Oleh : Jessica Dena Dethan
Pengurus LPMH-UH Periode 2021/2022
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berada dalam dua bidang, seperti Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta. Garis besar yang akan ditonjolkan adalah hak milik perindustrian yang meliputi merek, paten, rahasia dagang, desain industri, dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu HKI harus dilindungi, karena berkaitan dengan hak-hak alami yang setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dan mengontrol apa yang sudah diciptakan. Selain itu, terkait ciptaan yang telah dibuat tentu membutuhkan timbal balik dari pihak lain yang ingin menggunakan ciptaan tersebut. Dari HKI ini dapat dijadikan sumber penghasilan dalam bentuk jasa dari perusahaan (ciptaan) bagi para inventor yang membutuhkan.
Penanganan aset (outsourcing) merupakan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan besar kepada perusahaan di bawahnya untuk memberikan beberapa aktivitas mereka kepada pihak luar. Pengalihannya pun dimiliki oleh masing-masing pihak dan tentu saja terekam dalam sebuah kontrak kerjasama. Banyak perusahaan besar yang menyelesaikan masalah perusahaannya, maupun mendukung tujuan dan sasaran kegiatan bisnisnya diserahkan kepada perusahaan kecil (outsourcing).
HKI merupakan aset yang paling potensial saat perseroan terbatas ada pada kegiatan usaha. Perseroan terbatas dalam hal ini perusahaan penanganan aset adalah subjek hukum perdata dalam bentuk badan hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan harta kekayaan organ perseroan terbatas (Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris), serta mampu bertanggung jawab secara mandiri atas perbuatan hukum yang mengatasnamakan PT. HKI masuk dalam kekayaan perusahaan yang tidak mempunyai wujud fisik, kemudian turut pula menjadi jaminan atas utang-utang perusahaan. KUHPerdata belum sepenuhnya mengatur tentang HKI, tetapi dalam konsep hukum perdata HKI merupakan benda.
HKI memiliki kaitan terhadap aset perusahaan, baik dalam nilai ekonomi sampai resiko-resiko yang akan timbul apabila aset HKI tersebut tidak dikelola dengan baik. Dalam halnya dengan perusahaan penanganan aset, pemilik dari perusahaan tersebut perlu mengatur lebih khusus organisasinya agar menjadi bagian dalam pengelolaan aset perusahaan dalam bentuk kekayaan intelektual serta membangun sistem perlindungan secara mandiri terhadap aset HKI untuk mencegah resiko yang mungkin akan timbul. Jadi, dalam kaitannya penanganan aset dengan HKI dapat terlihat jelas diatas, HKI ada untuk melindungi.
Salah satu perusahaan penanganan aset (PT DUA DIMENSI) yang dalam kegiatannya adalah memantau dan menjaga setiap hal yang bernilai bagi sebuah organisasi atau perusahaan yang memakai jasanya, seringkali mengalami kendala terkait administrasi. Jika dilihat beberapa bulan belakangan, pada akhir tahun 2021 pihak PT DUA DIMENSI merasakan kemerosotan akan kekurangan dana untuk membackup aset lain yang sedang dalam proses penarikan. Namun sayang, dari pihak pemakai jasa perusahaan ini tak kunjung merespon terkait dana milik PT DUA DIMENSI dari hasil kerja keras mereka.
Hal tersebut tentu membuat pihak kedua bingung akan mendapatkan dana lain dari mana untuk menutupi aset yang telah diproses. Aset yang diproses ini akan diserahkan kembali kepada perusahaan yang memakai jasa outsourcing, tentu membutuhkan dana dalam hal penarikannya yang nantinya hasil dari aset tersebut akan dibagi untuk pihak pertama dan pihak kedua. Namun, masalahnya berada pada pencairan dana serta pada pihak pemakai aset yang bisa kapan saja menuntut pihak kedua (PT DUA DIMENSI) selaku pelaksana dilapangan (Kolektor), sehingga hal tersebut dapat memperlambat proses penanganan aset-aset lainnya. Pekerjaan seperti ini sebenarnya sangat berat karena berkaitan dengan hukum. Transaksi seperti ini dapat disebut penarikan barang oleh leasing terhadap debitornya, yang dimana mereka membutuhkan perusahaan bantuan.
Adapun masalah yang akan timbul dari si pemakai aset. Seorang debitor telah menunggak selama dua bulan lamanya, dan penjamin dari debitor ini meminta bantuan dari pihak leasing untuk menarik satu unit mobil dengan kisaran harga pasaran 100 juta. Mobil tersebut berada di luar kota, misalnya. Setelah mobil tersebut ditarik, pihak dari kolektor menekan biaya tarik kepada kuasa debitor sebesar 12 juta, yang dimana kesanggupan dari kuasa debitor ini kurang dan saat perjanjian lisan hanya 5 juta untuk biaya tarik. Nah, disini tentu akan menimbulkan konflik yang dapat sampai ke pengadilan. Hal ini bisa dituntut jika memang pihak kolektor ini semena-mena terhadap konsumen.
Sekarang kita lihat dari sisi hukumnya, menurut Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 48/KMK.013/1991 Tahun 1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh lessee (penerima leasing) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Kemudian permasalahan yang akan timbul tentu mengenai biaya tariknya.
Apabila sudah diperjanjikan sebelumnya tentu kesepakatan itulah yang akan berlaku, sesuai dengan pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tetapi, karena perjanjian tersebut dilakukan secara lisan, mungkin akan menyulitkan pada saat pembuktian disidang pengadilan nantinya, jika pihak konsumen akan menuntut. Pasal lainnya adalah Pasal 1331 dan Pasal 1132 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa benda milik debitor baik benda bergerak maupun yang tidak bergerak demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang debitor, dan masing-masing kreditor mempunyai kesempatan yang sama di dalam pemenuhan hak atas utang-utang debitornya kecuali undang-undang menentukan lain.
Semua masalah yang berhubungan dengan penanganan aset, tentu akan kembali kepada administrasi (Dana). Bagaimana tidak? Keuangan adalah hal yang paling krusial bagi banyak pihak. Kembali lagi pada si pemakai jasa, yang seharusnya lebih memperhatikan segala kemungkinan yang akan terjadi dalam hal penarikan aset bisa saja terjadi masalah pada administrasi. Kesalahan administrasi seperti ini sering kali terjadi pada mitra-mitra leasing yang mengajak bekerja sama, tapi kalah dalam hal itu yang dapat membuat perusahaan jasa tersebut berusaha mencari dana talangan untuk menutupi aset lainnya dari mitra yang telah mengajak bekerja sama.
Seharusnya yang memberi dana untuk menutupi aset lainnya adalah perusahaan yang menggunakan jasa dari perusahaan lain (PT DUA DIMENSI), yang notabenenya ada si pemakai jasa. Mereka seharusnya mampu melakukan hal itu, bukan malah mengandalkan dana dari aset yang telah ditangani cair terlebih dahulu baru mampu untuk menutupi yang lainnya sebagai perusahaan yang dapat terbilang cukup besar dan banyak bekerja sama dengan perusahaan lain di bawahnya. Karena kesalahan seperti administrasi tersebut sangat berdampak bagi si perusahaan jasa itu. Bukan persoalan mereka mempunyai dana lebih atau tidak mau melakukannya untuk menutupi, bukan. Ini persoalan tanggung jawab yang harus diberikan oleh si pemegang jasa, belum lagi jika permasalahan lainnya timbul dari konsumen yang asetnya ditarik.
Dapat dipastikan permasalahannya kembali lagi pada dana yang telah disepakati seperti yang telah dijelaskan di atas tadi. Perusahaan pemilik jasa dalam hal ini sangat memiliki tanggung jawab yang berat, jika salah langkah akan masuk kedalam ranah hukum. Untuk menghindari hal-hal seperti itu terjadi, ada baiknya perusahaan si pemakai jasa memperbaiki sistem administrasi dan hal lainnya yang mencakup keamanan serta hak-hak orang yang berada dalam satu lingkaran tersebut.