web analytics
header

Prioritas Nama Baik Kampus Penyubur Ladang Kekerasan Seksual

IMG-20220909-WA0032
Sumber: Pinterest

 

Yustika Rini Junsyah

Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022

 

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan atau menyerang tubuh, dan fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderita psikis atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Kekerasan seksual yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat kekhawatiran sekaligus kegelisahan di tengah masyarakat. Bahkan dilingkungan pendidikan terutama lingkungan kampus, kekerasan seksual makin sering terjadi. Kurangnya pengaduan kekerasan seksual di kampus dikarenakan tidak semua lingkup institusi pendidikan mampu terang-terangan dan mudah diimplementasikan. 

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyatakan bahwa kurangnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus karena pelaku merupakan orang terdekat korban atau orang yang memiliki peranan penting di kampus seperti dosen, mahasiswa, ataupun karyawan. Sehingga para korban cenderung memilih tutup mulut dan enggan melapor. 

Menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021. Perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021. Adapun menurut survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 63 persen kasus kekerasan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan demi menjaga nama baik institus pendidikan tersebut.

Adapun menurut Menteri PPPA, dari fakta dilapangan, kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi sering tidak tertangani dengan semestinya dan memberikan dampak pada kondisi mental dan fisik korban

Penyebab kekerasan seksual yang terjadi dikarenakaan beberapa faktor, yakni:

  1. Adanya budaya patriarki yang menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Patriarki dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling mendasar. Perempuan diperlakukan seperti properti bagi laki-laki. Selain itu, perempuan ditempatkan tidak setara dalam struktur masyarakat. Pernyataan yang didukung oleh Fushshilat dan Apsari mengemukakan bahwa sistem sosial patriarki menimbulkan kerugian bagi perempuan karena dianggap menghalalkan pelecahan seksual. Sudah menjadi tugas perempuan untuk dijadikan sebagai fantasi laki-laki. 
  2. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban. 
  3. Budaya victimblaming yang sudah banyak terjadi sebelumnya. Hal yang menjadi penyebab korban tidak berani melapor dikarenakan masyarakat akan menyalahkan korban atas kejadian ini. 
  4. Mahasiswa masih kurang memahami konsep dari kekerasan seksual. Dari hasil penelitian Fitri dkk (2021), mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih krisis mengenai kekerasan seksual. Adapun lima bentuk perilaku kekerasan seksual yang masih kurang dipahami oleh mahasiswa menurut hasil penelitian Rusyidi dkk, yakni :

– Bergurau atau bercanda dengan menggunakan istilah-istilah atau kalimat seksi yang membuat tidak nyaman.

– Memaksa seseorang menonton tayangan pornografi.

– Memberi komentar terhadap seseorang dengan istilah yang merendahkan.

– Melakukan masturbasi dihadapan orang lain.

– Tatapan yang tidak pantas dilihat oleh seseorang ke wilayah kelamin.

5. Kurangnya laporan mengenai kekerasan seksual, fenomena ini sering terjadi, salah satunya korban sering merasa malu untuk melapor atau banyaknya ancaman dari korban.

6. Phak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual. Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, tetapi dari pihak kampus cenderung menutupi kasus tersebut. Faktor tersebut terjadi karena institusi cenderung dipengaruhi oleh aspek agama dan budaya. Sementara itu, korban cenderung menutupi dirinya dan institusi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kepercayaan bahwa warga kampus tidak mungkin melakukan kekerasan seksual dikarenakan lingkungannya dinilai aman. Akan tetapi, lingkungan kampus yang justru rawan terjadinya kekerasan seksual. 

Dari penyebab kekerasan seksual tersebut, hal yang harus dilakukan jika mengalami kekerasan seksual yaitu, pertama ubah minset bahwa kekerasan terjadi bukan karna salah korban dikarenakan tidak ada satupun orang yang ingin mengalami kekerasan seksual. Korban adalah orang yang paling dirugikan dan tidak seharusnya korban merasa bersalah atas kejadian tersebut.

Kedua, minta bantuan jika mengalami kekerasan seksual dan segera melarikan diri dari tempat kejadian tersebut. Ketiga, simpan bukti-bukti kejadian kekerasan seksual tersebut, agar membantu dalam proses penanganan kasus. Keempat, berusaha terbuka dan bercerita kepada orang yang dipercaya agar dapat dicarikan jalan keluar serta solusi dalam masalah tersebut. 

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan