web analytics
header

Diskriminasi Antara Peristiwa Nakba dan Invasi Rusia ke Ukraina

Sumber: Insidestory

Sumber: Insidestory
Sumber: Insidestory

Oleh : Ahkamul Ihkam Mada

Redaktur Pelaksana LPMH-UH

Pada 14 mei 1948, ratusan ribu masyarakat Palestina melarikan diri dari tanah kelahirannya. Bersamaan dengan itu, David Ben-Gurion yang merupakan Perdana Menteri Israel yang pertama, mendeklarasikan berdirinya Negara Israel sekaligus dimulainya pencaplokan atas  tanah-tanah pemukiman masyarakat etnis arab Palestina. Peristiwa ini oleh masyarakat palestina, diperingati sebagai Hari Nakba yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘malapetaka’. Meskipun jika dilihat lebih jauh, konflik antar kedua bangsa dan negara ini sangat kompleks, namun kali ini benarlah sebuah ungkapan dari Presiden Joko Widodo bahwa “Perang hanya persoalan ego, melupakan sisi kemanusiaan, dan hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan”.

74 tahun setelah peristiwa Nakba, perang kembali pecah. Namun, kali ini tidak seperti biasanya, saat konflik dan perang di dunia seakan hanya dapat terjadi di negara-negara afrika dan asia, benua eropa dengan branding peradaban yang makmur, dengan seluruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, pada akhirnya juga merasakan pahitnya perang setelah sekian lama. Vladimir Vladimirovich Putin, Presiden Negara Federasi Rusia, melakukan invasi ke negara tetangganya, Ukraina. Jutaan penduduk Ukraina turut menjadi korban, dan sekali lagi, perang melupakan sisi kemanusiaan.

Dari dua peristiwa tersebut terdapat satu kesamaan, yaitu perang selalu menimbulkan kerugian, serta korban jiwa dan materil dari masyarakat sipil yang bahkan mungkin setiap saat hanya memikirkan bagaimana agar mereka dan keluarganya dapat hidup dengan tenang, dan tidak pernah berfikir lebih jauh tentang kepentingan dan kekuasaan elit politik dan negara. Masyarakat yang selamat hanya memiliki dua pilihan, bertahan di tanah kelahiran yang dilanda perang, atau mencari suaka dengan mengungsi ke negara tetangga.

Eksodus yang dilakukan oleh masyarakat sipil terdampak perang yang terjadi di kedua negara tersebut adalah bukti nyata bahwa korban utama dari konflik kepentingan dan kekuasaan antar negara yang berperang adalah masyarakat sipil itu sendiri. Namun, akhir-akhir ini publik diramaikan dengan peristiwa yang terjadi di Ukraina. Seakan diajak untuk mengenang masa lalu, perilaku diskriminatif dijadikan tontonan segar dunia. Rasa superioritas etnis eropa kembali diperlihatkan oleh mereka yang jika mengacu pada budaya orang Indonesia mungkin akan kita sebut sebagai “oknum”. Mulai dari masyarakat biasa, jurnalis, sampai kepada petinggi negara, menjadi oknum perilaku diskriminatif ini.

Banyak kasus yang ramai menjadi perbincangan dan perdebatan di ruang-ruang publik. Dilansir dari Lembaga Penyiaran Umum Britania Raya, British Broadcasting Corporation (BBC), terdapat video amatir yang menunjukkan perlakuan diskriminatif yang dialami oleh pengungsi dari Ukraina yang berkebangsaan Iran. Untuk dapat melakukan penyebrangan ke negara tetangga, Dia harus memunguti sampah di sekitar perbatasan. Pada kasus yang sama, pengungsi berkulit hitam juga tidak diperbolehkan untuk melewati perbatasan. Sedangkan, pengungsi etnis Ukraina diberikan kemudahan. Hal serupa juga diungkapkan oleh jurnalis dan banyak petinggi negara. Mereka menganggap pengungsi yang berasal dari Ukraina adalah masyarakat yang lebih beradab jika dibandingkan dengan pengungsi dari negara lain.

Perlakuan diskriminatif ini bukan baru sekali terjadi. Pengambilan sikap negara adidaya seperti Amerika Serikat dan beberapa negara-negara di Eropa pada perang panjang antar Palestina dan Israel juga seakan dipaksakan untuk menjadi langkah yang benar oleh negara-negara tersebut. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang menjadi sekutu terbesar Israel bahkan selama ini dapat dikatakan mendukung langkah-langkah yang diambil Israel dalam misi pencaplokan wilayah-wilayah Palestina. Yang kemudian membuat begitu banyak masyarakat etnis arab harus keluar dari rumah dan tanah kelahirannya sendiri.

Sangat berbeda dengan konflik Rusia-Ukraina, Amerika Serikat saat menanggapi invasi tersebut, muncul sebagai “si paling demokratis”. Joe Biden, Presiden Amerika Serikat saat ini dengan lantang menyatakan bahwa Putin adalah seorang penjahat perang. Begitu pula dengan negara-negara barat lain khususnya negara yang menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pernyataan ini sedikit memantik ingatan saya tentang peran Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang saat ini membuat jutaan orang harus keluar dari tanah kelahirannya.

Pada akhirnya perlakuan diskriminatif ini seharusnya membuat kita sadar bahwa dunia saat ini tidak benar-benar bersih dari pemikiran-pemikiran superioritas antar satu bangsa dengan bangsa yang lain. Saat masyarakat etnis arab Palestina melempar batu kepada tentara zionis Israel mereka dikecam dan dikategorikan sebagai teroris yang melawan pemerintahan yang sah. Saat pengungsi dari negara-negara arab dan asia ingin mencari suaka ke negara lain, banyak negara menutup pintu dengan alasan pencegahan penyebaran terorisme di negaranya. Namun, ketika masyarakat Ukraina mengangkat senjata melawan invasi Rusia ke Ukraina, itu dikategorikan sebagai tindakan membela tanah air, ketika masyarakat Ukraina keluar dari negaranya, negara-negara eropa membuka pintu selebar-lebarnya atas alasan memiliki kedekatan etnis, bermata biru, dan berkulit putih.

Perang tidak akan pernah memberikan superioritas terhadap satu bangsa, etnis, maupun agama. Warna kulit yang putih, hitam, maupun kuning akan berubah menjadi merah saat darah mulai bercucuran ketika peluru dan rudal mulai ditembakkan.

Related posts: