dipagi hari dengan orang-orang yang berlalu lalang, dengan jumlah yang masih sedikit. Aku sadar, kalau saat ini masih sangat pagi untuk kesekolah dan belum waktunya jam sibuk berdetak.  Namun, aku hanya ingin segera pergi kesekolah daripada berlama-lama dirumah yang memiliki aura dingin bersama orang-orang yang merugi tanpa kasih.

Aku mengedarkan pandangan kesegalah arah, mencoba untuk mencari keberadaan angkutan umum yang biasa beroperasi dilingkungan sekitar sini. Beberapa kali pula aku melirik kearah jam tanganku untuk sekedar memastikan jam berapa sekarang. Tapi, aku merasa jika ada yang janggal dengan diriku. Sejak tadi, firasatku mengatakan bahwa seseorang terus mengikutiku. Maka akupun memberanikan diri untuk mengeceknya sendiri dengan menoleh kebelakang, namun tiba-tiba saja seseorang membekap mulutku dengan kain dan berakhir dengan kegelapan yang mengelilingi indera penglihatanku, aku tidak sadarkan diri lagi.

Hal pertama yang aku lihat saat aku tersadar yaitu keberadaan debu dimana-mana serta cahaya remang-remang yang berasal dari luar. Ketika aku mencoba untuk bergerak, aku juga baru sadar jika sekarang kedua tangan dan kakiku sedang diikat. Aku mencoba untuk berteriak meminta tolong, akan tetapi naas suaraku tak dapat keluar karena mulutku juga ikut di bekap. Dan untuk kesekian kalinya aku kembali sadar, jika aku telah diculik saat ini.

“Jika kalian ingin anak kalian kembali dengan selamat maka serahkan uang senilai 1 milyar,” ucap seseorang dari luar ruangan dengan suara baritone khas orang dewasa. Orang itu sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telpon.

“Jangan coba-coba untuk datang dengan polisi atau kalian tidak akan pernah melihat anak kalian lagi,”  orang itu menggertak dan akhirnya menutup sambungan teleponnya. Setelah itu dia berjalan masuk keruangan tempat aku dikurung.  Dia memandangku dengan seringaian iblisnya.

“Kita lihat apa orang tuamu itu akan menebusmu atau tidak. Jika saja Ayahmu itu tidak mencari gara-gara denganku. Mungkin saja aku tidak akan menculikmu, tapi dia terlalu sombong dan aku tidak suka dengannya. Aku tidak sabar melihat bagaimana ekspresinya saat kamu aku kembalikan padanya dengan kondisi tidak bernyawa lagi, atau mungkin tak pernah muncul lagi, hahahah.”  Ujar pria dengan tattoo yang menghiasi lengannya. Di akhir kata dia tertawa syetan. Dan berlalu meninggalkanku.

Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sambil membalas dendam, pria itu juga ingin menguras harta milik Papa. Kedua mataku sukses membulat dengan sempurna. Apa itu berarti pada akhirnya aku akan mati? Mati karena rasa dendamnya pada Papa? Benarkah? Aku menatap kepergiannya sambil mencoba untuk berteriak sekencang mungkin dan meronta sebisa mungkin agar terlepas dari jeratan tali yang mengikatku dengan erat.

Aku ingin bilang padanya jika aku hanyalah anak angkat Papa. Tapi aku tidak bisa. Mengapa aku yang harus menanggung setiap hukuman Papa? Dia bahkan tak pernah sekali waktupun peduli padaku dan hanya menganggapku tidak ada. Lantas mengapa Tuhan menyalahkan ini semua padaku? Dengan hati yang terluka, aku menangis dalam diamku sambil meratapi setiap nasib buruk yang menimpah hidupku. Ditinggalkan dipanti oleh ibu kandung sendiri, kemudian diadopsi oleh keluarga yang kaya namun kurang perhatian dan ujung-ujungnya mati dengan sia-sia. Saat aku memikirkan semua itu, tanpa sadar aku terlelap dengan air mata yang masih belum mengering.

Keesokan harinya saat aku terbangun, aku telah dipindahkan ketempat yang berbeda dengan sebelumnya dan kondisi yang masih terikat seperti kemarin. Yang berbeda adalah aku terikat diatas tanah dengan jurang curam yang menganga dan dalam dihadapanku. Pria itu memandangku dengan seringaian khasnya. Ditangannya terdapat ponsel yang sepertinya sedang tersambung dengan seseorang.

“Wirawan, karena kau tidak kunjung membawa tembusan itu, maka apa boleh buat anak perempuanmu ini harus kau ikhlaskan. Namun satu hal yang harus kau ingat, jika kematian anakmu ini karena kesalahan dirimu dimasa lalu” Dengan senyuman bangga pria itu berbicara dengan Papa.

“Raihan! Dia hanyalah anak angkatku dia tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan dia!” Balas Papa, aku dapat mendengar ledakan emosinya karena pria itu me-loadspeaker pembicaraannya bersama Papa.

“Oh, jadi dia anak angkatmu? Sayang sekali, seharusnya aku menculik anak laki-lakimu juga beserta istrimu. Namun tak apa, yang terpenting dendamku dapat terbalas sedikit. Oh ya, kau ingin bicara dengan anakmu?” Pria itu menyodorkan ponselnya padaku dan melepas ikatan yang membekap mulutku.

“Papa!” Jeritku dengan tangis yang pecah.

“Elisa…” Ucapnya dengan lirih. Itu kali pertama beliu memanggil namaku, dan aku terharu.

“Pa, maafin Elisa selama ini karena udah nyusahin Papa. Elisa sayang dan cinta sama kalian semua. Terima kasih untuk waktu sesaat yang kalian kasih buat Elisa…” Pria itu segera menarik ponselnya dan memutuskannya. Dia menatapku dan mendorongku dengan beringas,

“Sudah cukup basa-basinya. Selamat tinggal, gadis kecil”

Dia melemparku kedalam jurang itu tanpa rasa kasian sedikitpun. Aku hanya mampu menutup mata saat eksekusi kematianku dilakukan. Dengan tubuh melayang diudara, aku menikmati detik-detik kematianku. Hingga akhirnya aku mencapai dasar jurang itu dan terhempas berkeping-keping. Tubuhku mati rasa, dan untuk sesaat setelahnya rasa sakit yang hebat menjalar keseluruh bagian tubuhku. Hingga ke ulu hatiku, akhirnya aku mati dengan sia-sia. Dan dengan jasad yang sepertinya tak akan pernah ditemukan.

Takdir sepertinya tak berada digaris keberuntungan untukku. Sedikitpun tak ada hal manis yang dapat dikenang dalam hidupku. Mungkin ini memang jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan dan aku hanya harus menjalani semuanya dengan hati yang lapang. Selamat tinggal semuanya… Aku akhirnya menghilang dari kehidupan kalian untuk selama-lamanya.

Related posts:

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup

Temu

Penulis: Wriftsah Qalbiah (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Semilir rindu menaungi langkahku, Membawaku pada ruang sepi yang menanti sebuah temu. Bayangmu

Menumpang Tanya

Oleh: Athifah Putri Fidar Di atas bus yang berguncang lembut,kita berdiri bersebelahan,namun dengan debaran jantung yang tak seiramseperti dua ritme