Rofi’ah Ridwan
(Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022)
“Gue minta ma-“
“Nggak! Ngapain minta maaf, kita nggak salah?!”
Ruangan rapat evaluasi Pekan Olaraga dan Seni (PORSENI) sore itu tiba-tiba semakin memanas setelah nada tinggi Tisa memotong ucapan Fian.
Para adik kelas sudah menunduk, sementara Fian dan Tisa selaku yang memimpin rapat berdiri di depan dengan wajah Fian yang sudah pasrah sementara Tisa yang tidak terima.
Altan, masih berusaha tenang mengangguk pelan, “Oke. Gue juga nggak minta kalian minta maaf. Makanya, kan, ini namanya rapat evaluasi. Kita bahas semua yang udah kita kerjain hari ini biar besok-besok nggak ngelakuin kesalahan yang sama,” pungkasnya mengalah.
Ekspresi Tisa melunak, berbalik lagi ke papan tulis untuk melanjutkan catatan rapat sementara Fian mengambil alih kembali rapat. Altan yang duduk di seberang baris dan beberapa bangku di belakang Nala akhirnya berdiri menghampiri sekretarisnya itu. “Sebentar kita bahas SK, ya.”
Nala mengernyit bingung sejenak. Surat Kepengurusan yang mana sedang dibahas Altan ini? Pikirnya. Belum sempat ia bertanya Altan sudah kembali ke tempat duduknya. Selang lima menit berikutnya, Altan mengacungkan tangan, “Fian, gue izin keluar dulu sama Nala, mau bahas SK.”
Fian menoleh ke arah Nala yang masih memproses maksud Altan, tapi tidak butuh lebih tiga detik Nala mengangguk mengikuti perkataan ketuanya meskipun ia sendiri kebingungan.
Fian mengangguk menyetujui setelahnya. Altan berdiri disusul Nala di belakangnya. Nala menunduk saja selama berjalan, berhenti ketika tersadar bayangan di depannya juga terhenti. Ia mendongak, melihat Altan menyuruhnya duduk di pelataran kelas. Berjarak hanya satu kelas dari tempat mereka rapat tadi, tepat di samping mereka ada lapangan yang tengah di tempati tim futsal sekolah untuk berlatih.
Kini mereka berdua berhadapan, Nala sebenarnya sudah feeling kalau Altan ini punya maksud lain. “La, menurut lo tadi gue salah, ya?”
Here we go again, batin Nala.
Inilah sisi Altan yang mungkin anggota lain tidak tahu. Ia selalu mendatangi Nala untuk mencurahkan kegundahannya. Entah sejak kapan Nala jadi seperti telinga untuk Altan. Mungkin ketika rapat kerja? Entahlah, yang jelas Altan di hadapannya sekarang adalah sisi lain yang tak pernah Nala duga akan ia bagi kepadanya.
“Kayaknya udah pada capek, makanya jadi pada emosi. Bener kok, harusnya mereka sebagai panitia inti lebih tegas ke anggota lain yang malah seliweran dan nggak kerja. Mungkin tadi Tisa agak kesal aja karena kesannya lo tuh kayak ‘alumni’ yang ngatur, ya meskipun sebenarnya ketua osis kan pengawas ya,” jawab Nala terkekeh setelahnya untuk meredakan stres cowok ini.
“Nah itu dia. Kan gue pengawas. Salah emang kalau gue ngutarain semua yang gue lihat hari ini? Tentang gimana kinerja anggota lain yang sibuk ngurusin yang bukan tugasnya. Namanya juga rapat evaluasi” Altan masih dengan alis yang mengkerut, membela diri pada Nala.
Nala tersenyum, “jangan ikut emosi dong. Kan dah gue bilang, capek aja si Tisa. Bener kok, udah bener. Nanti kalian bertiga obrolin baik-baik aja, malu berantem gitu depan adik kelas.”
Tidak sempat Altan menyahut, sebuah bola tiba-tiba datang ke arah mereka. Nala yang melihat dari ekor matanya refleks menutup mata dan mengepal jari melindungi diri, sementara Altan dengan sigap menghadang bola tersebut sebelum mengenai lengan Nala.
“Sorry, sorry. Lo nggak pa-pa?” Salah satu anak futsal datang untuk mengecek keadaan. Altan melempar kembali bola ke arahnya, “Hati-hati, Bro.”
Nala menghela napas lega, memerhatikan lengan Altan yang menjadi tameng untuknya. Tidak sempat mengucapkan terima kasih, para panitia yang sedang rapat sudah terlebih dahulu keluar menghampiri mereka.
“Jadi gitu aja ya Nal, soal SK-nya,” kata Altan memberi kode pada Nala ketika yang lain sudah dekat
“Sampai rapat udah beres kalian belum balik masuk,” tegur Fahri.
“Ada urusan sama Nala,” jelas Altan tanpa diminta. Seperti sebuah isyarat bagi Nala bahwa ada satu lagi rahasia yang harus ia jaga.