Makassar – Eksepsi Online – (28/3) Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) melaksanakan kegiatan diskusi terbuka dengan nama kegiatan Justice Speak Up Zone dan mengangkat tema “Victim Blaming : Absensi Pembelaan Terhadap Korban Kekerasan”. Kegiatan ini dilaksanakan (28/3) melalui via Zoom Meeting.
Justice speak up zone menghadirkan 3 Narasumber yakni Tiasri Wiandani, S.E., S.H sebagai Komisioner KOMNAS Perempuan, Anindya Shabrina sebagai Advokasi Komunitas Indonesia Feminis, dan Mutiah Wenda Junior, S.H., LL.M selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, kegiatan ini di pandu oleh Andi Firyani Syabina selaku MC. Justice Speak Up Zone terdiri dari beberapa rangkaian acara diantaranya, sambutan oleh Ketua Panitia, Ketua HLSC, dan Dewan Pembina HLSC yang sekaligus membuka acara dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi public sebagai acara inti.
Dalam sambutannya, Demastia Naurah sebagai Ketua Panitia dalam Justice speak up zone menyampaikan harapan kiranya semoga kegiatan justice speak up zone ini dapat mengedukasi masyarakat khususnya dalam menanggapi isu kekerasan. dan semoga kegiatan ini dapat mengubah mindset masyarakat yang masih kurang tepat dalam menghadapi isu kekerasan.
Setelah rangkaian acara sambutan, kegiatan selanjutnya yaitu diskusi public dengan mengangkat konsep sharing session yang dimoderatori oleh Amel Ryski yang secara langsung melontarkan beberapa pertanyaan terhadap ketiga narasumber yang dihadirkan.
Pertanyaan pertama ditujukan kepada Narasumber dari KOMNAS Perempuan terkait sudut pandang KOMNAS Perempuan mengenai victim blaming dan upaya yang tela mereka lakukan, dimana mereka menganggap bahwa victim blaming menjadi isu yang sangat penting dan menjadi salah satu dasar penguatan dalam perancangan perundang-undangan, karena tidak hanya masyarakat yang terkesab menyalahkan korban tetapi juga justru aparat penegak hukum sendiri hingga akhirnya banyak korban yang memilih tidak melanjutkan pelaporan untuk meminta perlindungan terhadap kasus yang mereka alami.
“KOMNAS Perempuan telah menyediakan akses layanan yang harusnya didukung oleh akses anggaran demi berjalannya akses layanan tersebut, sehingga pemerintah perlu menaruh perhatian terhadap hal ini, pemerintah seharusnya bisa mengalokasikan anggarannya untuk akses layanan pendampingan”.
Pertanyaan selanjutnya ditujukan untuk Komunitas Indonesia Feminis terkait bentuk advokasi yang telah mereka upayakan untuk memberikan pembelaan terhadap korban kekerasan.
“Untuk penanganan victim blaming pada dasarnya sama dengan apa yang sudah dipaparkan oleh KOMNAS Perempyan tadi, yakni melakukan pendampingan terhadap korban yang telah melakukan pengaduan pada kami lewat akun social media yang telah kami sediakan. Sayangnya banyak kasus yang kurang ditanggapi dengan baik oleh aparat kepolisian karena menganggap kasus ini tidak begitu krusial. Victim blaming ini pada dasarnya terjadi karena kurangnya edukasi terhadap masyarakat maupun aparat kepolisian, sehingga kasus-kasus yang kami hadapi hanya bisa sampai pada batas curhat tidak dapat dilakukan pelaporan karena pertama pihak korban telah termanifestasi, mereka merasa takut dan cemas untuk meminta keadilan atau perlindungan hukum, karena perlakuan-perlakuan sebelah mata yang mereka terima” Terang Anindya Shabrina.
Pertanyaan terakhir mengenai payung hukum terhadap korban kekerasan diberikan kepada Mutiah Wenda Junior sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
“Dari sisi perlindungan hukum, sudah banyak aturan hukum yang mengatur hal tersebut, akan tetapi ssayangnya hukum positif di Negara kita tidak secara kompherensif dalam memberikan perlindungan hukum yang diharapkan terhadap korban kekerasan, nah karena itu maka hadirlah RUU PKS yang lebih komphernsif mengatur hal tersebut, dari RUU PKS ini sudah tertera dalam pasal terakhir mengenai asas-asas perlindungan terhadap korban kekerasan baik secara perdata maupun pidana, sehingga korban tidak perlu lagi merasa cemas untuk melanjutkan pelaporan ke pihak berwajib terkait kasus yang mereka alami. Selain itu, Edukasi terhadap pihak kepolisian menurut saya juga sangat perlu agar kiranya, pihak kepolisian memiliki mekanisme yang tepat dalam menangani kasus kekerasan ini, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh piha kepolisian tidak lagi mengarah ke victim blaming.” Jelas Mutiah Wenda
“Mengatasi victim blaming baiknya dimulai dari tingkat perguruan tinggi juga, ada baiknya setiap kampus atau perguruan tinggi hadir memberikan layanan pendampingan, agar kiranya korban-korban kekerasan dilingkup kampus misalnya bisa terfasilitasi, dan pihak perguruan tinggi juga bisa menambahkan upaya pembelaan terhadap korban kekerasan atau mengenai victim blaming menjadi kurikulum yang diajarkan, tidak hanya fakultas hukum akan tetapi wajib diketahui dan diedukasisan terhadap semua masyarakat kampus” Imbuhnya.
Justice Speak Up Zone ini ditutup setelah berakhirnya sesi sharing session oleh moderator dan sesi diskusi bersama semua peserta kegiatan.(ptg)