Makassar, Eksepsi Online – (12/4) Asosiasi Mahasiswa Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (AMPUH FH Unhas) menggelar talkshow yang merupakan program kerja rutin tahunan AMPUH guna membahas isu yang sedang ramai diperbincangkan dengan tema “Pemberlakuan Sertifikat Tanah Elektronik” pada Senin (12/4) secara daring melalui Zoom Meeting yang dihadiri kurang lebih sebanyak 125 partisipan dan dimoderatori oleh Andi Suci Wahyuni, S.H., M.Kn. (dosen FH Unhas)
Setelah Dekan FH Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. membuka acara dengan resmi, moderator kemudian mempersilakan pemateri pertama yaitu Prof. Dr. Anwar Boharima, S.H., M.H. (Guru Besar FH Unhas).
Kepastian dan Keadilan Sertifikat Tanah Elektronik
Mengawali materinya, Prof. Anwar mengatakan kepastian hak atas tanah bukan hanya dikenal setelah Indonesia merdeka, tetapi jauh sebelum itu dengan cara yang berbeda. Beliau menjelaskan pada jaman dahulu orang-orang melakukan penandaan hak atas tanah mereka melalui darah hewan yang dibaluri ke pohon-pohon sebagai pembatas.
Prof. Anwar berpendapat Permen Atr 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik kembali lagi ke jaman hukum adat sebab tidak ada lagi kertas tetapi dengan elektronik. Beliau juga mempertanyakan kesiapan masyarakat dalam regulasi baru ini.
“Siapkah kita? Itu masalahnya, karena untuk memberlakukan sebuah kebijakan itu diperlukan regulasi. Kemudian juga gimana dengan aparat pemerintah kita? Juga bagaimana dengan masyarakat? Karena kita bukan hanya kepastian tapi yang paling penting juga keadilan,” ujar Prof. Anwar.
Ia mengatakan kebanyakan orang bertengkar mengenai masalah hak atas tanah karena dimulai dengan akta. Dengan adanya beberapa ketentuan baru yang keluar, sertifikat nantinya bukan sesuatu yang memberikan kepastian.
“Problemnya adalah apakah aparat BPN di pusat, provinsi, daerah mungkin sudah siap. Kembali lagi, aparat pendukung BPN seperti camat, lurah, notaris, pengacara, apakah mereka juga sudah siap dengan cara ini? Kembali kepada masyarakat kita, apakah mereka sudah bisa atau tidak?” tambahnya.
Prof Anwar juga mengatakan belum lagi dengan proteksi. Kelemahannya dari segi teknis dan hukum. Dari segi teknis, ada bahaya dengan peretasan. Kelemahan ketentuan tertulis karena kita melakukannya dengan revolusi bukan evolusi.
“Saya bukan orang yang pesimis bahwa suatu saat memang mungkin kita harus siap dulu, jangan terlalu cepat asal ada sesuatu yang positif lalu kita respon dan sifatnya memaksa karena sesuatu yang sifatnya memaksa itu tidak bagus,” kata Prof. Anwar
Latar Belakang Sertifikat Tanah Elektronik
Narasumber selanjutnya yaitu dari Andrie Saputra Prins, S.H. (Badan Pertahanan Nasional Kota Makassar). Ia memulai dengan mengatakan penundaan sementara pemberlakuan sertifikat tanah elektronik bukan berarti tidak dilaksanakan karena melihat proyek yang akan dilakukan di daerah dengan melihat cara pelaksanaan dan mekanismenya.
Mengacu pada Pasal 175 ayat 3 UU Cipta Kerja, dalam pasal tersebut apabila sudah dibuat dalam elektronik maka tidak lagi dibuat dalam tertulis.
“Cuma memang yang berkembang dari rapat tersebut bahwa bagaimana kesiapannya? Bagaimana pengamanannya? Memang yang jadi polemik itu di Pasal 16 ayat 3 Peraturan Menteri Kepala BPN 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik,” ujar Andrie.
Dalam Permen tersebut, Kepala Pertahanan menarik sertifikat untuk disatukan buku tanah dan disimpan pada Kantor Pertanahan. Andrie menceritakan latar belakang alasan sertifikat elektronik sebab efisiensi dan transparansj pendaftaran tanah perlu ditingkatkan. Saat ini sudah banyak hal-hal yang menjadi elektronik. Meskipun banyak kendala dalam sosialisasi ke masyarakat, namun secara keseluruhan sudah berjalan lancar dan baik.
“Jadi seperti hak tanggungan elektronik, pengecekan elektronik, surat keterangan pendaftaran elektronik, dan pelayanan zona nilai tanah sudah elektronik semua,” ucap Andrie.
Salah satu jenis permohonan atau produr dari Kantor Pertanahan adalah penggantian sertifikat karena hilang. Dengan elektroniksasi ini, tidak perlu khawatir lagi karena data sudah ada di BPN. Inilah yang menjadi salah satu tujuan dan manfaat sertifikat tanah elektronik diberlakukan dengan garis bawah yang sangat tebal ketika infrastruktur dan kesiapan sudah memumpuni.
“Pemberlakuan sertifikat tanah elektronik ini entah apakah bersamaan pandemi covid atau tidak, itu akan mengurangi tatap muka 80% jika kita melihat sisi kesehatannya,” ujarnya.
Menutup materinya, Andrie menyatakan evolusi perkembangan teknologi dalam 25 tahun terakhir sudah mengarah ke elektronik. Paperless merupakan hal yang sudah lama direncanakan oleh pemerintah dilihat dari isu lingkungan. Tapi hal ini akan lebih memudahkan nantinya walaupun tidak ada perubahan yang langsung diterima 100%.
Bagaimana Pandangan Notaris Menanggapi Hal Ini?
Beralih pada narasumber berikutnya yaitu Irma Devita, S.H., M.Kn. (Notaris dan Founder IDLC). Berhadapan di masa depan, tanah akan suatu saat akan berkurang bahkan mungkin akan habis. Di Indonesia, kepemilikan tanah meliputi seluruh bagian bersama, tanah bersama dan benda bersama. Akan tetapi dengan adanya UU Ciptaker, konsepnya murni diubah.
Di masa akan datang para notaris akan membuat sebuah akta tentang kepemilikan hak di atas hak. Siap atau tidak bahwa ke depannya kita akan berhadapan dengan konsep kepemilikan tanah yang berbeda. Bisa jadi, nanti kepemilikan atas tanah dan kepemilikan apa yang ada di atasnya akan diinput berbeda.
“Sertifikat elektronik itu tidak melulu hanya terdiri dari sertifikat yang satu lembar saja, melainkan termasuk ada gambar ukur, peta bidang, peta ruang, surat ukur, gambar denah, dan dokumen lainnya,” ujar Irma.
Sertifikat hak milik sebenarnya terdiri dari rangkaian pemindahan yang ada ada di akta tertulis ke elektronik. Sertifikat elektronik ini bertujuan untuk lebih memetakan dan memudahkan bagi proses kepemilikan tanah yang nantinya tidak akan sederhana seperti sekarang sebab sekarang ini hanya berupa suatu sertifikat yang single.
“Kita sebagai praktisi hukum nantinya akan membuat akta-akta terkait dengan adanya pembebanan di atas tanah dan pembebanan lagi di bawah tanah dan itu juga nantinya terkait investasi asing,” ucapnya.
Beliau juga mempertanyakan apakah ini berarti konsep hukum tanah di Indonesia akan berubah dari semula konsep pendaftaran yang sifatnya negatif tetapi mengandung unsur positif menjadi di konsep pendaftaran tanah yang positif seperti di Jepang. Jika memang hal ini bisa dijadikan konsep positif dapat membantu mengurangi adanya tumpang tindih kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum yang lebih kepada pemilik tanah termasuk juga terkait dengan investasi asing.
Mengenai keamanan mengacu pada data Indonesia Security Condition, pada prinsipnya setiap harinya ada 3,3 juta cyber attack di Indonesia dengan peringkat keempat di dunia untuk cyber security attack. Dimana Indonesia hanya memiliki 9 regulasi yang berbicara tentang data keamanan dan hanya dua UU yang mengatur tentang keamanan dan hanya UU yang spesialis tentang data keamanan.
Sebagai penutup, Irma menyampaikan dalam era industri 4.0 telah terjadi distrupsi yang besar-besaran khususnya di bidang regulasi teknologi yang mengakibatkan notaris pejabat pembuat akta tanah juga para praktisi lainnya harus mulai tergopoh-gopoh menyesuaikan diri karena aturannya sangat berbeda terutama di bidang pertanahan. Dengan adanya UU Ciptaker, konsep hukum pertanahan telah terjadi revolusi yang cukup mendasar dan itu harus bisa dicermati sebagai seorang praktisi dan akademisi.
Sahkah Dokumen Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan?
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, narasumber selanjutnya ialah Dr. Hj. Nirwana, S.H., M.Hum. (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu). Beliau memulai dengan mengatakan melalui persetujuan para pihak barulah bukti secara elektronik bisa dilaksanakan. Tidak bisa dipungkiri, dari sekian gugatan yang masuk, hampir 50% terkait dengan tanah.
“Kenapa demikian? Mungkin benar yang dikatakan tadi dari BPN karena tanah segitu gitunya sementara yang membutuhkan tanah begitu banyaknya,” ujarnya.
Meskipun peraturan menteri agraria ini belum diberlakukan tetapi Mahkamah Agung harus mempersiapkan diri. Terkait dengan dokumen elektronik dalam pasal 137 HIR/163 RBG ada hak pihak lawan untuk meminta diperlihatkan bukti tersebut. Mengenai pengaplikasian pasal itu harus dipersiapkan matang dari sekarang.
Beliau mengatakan Mahkamah Agung sejak sekarang ini sudah mulai memikirkan tentang masalah yang akan muncul terkait dengan kemunculan peraturan agraria tersebut jika bukti yang diberikan adalah sertifikat elektronik. Peran dan fungsi dokumen elektronik fungsinya sama yaitu merupakan bukti sempurna sepanjang pihak lawan tidak bisa membuktikan kebenaran sertifikat tersebut.
Pasal 5 UU informasi dan transaksi elektronik sudah mengatur bahwa bukti elektronik adalah bukti yang sah namun masih banyak rentetan pasal-pasal di belakangnya yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan sebagai bukti yang sah.
“Bagaimana teknik menyampaikan ke pihak lawan bahwa ini loh bukti saya apakah kita harus membuka dengan saran seperti yang ada sekarang? Ini semua harus kita pikirkan bersama,” tanyanya.
Beliau juga menambahkan seandainya peraturan agraria ini sudah mulai berlaku, Mahkamah Agung akan membuat satu regulasi berbentuk Perma agar rekan-rekan di pengadilan negeri tidak bingung dalam menghadapi permasalahan pembuktian dokumen elektronik.
“Mudah-mudahan dokumen elektronik ini membuat atau lebih menjamin hak kepemilikan seseorang,” harapnya.
Mahkamah Agung sudah menempuh beberapa cara terkait dengan sertifikat tanah yang bisa jadi bukan hanya masalah mengenai keperdataan saja akan tetapi juga bisa muncul terkait dengan permasalahan pidana.
Tanggapan Pengacara terhadap Pemberlakuan Sertifikat Elektronik
Melangkah ke narasumber terakhir yaitu Imran Nating, S.H., M.H (Lawyer dan Founder Imran Nating and Partners). Ia mengatakan sebenarnya tidak ada hal yang baru dari elektronik ataupun tidak apalagi dari keputusan menteri sudah ditegaskan ada perluasan barang bukti sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
“Jadi sertifikat elektronik mustinya bukan problem tapi iya BPN dan kita berharap dengan ditundanya pemberlakuan sertifikat elektronik ini mudah-mudahan aturan turunannya dirapikan,” ujar Imran.
Ia juga berharap BPN dan Mahkamah Agung bersama-sama duduk berdiskusi membahas mengenai hal ini. Jika hal tersebut bisa terpenuhi maka dari pihak pengacara hal ini bukan menjadi masalah karena pada prinsipnya pengacara adalah menegakkan aturan yang sudah ada. Pengacara tidak akan mungkin membela atau menggugat berbeda dari ketentuan main yang sudah ada.
Beliau juga yakin bahwa BPN pasti tidak akan mengeluarkan dokumen atau sertifikat elektronik jika tidak ada backup data dan pastinya ada buku secara manual mengantisipasi jika error atau ada hacker yang masuk. Benar jika kebijakan ini akan lebih mempermudah dengan melihat fakta-fakta yang ada seperti jika terjadi kebakaran atau dimakan rayap dan penggandaan sertifikat.
Secara umum ia berpendapat bahwa hal ini merupakan terobosan yang luar biasa, hanya saja jangan sampai hal ini hanya pencitraan lembaga sektoral atau instansi pemerintah tanpa koordinasi dengan lembaga terkait bagaimana pembuktian pidananya nanti dimudahkan atau tidak oleh BPN. Jika koordinasi dengan aparat yang lain telah bagus, maka dengan elektronisasi sertifikat ini akan sangat membantu dan memudahkan masyarakat. (csb)