Dibuat oleh:
Jessica Dena Dethan
Sahabat itu apa?
Aku kurang mengerti akan arti persahabatan. Sering kulihat beberapa orang saling berbagi kisah mereka dengan orang lain, yang mereka sebut dengan sahabat. Awalnya, aku tidak mengerti akan persahabatan itu. Aku hanya tahu kalau sahabat itu, satu atau dua orang yang selalu bepergian kemana saja bersama.
Aku tidak mempunyai seseorang yang dapat aku sebut sebagai sahabat, untuk membagi ceritaku. Karena aku berpikir, setiap manusia tentu akan membuat kesalahan. Maka dari itu, aku tidak pernah membagikan cerita atau kisah yang kumiliki kepada orang yang disebut sahabat. Karena aku takut, apakah orang yang disebut sahabat ini akan mampu menjaga sampai menyimpan cerita yang dibagikan oleh sahabatnya sendiri? Jika tidak, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara agar aku bisa menanganinya?
Aku Nadira Anastasia. Kupikir, untuk dapat membagi cerita pada sahabat adalah hal yang sangat sulit menurutku. Aku masih sulit untuk terbuka terhadap orang-orang disekitarku, bahkan orang tuaku sekalipun. Menurutku, hal seperti ini seharusnya disimpan sendiri.
“Hei..” Aku kalau manggil teman-temanku yah suka teriak gitu, soalnya rada budek. Mereka teman sekolahku. Rani, Vava, dan Jenny.
“Datang sama siapa kamu?” tanya Vava
“Datang sama motorlah, sama siapa lagi” Mereka suka mempertanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.
“Kirain ama doi, ternyata doinya motor yah” balas mereka terkekeh.
“Yakali gila, udah deh… yuk masuk kelas” Aku mengakhiri percakapan yang tidak jelas, pagi itu.
Mereka hanya sebatas teman bagiku, karena aku belum sepenuhnya percaya pada mereka semua. Tapi, mereka semua baik, hanya saja aku memang orang yang sangat tertutup pada orang-orang disekitarku. Aku tidak suka memberitahukan orang lain akan luka yang kualami, aku hanya ingin melihat orang-orang disekitarku tidak mengetahui sisi lain dari diriku, karena yang orang tau, aku selalu ceria.
Kelas berjalan seperti hari-hari biasa yang penuh dengan kegaduhan, tapi sangat seru. Banyak hal yang terjadi dalam kelas jika waktu kosong, seperti menganggu anak-anak lain, bahkan gibah sekalipun, “Biasanya kan, anak cewenih yang suka gibah. Ini kebalikannya, cowonya yang suka gibah”. Lucu bangetkan orang-orang dalam kelasku ini, apa aja bakal dilakuin biar nggak suntuk-suntuk amat.
***
Suara mama membangunkanku dari tidur siangku yang indah. Siang itu aku melakukan kegiatanku seperti biasa, “Mau masak ramen sambil nonton drakor ah, habis itu baru kerjain PR” ucapku sendiri. Yah, begitulah kegiatanku setiap harinya, PR akan kalah sama oppa-oppa korea yang kutonton pastinya.
Ketika aku SD, aku mempunyai satu orang teman yang sampai sekarang masih berhubungan denganku, apakah pertemanan ini bisa dikatakan sebagai sahabatan? Teman dan Sahabat tentu memiliki arti yang berbeda dalam pemaknaanya. Teman itu banyak dan mudah dicari, tapi kalau sahabat, sangat susah buat kita mempunyai satu orang yang dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Teman hanya sebentar, dan tidak menutup kemungkinan mereka semua akan bertahan lebih dari setahun sama kita. Sebaliknya, sahabat akan terus bersama sampai bertahun-tahun, yang tidak akan pernah bosan, tidak jaim, dan akan selalu ada jika salah satunya membutuhkan.
Dia Gaby, temanku dari SD yang bisa disebut sahabat. Karena kami udah temenan dari lama, jadi orang-orang beranggapan, kami bersahabat, “Yaa, emang sih, aku juga ngerasa gitu.” Gabylah yang memperkenalkanku akan dunia KPOP ini, sehingga aku bisa awet nonton drama korea sampai berjam-jam tiap harinya. Dia selalu cerita hal-hal yang konyol padaku, sampai saat ini dia masih melakukan itu padaku.
“Dir..aku mau cerita sama kamu” ucap dia padaku.
“Apaan? cerita aja” jawabku.
“Banyak sih yang aku mau cerita sama kamu” Aku selalu berpikir, apakah aku orang yang baik? Karena setiap kali gaby lagi sedih pasti dia cerita padaku apa yang terjadi hari itu. Sebaliknya dengan diriku, aku selalu menyimpan sendiri apa yang telah aku alami setiap harinya.
“Yaudah, cerita yang kamu anggap paling ga bisa ditahan berhari-hari. Biar kamunya lega”
Gaby menceritakan masalahnya dengan teman-temannya disekolah. Aku mendengarkan apa yang dia cerita, tak sekalipun aku mengacuhkannya, karena aku tahu dia sangat butuh tempat untuk mencurahkan apa yang dia alami selama ini. Dia tidak disukai oleh teman-teman sekelasnya, hanya karena tidak memberikan jawaban pada saat ujian.
“Kamu tau ga raa, aku setiap hari kesekolah tuh dicuekin sekelas. Padahal aku gada salah apa-apa lo sama mereka. Wajarkan dir, kalau aku ga kasih mereka jawaban saat ujian?”
“Iya bener gab, kan kalau ujian emang ga boleh nyontek” balasku dengan sungguh-sungguh.
“Terus, aku harus gimana raa. Apa aku—”
Belum selesai gaby bicara, aku langsung memotongnya. “Gab, kamu ga harus selamanya baik sama orang. Ada kalanya kamu harus bisa jadi diri kamu sendiri, yaa seperti sekarang ini. Karena kamu udah lakuin hal yang benar dan itu yang kamu lakukan seperti biasanya, ga mau ada kecurangan” Gaby menganggukan kepala, paham akan maksudku.
“Coba kamu pikir gab, semisal ada tes masuk perguruan tinggi nih, dan aku ada dibelakang kamu, manggil buat minta jawaban kamu. Apa kamu bakal kasih?” Aku mencoba memancing gaby.
“Iyalah raa!!, kan kamu sahabat aku. Masa sih, aku ga gubris kamu”. Dia menjawab tanpa berpikir panjang.
“GABY! BIARPUN AKU SAHABAT KAMU, YA JANGAN. ITU ARTINYA KAMU GA KASIH AKU KESEMPATAN BUAT BERUSAHA MENJAWAB SOAL ITU!” Aku memberi respon pada gaby dengan nada tinggi.
Gaby memang sangat terbuka pada diriku, dia tidak sungkan untuk cerita semua masalahnya padaku bahkan hal yang tidak terduga sekalipun, seperti tadi dia ingin memberiku jawabannya. Pernah sekali dia bercerita tentang dia sudah jadian dengan temanku dan spontan aku kaget dong, “Serius udah jadi?”. Aku tahu kalau dia udah dekat sama Juan, karena ya dia bakal cerita semuanya sama aku.
Aku memancing gaby seperti itu, agar dia sadar. Bahwa semuanya butuh perjuangan dan proses. Jangan langsung mau selesai tanpa ada perjuangan yang dilakukan, “Aku mau kamu jangan segampang itu sama aku.” Aku tahu gaby melakukan itu, karena dia ga mau aku kesusahan. “Yang kamu lakuin itu udah bener, jangan mau dibodohi sama orang. Dan jangan juga segampang itu sama orang lain, meskipun dia sahabat kamu”.
“Gimana? Apakah keluh kesah anda sudah hilang semua? Atau masih butuh konsultasi sama saya?.” Aku berusaha menghibur gaby, agar dia tidak merasa dikucilkan.
“Hahaha. Ada-ada aja sih kamu.” Dia tersenyum. Sinar matanya memancarkan sesuatu yang masih sulit dia ungkapkan. Mungkin masih ada yang terganjal dihatinya, yang tidak akan pasti mendapat jawabannya dariku. Gaby selalu menceritakan segalanya padaku, hari ini, esok, dan seterusnya akan selalu begitu. Karena dia merasa, aku sudah menjadi tempat yang nyaman, seperti rumah.
“Sebenarnya, masih banyak sih yang mau aku cerita tapi belum siap”
“Iya iyaa… nanti kamu cerita lagi ya kalau udah siap. Tapi, kalau kamu anggap itu hal privasi yang ga boleh orang tau, kamu ga perlu ceritain, usahain kamu berdamai sama hal itu. Jangan pikul itu sendiri, ada aku tempat yang bisa kamu bagi beban itu.” balasku tulus.
“Kocak sih kamu bisa-bisanya bijak kayak gini”
“Lah anjir, bagus tuh supaya kamu lebih sadar kalau kamu tuh gak sendiri”
“Iya bu ngerti, makasih yah ra selalu ada buat aku.” Dia mengakhirinya dengan kalimat yang tersirat.
Aku sadar, ini bukan kali pertamanya aku dan gaby saling bertukar kata. Aku selalu memberikan saran yang baik padanya. Tapi aku sendiri tidak bisa melakukan itu. Ya, berdamai dengan keadaan. Itu hal yang sangat sulit untukku, karena aku selalu merasa sendirian.
***
Setelah lulus SMA aku sama teman-temanku beda kampus. Mulai dari situ kami sudah jarang bertemu. Komunikasi kami tetap lancar, meski ada satu dua orang yang jarang nimbrung dalam grub. Mereka semua punya kesibukan masing-masing, entah itu memang kesibukan dunia perkuliahan atau hal lain, aku juga tidak tahu. Sebenarnya, ada banyak rencana yang kita buat untuk dapat bertemu, tapi tidak ada satupun yang jadi, lucu kan?. Itulah kami selalu membuat rencana tapi sering gagal karena beberapa alasan, terkhusus alasan sedang kuliah, “Namanya juga anak kuliah jadi gitu deh” ucapku sendiri.
Begitu juga dengan gaby. Aku dan dia berbeda kampus, tapi kami sering memberi kabar yang tidak jelas dan sering bertemu. Entah mengapa, kalau sama gaby pasti aku dan dia punya waktu buat keluar berkedok self healing. Kita memiliki kesibukan yang sama, tapi jika menyangkut hal jajanan hitz, itu nomor satu kita serbu.
Suara telpon yang berdering.
“Raaaaa!!” teriak Gaby diseberang sana.
“WOIII! Anjir santai kali, kuping aku sakit” jawabku gemesh mau pukul.
“Haha. eh btw raa, ada jajanan korea yang baru tuh disekitar pantai. Kesana yuk!”Aku sudah tahu kelakuan Gaby, dia akan bersemangat jika menyangkut hal yang dia sukai. Dan sudah dipastikan, aku yang menjadi korbannya. “Aku sibuk sih sebenarnya, tapi yaudah yuk bentar aja yaa?”
“Okeyy beb, aku tunggu kamu!” jawabnya bersemangat.
“Yaa!! Aku siap-siap dulu. Habis itu langsung kesitu, ok.” Beban banget kan punya sahabat kayak gaby ini yang ga tau bawa motor.
Dari dulu kalau mau kemana-mana, pasti selalu aku yang jemput. Persahabatan kami udah lama banget, aku kayak jaga-in anak kecil sampai gede. Tapi sekarang, dia udah bisa bawa motor tuh. “Lucu banget sih Gaby, udah tau bawa motor aja sekarang” gumamku.
“Gaby!! aku dah kayak besarin anak, bangga banget aku. Kamu udah bisa bawa motor sendiri.” Aku menjadi orang pertama yang diberitahu Gaby, kalau dia udah bisa bawa motor. Kecuali orang tuanya. “Yakali, aku yang tau duluan daripada orang tuanya. Hahaha.”
“Aku udah ga jadi beban kamu lagi Ra, sekarang” jawabnya senang. Gaby tuh apa aja dia ceritain sama aku, mulai dari hal-hal yang ga masuk akal sampai masuk di akal aku.
“Nanti lain kali, aku yang angkut kamu dimotorku Raa” sambungnya.
“Iyalah, masa masih aku yang mau angkut kamu yang benar aja dong”
“Iya gampang, aku berterima kasih banget loh Raa. Kamu udah mau nemenin aku, dari aku gatau bawa motor sampai akhirnya sekarang aku bisa”
“Proud of you bestie!! Aku tuh ga masalah sebenarnya, tapi lihat kamu udah bisa yaa aku bahagia” Aku selalu memberi apresiasi pada diriku sendiri dan orang-orang terdekatku. Meskipun itu bukan hal yang besar.
“Aaaaa yayy, thank u” balasnya sambil memelukku.
***
Aku sekarang berada dimasa, yang menurut aku sangat berat buat aku jalani. Aku lelah, tapi aku harus kuat. Lucu yah, hidup itu. Aku berada pada sebuah kata, yang disebut dewasa. Akan ada banyak tuntutan yang harus aku penuhi, meski hal itu tidak kuinginkan dan tidak ingin kukerjakan sama sekali. Tapi disatu sisi, aku harus bertanggung jawab pada diriku sendiri, “Apa aku, harus nyerah aja yah sama hidup?” gumamku.
Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, ketimbang main-main diluar. Aku sudah malas buat keluar rumah dan lebih sering berada di depan laptop. Awalnya aku kira, masa kuliah itu aku akan lebih bebas untuk bepergian bersama teman, tapi nyatanya itu semua diluar dari ekspektasiku. “Maba emang sibuk banget ya? Sampai aku ga bisa keluar, meski ada waktu luang?” Ucapku sendiri. Aku kembali pada masa, dimana aku tidak punya waktu buat senang-senang kecuali pada saat libur saja.
Aku sering berpikir, apa aku bisa lewatin semunya sendirian?. Lamunanku seketika buyar, saat ponselku bergetar dan nama gaby yang muncul pada layar ponselku. Dia menghubungiku, setelah seminggu kami tidak saling kontak.
“Halo Raa, sibuk ga?” sapa Gaby.
“Iyaa kenapa?”
“Mau minta tolong bisa ga ya?”
“Maaf banget ya Gab, aku lagi sibuk banget untuk sekarang ini” Tidak panjang kali lebar, aku langsung meminta maaf pada Gaby. Tanpa tahu terlebih dahulu maksud dan tujuannya meminta tolong padaku.
“Ya udah gapapa, makasih ya Ra” balas Gaby singkat. Aku sudah jarang membuka ponsel. Bahkan Gaby text sekalipun, aku tidak meresponnya dengan cepat.
“Gab, sorry—” belum sempat aku meminta maaf untuk kedua kalinya, karena tidak bisa membantunya. Gaby sudah memutuskan sambungan telepon. Aku langsung sadar, Gaby biasanya saat meminta tolong itu pasti akan ke aku, Nadira. Dia hanya punya aku, sebagai seorang sahabat bahkan saudara buat tempat dia mengadu. Tapi, apa yang aku lakukan? Dia, Nadira. Sadar bahwa baru saja terlibat perselisihan dengan Gaby. Saat ini Nadira, tidak sedang dalam keadaan yang baik-baik saja. Dia juga mempunyai perdebatan dengan batinnya sendiri.
Sebenarnya, aku punya banyak masalah yang sedang aku hadapi. Tapi aku belum coba buat cerita masalah yang aku alami kepada siapapun, bahkan Gaby sekalipun yang notabenenya adalah sahabatku. Entah kenapa, aku tidak bisa menceritakannya kepada gaby?, “Apa aku harus coba membagi masalahku ini dengan Gaby?.” Itu yang keluar dari bibirku. “Tapi, masa iya seorang Nadira, ga sanggup buat nyimpen ini sendiri sih?”. Ucapku pada diri sendiri, yang sudah frustasi. Gaby sudah menganggapku seperti saudara sendiri. Lalu aku? Menganggap dia apa? Apa mungkin aku butuh waktu buat meluapkan semuanya? Aku sungguh bingung.
Lucu banget ya hidupku. Aku sering kali menangis sendiri saat malam, padahal aku ga punya masalah yang berat. Tiba-tiba air mataku keluar begitu saja. “Tuhan, kok orang-orang bisa ngelewatin itu semua, kenapa aku ga bisa?” aku sering berkata seperti itu. “Sebenarnya raa kamu bisa ngelewatin ini semua” ucapku berusaha menguatkan diri. Hanya saja aku selalu berpikir, aku gapunya siapa-siapa buat bantu aku hadapi ini. Aku selalu berpegang pada prinsipku, “Lakuin semuanya sendiri jangan nyusahin orang lain, biar orang lain aja yang nyusahin kamu” Kata-kata itu yang selalu muncul, tiap kali aku mau cerita pada Gaby.
***
Dua bulan berlalu. Hubungan persahabatanku dengan gaby mulai membaik. Awalnya aku pikir, kami akan bermusuhan selamanya. Tapi nyatanya tidak. Gaby akan selalu menjadi orang yang sangat membutuhkanku dan begitupun sebaliknya.
“Nadira!!” teriak Gaby.
“Gab, malu-maluin aja sih kamu teriak gitu” jawabku malu.
“Kamu ngapain disini?”
“Lagi ngerjain tugas”
“Kamu tuh nggak cape apa? Kamu harus keluar dari zona kamu itu, kamu harus beri nafas tuh ke otak kamu!” Gaby melihatku jengkel.
“Namanya juga mahasiswa Gab, harus bisa bertanggung jawab sama apa yang sedang dikerjain. Kamu sama mamaku tahu sendiri kan, aku gabisa tenang kalau tugas aku ga selesai Gab”
“Iya tau, tapi-kan kamu juga butuh waktu buat refhresing atau healing Raa”
“Iyaa, aku emang butuh. Karena aku rasa, aku udah cukup stres dengan semua ini. Tapi aku rasa belum waktunya buat ngelakuin itu.” Prinsipku juga gitu, aku harus selesai-in semuanya dulu, baru bisa leha-leha. Kalau nggak, yang ada makin gila.
“Yaudah Raa, itu keputusan kamu. Kalau kamu butuh teman, buat cerita atau apa ke aku aja yahh?. Kamu jangan lupa istirahat dan makan yang banyak yaa Raa. SEMANGAT!.” Aku tahu persis, pas Gaby nyuruh aku makan banyak itu, karena aku emang malas makan dan selalu fokus pada apa yang aku kerjain dan sering lupa waktu juga sih.
Healing? Banyak dari kita, yang sering menggunakan kata itu hanya untuk sebuah pelarian dari masalah mereka. Tidak sepenuhnya healing itu berguna bagi banyak orang. “Healing yaa? sepertinya tidak berpengaruh padaku” kataku. Aku lebih suka, berdiam diri dirumah daripada harus kesana-kemari. Semua orang tahu kalau aku tidak suka keluar rumah, karena memang dasarnya mager dan lagi ngerjain tugas. Aku keluar jika ada hal mendesak saja. Dan karena memang memiliki waktu luang buat jalan sama Gaby, si anak ga bisa diam itu.
***
“Raa, aku curiga deh sama kamu. Kamu pasti nyimpen sesuatu dari aku kan? Gaby melontarkan sebuah pertanyaan padaku, secara tiba-tiba.
“Nggak lah, emang aku punya masalah apa? Jawabku santai. Takut Gaby, tiba-tiba tahu yang sebenarnya.
“Raa, ga usah bohong deh. Akhir-akhir ini, aku sering liat kamu ngelamun, jarang makan, bahkan ga pernah fokus dengerin aku kalau lagi ngomong sama kamu.” Aku memang akhir-akhir ini, lebih banyak ngelamun dan kadang bicara nggak jelas. Wajar kalau Gaby khawatir, sama kondisiku sekarang.
“Gada Gaby, aku ga punya masalah sama sekali!” jawabku dengan nada tinggi.
Mempunyai masalah pada sahabat sendiri, merupakan hal yang sangat tidak kuinginkan terjadi. Tapi sekarang, aku malah berada pada keadaan ini. Kesalahpamahan yang terjadi antara aku dan Gaby. Aku bercekcok dengan Gaby, sehingga membuatku lepas kendali dan tidak sengaja membicarakan masalah yang aku alami, “Gab!! coba kamu diposisi aku, ini berat banget buat aku Gab. Aku selalu berkonflik pada diriku sendiri, dan capek banget tau Gab” ucapku dengan lantang. Gaby sontak kaget mendengar apa yang aku katakan. “Jadi, selama ini kamu ga pernah kasih tau aku apa yang kamu alami Ra? Raa kamu anggap aku ini siapa sih sebenarnya?” jawabnya dengan nada tinggi.
Sebenarnya aku memang mau menceritakannya pada Gaby. Hanya saja, kami jarang bertemu karena kesibukan kami masing-masing. Yang akhirnya, malah membuahkan hasil yang buruk. Aku berusaha membuka diriku pada sahabatku, yaitu Gaby.
“Gab, sorry banget. Selama ini aku ga pernah terbuka sama kamu tentang aku. Sorry juga, karena kamu ngerasa kalau aku ga anggap kamu ada.”
“Ra, kamu tuh ga sendirian! Ada aku tempat buat kamu cerita, nangis, dan sebagainya ra. Aku udah anggap kamu kayak saudaraku sendiri Ra. Jadi, aku harap kamu juga bisa jadiin aku tempat ternyaman kamu, Nadira. Kamu boleh ngadu ke aku, apapun itu Ra!. Jangan gengsi sama aku, jangan sok kuat didepanku!. Karena aku bakal tahu itu. Kita udah kenal lama Raa, ga mungkin kalau aku ga kenal baik kamu tuh orangnya kayak gimana.”
“Nadira Anastasia. Dengerin! ga semua orang bisa nyimpen hal seperti itu sendirian, ada kalanya orang itu juga butuh tempat buat luapin semuanya. Dan kamu punya itu Raa! Kamu, punya aku buat luapin semuanya.” Gaby mengeluarkan segala ke-khawatirannya padaku. Aku sangat paham rasanya, kenapa Gaby seperti ini padaku. “Ra, mulai sekarang kamu gaboleh nyimpen masalah kamu sendirian. Kamu harus bisa bagi itu sama aku, usaha-in!. Aku ga mau liat kamu kayak orang yang putus asa Ra.Aku selalu ada buat kamu Nadira. Begitu juga sebaliknya kamu selalu ada buat aku.
“Nadira, kamu tahu kenapa aku bisa ngomong kayak gini? Karena kamu selalu ada buat aku begitu juga sebaliknya, aku akan selalu ada buat kamu juga Ra.” Aku mengangguk paham dengan air mata yang menetes. Gaby sangat peduli dan sayang padaku. Dia melakukan hal yang sama, seperti yang biasa aku lakukan padanya.
Aku sadar, bahwa aku tidak sendirian didunia dan tidak hanya aku yang punya masalah. “Nad, kamu ga sendirian didunia. Banyak orang yang peduli sama kamu Ra. Banyak yang punya masalah yang lebih berat dari kamu. Kamu hebat! udah berani terbuka pada orang lain” Ucapku, meyakinkan diriku.
Dia Gaby Sanjaya. Seseorang yang membuatku berani untuk membuka diriku padanya. Dia orang yang sangat hebat dan sabar bagiku. Berkatnya, aku bisa keluar dari zonaku itu dan berusaha berdamai dengan keadaan. Hal yang terjadi dalam hidupku dan Gaby membuatku sadar, bahwa sahabat adalah seseorang yang benar-benar akan membantu dan berada disamping kita dalam keadaan apapun, yang memberi kekuatan, hiburan, bahkan dapat menjadi orang yang sangat dekat pada kita.
Setiap orang pasti mengalami konflik dengan dirinya sendiri. Aku Nadira Anastasia, yang berkonflik pada diriku sendiri dan sungkan untuk membaginya dengan sahabatku sendiri. Jangan seperti aku, kalian harus bisa berdamai dengan keadaan dan jika perlu kalian dapat membaginya dengan orang terdekat kalian serta jangan lupa untuk memberi apresiasi pada diri kalian atas apa yang telah kalian jalani.
Ini ceritaku, Nadira Anastasia yang gengsian dan sok kuat.