web analytics
header

Teman Tidur

Google.com

Google.com
Google.com
Oleh :

Hanifah Ahsan

(Pemimpin Redaksi LPMH – UH Periode 2019-2020)

Tempat tinggalku sedang tidak baik-baik saja. Ibu bilang, sebuah virus yang mematikan sedang mengancam kehidupan kami. Tapi, aku tak mengerti apa yang ia katakan. Ibu dan Ayah selalu melihat berita yang sama setiap harinya.  Mereka bilang, tak hanya desa kami yang bahaya, tetapi Negara juga. Ku fikir, hanya orang – orang di Ibukota saja yang sedang kesusahan, sedari dulu juga begitu. Desaku ini yang paling damai daridulu,  tak semenakutkan yang berada di berita setiap harinya.

Ayah melarangku keluar dari rumah, sudah sebulan lebih tepatnya. Meski awalnya sedikit tidak menyenangkan, tapi belakangan aku tetap merasa bahagia. Bermain di rumah maupun di luar rumah, keduanya sama saja, bagiku. Yang terpenting aku masih bisa bermain.

Seperti yang kukatakan, awalnya sangat tidak menyenangkan, untung saja seminggu sebelum Ayah melarangku bermain diluar aku bertemu dengan seorang teman baru yang sangat menyenangkan. Namanya Zein, Kami sudah sebulan lebih berteman, bahkan kami sudah sering tidur bersama. Zein bilang, ia senang bermain dirumah. Itulah sebabnya aku tidak peduli dengan Ibu, Ayah juga Negara ini sedang khawatirkan. Yang terpenting, aku masih bisa bermain dengan temanku, itu sudah cukup.

Ibu dan Ayah juga senang kalau aku hanya bermain dirumah, sempat terdengar rasa syukur oleh Ayah karena aku betah bermain dirumah. Aku juga senang, karena Ayah dan Ibu tidak pernah mempermaslahkan Zein yang sering bermain bahkan tidur di Rumah kami.

Ibu juga senang, katanya, nafsu makanku banyak sebulan belakangan, ia jadi lebih memasak dengan porsi banyak, bahkan Zein sangat senang dengan masakan ibu, sekali makan tak cukup, kata Zein. Aku selalu bahagia, jika kami semua berada di Ruang Makan.

“Ibu senang deh, Kakak sekarang makannya banyak. Jadi makin pintar, ya nak.” Ucap ibu setiap makan malam diiringi mengusap rambutku. Biasa ku balas dengan tersenyum, malu dengan Zein. Ibu biasa tetap begitu meski ada Zein.

Zein senang bercerita, sebelum tidur, ia paling sering menceritakan kisah hidupnya, lebih menarik dari dongeng – dongeng yang Ibu ceritakan biasanya. Ibu lagi – lagi senang, katanya aku semakin besar, tidak ingin lagi mendengar dongengnya. Iapun bisa langsung terlelap dikamarnya.

Kata Zein, rumahnya dekat dari rumah kami, itulah mengapa ia melihatku bermain sendirian dan mendatangiku sebulan yang lalu. Sama sepertiku, ia juga sering bermain sendirian dirumahnya, ia juga senang, saat aku bisa menjadi temannya hingga saat ini, meskipun hingga saat ini aku penasaran bagaimana keluarga Zein karena belum sekalipun kesana.

“tetap jadi temanku yah.” Ucapnya disuatu siang saat kami bermain dikamarku. Ku balas dengan anggukan senang tentunya. Untuk pertama kalinya ada yang mengajakku berteman.

Malam minggu kali ini Zein akan menginap di rumahku lagi karena tahu ia akan datang aku meminta ibu untuk masak dengan menu yang lebih banyak, tentu Ibu senang, karena aku akan makan dengan banyak. Aku juga sudah meminta Ibu tidak usah membacakanku dongeng malam ini, meski sedikit heran, ibu tetap senang, karena ia akan terlelap dengan cepat.

Ayah dan Ibu tidak boleh tahu kalo Zein datang malam ini. aku harus diam-diam membawakan Zein makanan dan berbisik sembari mendengarkan Zein mendongeng. Jelas saja, Ibu dan Ayah pernah memergokiku berbicara dengan lantang dan bahagia dengan Zein sembari bermain diruang tengah, tetapi ayah memarahiku, lalu ibu mengiraku aneh, sesekali bergumam “Anak kita sudah gila.”

 

Related posts:

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

DESEMBER KESEKIAN

Oleh: Nur Fadliansyah Abubakar & A. Wafia Azzahra Makin perih namun teriris Semakin diam semakin sakit Lelah batin Ingin mati

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup