Rofi’ah Ridwan
(Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022)
Altan mendecak sebal. Tatapannya seperti siap untuk memukul siapa saja yang berada di dekatnya. Semakin tersulut emosinya ketika mendengar Erin melanjutkan ucapannya, “Berarti ada miskomunikasi di dalam internal sesama pengurus, ya?”
Intonasi Erin jelas dan tenang, tapi Altan tahu ada maksud menyindir di dalamnya. Pengurus OSIS yang lain kemudian saling lirik bingung untuk merespon pertanyaan yang terdengar pernyataan dari sekretaris MPK itu. Sementara Nala sudah menatap Altan dengan ekspresi kerasnya yang masih sama.
“Kalau gitu, kita tetap adakan saja proker ini. Toh, tidak merugikan pihak manapun. Lagian kalau memang di kepengurusan sebelumnya proker ini tidak terlaksana, waktunya bagi kepengurusan kalian untuk bisa mewujudkan, kan?” Erin tetap pada argumennya untuk menambahkan proker yang sebelumnya tidak dibahas dalam pra-raker.
Ketika istirahat tadi, Debri selaku koordinator bidang 9 tiba-tiba menghubungi Tisa, sekretaris yang menaungi bidangnya untuk menambahkan proker yang tidak dibahas sebelumnya bersama pengurus lain. Tisa dan entah apa yang merasukinya, malah menuruti perkataan Debri dan mengubah format proker tanpa sepengetahuan yang lain. Jelas membuat pengurus lainnya – terlebih Altan, merasa marah.
Altan menghembuskan napas berat, Tisa sudah tertunduk dengan Fian selaku Wakil Ketua Osis yang masih berusaha untuk membuat Erin menyerah. Setelah terlihat alot, Presidium Sidang akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti saran Erin.
Setelah palu diketuk, Altan berdiri dari tempatnya dan memasuki ruangan penyimpanan di dalam ruangan raker itu. Menutup pintu sedikit keras, mengisyaratkan seemosi apa ia sekarang di hadapan para pengurus OSIS, MPK, bahkan tamu undangan yaitu para perwakilan ekskul.
Yang lain tentu saja terkejut atas tindakannya. Dika dan Fian segera menyusul, sementara Presidium Sidang sepertinya belum ingin memberikan teguran atas tindakan mereka memilih acuh dan melanjutkan presentasi proker bidang selanjutnya. Erin di sisi seberang juga tidak peduli banyak atas pergerakan Altan tadi.
Nala berusaha tenang. Melirik tamu undangan dan anggotanya yang lain, tersenyum singkat seolah menjelaskan untuk tenang saja pada situasi yang runyam tadi. Karena memang seperti ini rapat biasanya, jelas akan ada perselisihan yang diluar dugaan meskipun mereka telah melaksanakan pra-raker.
Nala menoleh pada Tisa sebentar yang siap menjelaskan situasinya namun Nala menepuk punggung tangan Tisa memberi isyarat untuk tidak membahasnya sekarang ketika rapat masih berlangsung dan tanpa Altan (yang sangat marah) sekarang disini. Ia kemudian mengangkat tangan rendah memberi kode pada presidium untuk meminta izin menyusul Altan yang dibalas anggukan.
Ketika Nala membuka pintu sudah ada Altan yang masih dengan aura emosinya yang sama terduduk di sana sedangkan di sampingnya ada Fian dan Dika di hadapannya berusaha membantu meredakan amarah Altan.
“Altan..” Mereka bertiga menoleh meski yang dipanggil hanya seorang, menatap Nala yang masih berada di ambang pintu yang tertutup. “Kayaknya nggak sopan deh, lo tadi kayak gitu di depan semua orang..” lanjut Nala berusaha berhati-hati tidak menyinggung sikap Altan.
Dika dan Fian mengangguk setuju membenarkan. “Untung nggak ada pembina, bayangin sikap lo kayak tadi depan guru-guru sebagai ketua OSIS? Jangan suka gegabah kayak gini, Al,” ucap Fian menambahkan.
Nala paham bagaimana cara pria saling menegur tapi melihat bagaimana emosi Altan dan cara berbicara Dika juga Fian yang terkenal pedas itu sepertinya bukan ide baik untuk membiarkan mereka berada dalam satu ruangan yang sama sekarang, maka Nala mengambil alih mengatakan, “Kita balik aja dulu gimana? Udah terlalu lama ninggalin peserta sidang, pengurus yang lain juga pasti udah pada gelisah. Balik, yuk?”
Altan masih diam di tempatnya saat Nala suda bersiap membuka pintu disusul oleh Dika dan Fian. “Kalian balik duluan aja. Gue pengen ngobrol sebentar sama Nala,” kata Altan tiba-tiba membuat yang lain saling tatap kemudian Dika mengkatan, “Jangan terlalu lama,” sebelum meninggalkan ruangan itu bersama Fian.
Nala membawa satu kursi untuk duduk di hadapan Altan. Altan sekarang tengah menunduk dengan menumpu kedua lengannya pada lutut sementara tangannya mengacak rambut gusar.
“Lo paham nggak si, La..” suara Altan memecah keheningan. Nala yang sejak tadi melamun kembali tersadar, menaruh fokus sepenuhnya pada ketuanya yang sedang menatapnya dengan frustasi. “Gue tuh, apa sih, emang bukan ketua yang baik. Tapi emang pendapat gue tuh sama sekali nggak diperluin?”
Nala menggeleng saja sebagai respon, belum berani membalas perkataan Altan. Membiarkan cowok itu mengeluarkan isi kepalanya sekarang. “Nggak ngerti gue sama cara berpikir Debri. Udah dia yang nggak pernah datang pembahasan proker bahkan sampai raker hari ini, tiba-tiba seenaknya nelpon Tisa buat ngubah ini-itu. Lebih nggak paham lagi sama Tisa yang kenapa tiba-tiba nurut sama Debri tanpa diskusi dulu? Salah makan apa sih tuh anak? Kenapa hari ini dia baru aneh begini, kemarin-kemarin cara kerja dia bagus padahal.”
Dada Altan naik turun setelahnya, emosinya benar-benar ia luapkan pada Nala sekarang. Belum sempat Nala memberi tanggapan, Altan melanjutkan, “Yang bikin gue lebih kesal, lo lihat tadi ekspresi anak MPK? Nada bicara Erin? Belum apa-apa, La, tapi kepengurusan kita udah hampir dicap nggak kompak karena masalah miskomunikasi ini. Belum apa-apa kita udah dapat pandangan direndahin begitu. Gue jelas nggak terima..”
Nala tersenyum sebentar sebelum menepuk pundak Altan, “Lo hebat kok,” katanya membuat tatapan Altan sedikit berubah. “Lo hebat, nggak mau ngelihat kepengurusan kita dientengin sama pihak manapun. Keren. Tapi cara lo menyelesaikan masalah tadi tuh kurang bagus, Al. Bener kata Fian, kalau seandainya ada pembina tapi emosi lo nggak bisa dikontrol gini, gimana?” Lanjut Nala tetap tenang dengan Altan yang entah sejak kapan seperti ingin menangis karena emosinya yang meluap akhirnya tersalurkan.
“Gue nggak bisa bilang gue paham perasaan lo kayak gimana karena jabatan kita beda, tapi sebagai partner yang kerja sama dengan lo sekarang ini gue juga akan emosi dengan masalah tadi. Tapi cara salurin emosinya harus lihat sikon. Biar gimana pun, lo ini ketua. Ya walaupun emang masih di umur labil, tapi belajar kontrol emosi, ya, Al. Nggak kelihatan tapi gue tau pundak lo berat sekarang karena harus bawa satu kepengurusan ini sukses.”
Mereka berdua diam setelahnya. Altan berdeham. Mulai kembali tersadar dan mengembuskan napas dalam. Nala melihat itu ikut merasa lega. “Balik, yuk. Udah terlalu lama, nggak enak sama perwakilan ekskul yang lain.”
Altan menangguk saja lalu berdiri mengekor di belakang Nala yang kini membuka pintu disambut dengan tatapan peserta sidang seisi ruangan. Altan duduk di samping Nala, memandang Tisa yang kini menatapnya dengan rasa bersalah dan berutang penjelasan.